Coogler juga memainkan emosi penonton dengan menunjukkan kerapuhan Wakanda, sementara di sisi lain ia mengenalkan 'pesaing' yang tampak lebih kuat dari bangsa yang difavoritkan banyak penggemar Marvel tersebut.
Apalagi, perjalanan duka yang dialami seorang ibu dan adik perempuan melalui Ramonda (Angela Bassett) dan Shuri (Letitia Wright) menjadi kekuatan utama dalam film ini.
Kisah Shuri yang digadang-gadang menjadi penerus Black Panther pun tak digarap sembrono oleh Ryan Coogler. Coogler melibatkan emosi yang mendalam dan dieksekusi dengan baik oleh Letitia Wright.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Coogler pun masih punya banyak cara dalam mempermainkan emosi penonton dalam film ini. Lewat sebuah adegan, ia memulai babak ketiga Black Panther: Wakanda Forever dengan penuh tensi tinggi hingga akhir cerita.
Bagi saya, babak ketiga inilah yang memberikan pengalaman menonton lebih memuaskan dibanding film pertama.
Penonton disuguhi pertempuran antara Wakanda dan Talokan yang tak hanya megah, tapi juga melibatkan kompleksitas pertimbangan moral. Pergulatan antara dendam dan membela harga diri dengan pengalaman yang masih prematur.
![]() |
Namun Ryan Coogler tak lantas melupakan bagaimana menutup Black Panther 2 dengan mulus yang membuat film ini juga sebagai catatan perjalanan dari seorang tokoh pahlawan Marvel baru mencapai kedewasaannya.
Terus terang, menyaksikan film dan serial MCU belakangan ini hanya terasa seperti 'menggugurkan kewajiban' demi tetap update dengan plot besar semesta tersebut.
Hingga akhirnya, Black Panther: Wakanda Forever hadir menawarkan warna lain yang sejatinya tak asing di ingatan penggemar MCU.
Saya dan penonton lainnya kembali disuguhi tontonan dengan masalah berlapis yang tak jarang membolak-balik kompas moral dan emosi.
Terlepas dari itu, semesta Black Panther tampaknya tidak butuh embel-embel crossover karena mampu kokoh dan memuaskan hanya dengan berdiri sendiri.