Jakarta, CNN Indonesia --
Menyaksikan film All Quiet on the Western Front (Im Westen nichts Neues) membuat saya mempelajari satu hal penting, yakni bagaimana pentingnya sebuah selipan komedi dalam memaknai tragedi.
Mereplikasi kisah novel yang ditulis oleh Erich Maria Remarque pada 1929, sutradara Edward Berger berhasil menuangkan sisi komedi tersebut dalam kelamnya pemandangan medan perang di barat Eropa pada awal abad ke-20.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak film ini dimulai, Berger dan tim produksi berhasil menyuguhkan suatu sajian sinematik yang menggambarkan kondisi tersebut.
Mulai dari detail kecil seperti deru mesin jahit untuk seragam perang, arsitektur kokoh nan membosankan ala Jerman era sosialis demokrat, hingga pemilihan gradasi warna yang begitu depresif.
Sang penulis novel Remarque memang berupaya untuk mendeskripsikan kisah nyata yang terjadi di musim semi 1917, saat Kekaisaran Jerman begitu kukuh mempertahankan wilayah kedaulatan mereka dari Perancis.
Begitu beruntung -- saya dan juga para penonton lain -- dapat menyaksikan sajian sinematografi top notch dari film yang hadir nyaris satu abad setelah novel orisinalnya rilis.
 Review: All Quiet on the Western Front mampu bikin penonton mempertanyakan kembali apakah Dunkirk dan Pearl Harbor masih bisa disebut film perang paling keren. (Netflix/Reiner Bajo) |
Dalam menjahit bagan cerita, esensi tegang, kaku, dan dingin tampak menjadi ide utama yang dipelihara oleh Berger. Hal ini tersaji nyaris di seluruh plot film, mulai dari awal hingga akhir.
Sang pemeran utama Felix Kammerer yang memainkan karakter pemuda peragu Paul Bäumer juga patut diapresiasi lewat aksinya yang ciamik.
Sedari awal, Kammerer begitu piawai dalam menginterpretasi kenaifan bocah asal Jerman yang terbius oleh elemen patriotisme semu melalui propaganda perang.
Berbicara tentang berjalannya plot, Berger juga mahir dalam menggunakan metode historis. Ia tak lupa mencantumkan tanggal serta konteks kejadian, sehingga memudahkan para penonton yang buta akan sejarah Perang Dunia I.
Hal ini tentu memudahkan penonton awam untuk tetap terjaga dalam relevansi cerita peperangan.
Namun, ide dasar dalam film ini tentu bukan hanya soal penggambaran perang. Sama seperti kisah orisinal dalam novelnya, Berger juga berusaha untuk mengirimkan narasi penting yang menyuarakan anti perang.
Bagi penggemar adegan aksi dan peperangan khas film blockbuster Hollywood, jangan khawatir, film All Quiet on the Western Front menyimpan segudang fenomena tragis penuh darah dan anggota tubuh yang membuat Anda cukup gusar berpikir, 'kok bisa ya menempatkan Dunkirk/Pearl Harbour sebagai film perang paling keren?'.
Lanjut ke sebelah..
Sebagai film yang mayoritasnya diproduksi dan dibintangi oleh orang Jerman, film ini bisa menjadi salah satu film Jerman 'paling ramah' untuk penonton Hollywood. Terutama, jika ditilik dari segi penokohan dan plot cerita.
Duet karakter beda generasi yakni Paul Bäumer serta Stanislaus 'Kat' Katczinsky (Albrecht Schuch) berperan penting dalam hal itu.
Kisah persahabatan mereka membawa keduanya menjadi sosok 'protagonis' dan sisi penting yang dapat mengakomodir 'keramahan' film ini.
Belum lagi sosok negosiator Matthias Erzberger yang diperankan nyaris sempurna oleh Daniel Brühl dengan penuh ketenangan, sehingga memberikan penawar kehangatan untuk dingin dan kakunya kisah dalam All Quiet on the Western Front.
Im Westen nichts Neues atau yang dapat diartikan secara lepas sebagai 'tidak ada yang baru di Barat', merupakan narasi anti perang yang mengkritik pedas kebijakan perang Kekaisaran Jerman pada masa PD I.
Dalam sejarahnya, Im Westen nichts Neues menggambarkan sikap Jenderal Jerman Friedrichs (Devid Striesow) yang bersikukuh mempertahankan wilayah Jerman di dekat wilayah La Malmaison milik Perancis.
[Gambas:Photo CNN]
Selama musim semi 1917 hingga musim dingin 1918, jutaan nyawa pasukan perang dari kedua sisi melayang sia-sia untuk memperebutkan batas wilayah sepanjang ratusan meter saja.
Kembali kepada judul aslinya, interpretasi judul Im Westen nichts Neues juga disiratkan dengan ajaib oleh Berger di sepanjang 150 menit film ini berjalan.
Sejak adegan awal hingga akhir, terdapat beberapa adegan repetitif seperti adegan kumbang tanduk, mengumpulkan identitas jenazah perang, sampai kekakuan gaya komedi Jerman yang nyatanya tidak banyak berubah hingga saat ini.
Adegan-adegan berulang itu, bagaimanapun, menyiratkan pesan dalam judul aslinya: tidak akan ada hal yang baru, sekuat apapun kita berusaha.
Selain karakter Paul Bäumer dan para komradnya, Berger tidak menempatkan protagonis lain. Pola ini tentu berbeda dengan film-film peperangan lain yang memiliki unsur keberpihakan terhadap negara atau instansi tertentu.
Dalam film ini, Berger murni menyuarakan pesan anti perang yang menjadi tolak ukur utamanya.
Merujuk kepada kalimat pertama saya terkait selipan komedi dalam tragedi, saya menetapkan All Quiet on the Western Front sebagai salah satu produk satire paling mumpuni.
[Gambas:Youtube]
Bukan tanpa alasan, ketika menyaksikan film ini, kemunafikan, ego, hingga kepolosan umat manusia dengan polesan iri dan dengki masih tergambar nyata dalam kehidupan saat ini, nyaris satu abad usai tragedi dalam film ini terjadi.
Dengan amat yakin, saya bisa memprediksi jika All Quiet on the Western Front dapat berbicara banyak untuk mewakili Jerman dalam Academy Award for Best International Feature Film di Academy Awards ke-95.