Bagi sebagian orang, konser jadi kesempatan untuk bisa bernyanyi bersama penggemar lainnya dalam satu tempa dan kesempatan. Namun bagi yang lain, konser adalah kesempatan untuk berekspresi.
Di sejumlah konser dewasa ini, penggemar sebuah grup atau seorang idola sudah menyiapkan sesuatu yang lain, mulai dari gerakan, tarian, luapan ekspresi, hingga teriakan dukungan.
Lihat Juga : |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada fandom Kpop misalnya. Sudah lama diketahui para kpoper memiliki teriakan dukungan khusus kepada penggemarnya yang dikenal sebagai fanchant.
Fanchant ini bukan cuma sekadar "aku cinta kamu" atau meneriakkan nama idolanya, tetapi terstruktur dalam kalimat atau kata yang sudah ditentukan, lengkap dengan pembagian momen dan gerakan.
Ekspresi yang terukur juga ditemukan dalam fandom penggemar idol group asal Jepang. Mereka bahkan membuat sebuah koreografi tersendiri yang estetik dan butuh latihan untuk menguasainya, wotagei.
Atau pada penggemar musik underground atau metal atau punk. Dalam komunitas ini, luapan ekspresi berupa moshing bukan hanya sekadar melompat dan menubrukkan diri ke kerumunan, tapi adalah sebuah pernyataan "sepakat" atas musik yang ditampilkan.
"Karena gue tahu kalau di tengah mosh pit itu kita menyenangi band yang sama, untuk meneriakkan lirik lagu yang sama," kata Anida. "Ya itulah mengapa ke mosh pit itu menjadi sangat menyenangkan, ketika kita bersatu karena musisi yang sama,"
Sementara itu, ekspresi penggemar juga datang dari komunitas pencinta musik lokal, dangdut koplo. Para pencinta dangdut koplo pasti sudah akrab dengan yang namanya Temon Holic.
![]() |
Hanya bermula dari kesenangan pribadi, gerakan Temon saat menikmati konser dangdut koplo rupanya menarik sesama penggemar untuk ikut menirukan hingga akhirnya berkembang lebih luas.
Bahkan, Temon Holic bukan hanya sekadar tarian ekspresi saat konser belaka, tetapi juga sudah dalam bentuk kompetisi yang melombakan berbagai ide kreativitas dalam ber-Temon Holic.
"Dulu itu aku jogetnya sendiri, belum ada kelompok Temon Holic. Terus dia [teman Temon] tertarik, kok jogetnya lucu, unik, dan kreatif," kata Temon kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
"Akhirnya beliau ajak teman-temannya di desanya. Terus teman saya dan tetangganya itu inisiatif membuat nama Temon Holic, sebagai fan lah," lanjutnya.
Terlepas dari berbagai bentuk ekspresinya, berbagai gerakan, teriakan, aksi, hingga luapan ekspresinya ini sejatinya adalah buah dari satu bahasa yang sama yang universal: musik.
"Pertunjukan musik itu kan interaksi sosial," kata sosiolog dan peneliti punk UIN Syarif Hidayatullah, Fathun Karib.
"Tarian (moshing) itu untuk interaksi sosial. Karena lo bersepakat, ini kita kan omongin simbol-simbol, dengan lagu yang lo dengar. Itu kan bentuk konfirmasi, bahwa lo suka sama lagu itu," katanya.
Peneliti dari Dangdut Studies, Michael HB Raditya, juga punya pandangan senada. Perkembangan ekspresi individu yang kemudian menarik minat individu lainnya juga bisa dipandang sebagai bentuk kesadaran akan kesamaan antar sesama penggemar.
"Nah kupikir mengapa akhirnya menjadi bertumbuh dan tersebar itu, karena ada kesadaran dalam menikmati panggung. Kesadaran akan kebersamaan dari basis fans, dari para penggemar, begitu," kata Michael.
Bentuk ekspresi empat kelompok penggemar solid di Indonesia: koplo, metal-punk underground, Jejepangan, hingga kpoper, akan coba dibahas dalam Fokus edisi November 2022: Bukan Cuma Sing Along.
Lihat Juga : |
Apapun bentuk ekspresinya, kini ke konser sejatinya bukan hanya sekadar sing along atau bernyanyi bersama. Kini konser yang tengah menjadi sorotan beberapa waktu terakhir, adalah tempat identitas, ekspresi, hingga pelarian dari dunia nyata.
Sehingga sudah sewajarnya, konser di Indonesia tidak lagi hanya dipandang sebagai bentuk kerumunan yang berpotensi rusuh, apalagi cuma untuk mengeruk keuntungan dari penonton semata. Karena konser, bukan cuma buat nyanyi bersama.
(end)