Jakarta, CNN Indonesia --
"Untuk apa semua ini?" tanya Ani.
"Ego." jawab Edi.
Percakapan antara Ani (Febby Rastanty) dan Edi (Yusuf Mahardika) dalam salah satu adegan dalam Balada Si Roy di atas adalah yang paling tepat menggambarkan yang saya rasa selama melihat film 109 menit ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kisah Roy yang diangkat dari novel Gol A Gong yang hit pada dekade '90-an silam tidak membuat saya merasakan karakternya berbeda atau memiliki ciri khas dari 'pemuda SMA' lainnya yang sudah dikenal luas.
Sama seperti Boy, Rangga, atau Dilan, Roy hanya menggambarkan bagaimana sosok pemuda yang pada kasus ini duduk di bangku SMA, dianggap "edgy" alias keren pada akhir dekade '80-an.
Mungkin Roy bisa menjadi hit dan punya banyak penggemar pada seri novelnya rilis 30 tahun silam. Namun ketika diangkat dalam film yang rilis 2023, saya sendiri mempertanyakan esensi dari film ini.
Pada satu sisi, saya mengapresiasi Salman Aristo sebagai penulis naskah, Fajar Nugros sebagai sutradara, hingga Adib Hidayat sebagai kurator musik, atas riset dan penyusunan unsur budaya dalam film ini sehingga bisa semirip mungkin dengan dekade '80-an.
Hal itu terlihat dari bagaimana gaya busana, rambut, kendaraan, properti, hingga soal musik yang digunakan dalam Balada Si Roy, sudah amat cukup menggambarkan suasana tersebut.
 Review Balada Si Roy:gaya busana, rambut, kendaraan, properti, hingga soal musik yang digunakan dalam Balada Si Roy, sudah amat cukup menggambarkan suasana dekade '80-an. (dok. IDN Pictures via YouTube ) |
Komponen ini jelas menjadi nilai tambah bagi mereka yang menghabiskan masa mudanya pada waktu itu atau mereka yang menjadi penggemar dari kisah Balada Si Roy.
Namun suasana tersebut bagi saya terasa tidak optimal lantaran sinematografi yang kelewat mutakhir untuk film ini. Bayangkan menggunakan kamera dan visualisasi standar 2020-an untuk merekam masyarakat dengan gaya dan perilaku 30 tahun silam, saya bagai melihat sebuah pesta kostum atau film televisi di pagi hari.
Mungkin sedikit berkaca pada kisah The Fabelmans yang juga berlatar di masa lalu. Namun film itu tidak berambisi untuk memamerkan kejernihan gambar setinggi mungkin, sehingga nyawa masa lalu itu tak hilang dari cerita.
Kemudian dari segi cerita, saya sebenarnya bingung dengan maksud Salman Aristo menulis cerita film ini.
Lanjut ke sebelah...
Penuturan dengan tempo yang cepat, seolah-olah memaksa penonton loncat ke berbagai peristiwa dalam hidup Roy.
Belum lagi unsur cinta monyet anak SMA dan idealisme ala aktivis mahasiswa yang ada dalam hidup Roy. Dari sini, saya merasa Salman membuat Roy seperti Boy, yang memiliki penggambaran kontras dalam karakternya, tapi dengan cara yang agak kasar.
Boy dalam Catatan Si Boy, memang memiliki sikap yang agak kontradiktif dalam dirinya. Ia tampan, kaya, santun, dan soleh, tapi ia juga perokok, suka dugem, dan bermesraan dengan pacarnya.
Sementara untuk Roy, dia semula digambarkan sebagai anak gaul, soleh, penulis andal, dan intelek. Namun dalam sekejap berubah menjadi berandal, tukang mabuk, womanizer, dan tukang balap jalanan. Semua terjadi bahkan begitu cepat dan dalam tempo yang singkat.
Belum lagi dengan cinta-cinta monyet yang --jujur saja-- mengganggu Roy berproses mencari dan menemukan jati diri. Sehingga, poin cerita utama soal pencarian jati diri tertutupi kehebohan demi kehebohan Roy dengan karakternya labil.
Manusia memang bisa memiliki karakter yang berubah seiring dengan perjalanan hidupnya. Namun lika-liku hidup Roy dalam film ini sama sekali tidak realistik dengan dunia nyata, meski sudah memasukkan unsur realisme di dalamnya.
 Review film Balada Si Roy: narasi utama akan pencarian jati diri Roy tertutupi dengan ego maskulin yang begitu diagungkan dalam film ini lewat banyak adegan dan aksi para karakternya. (dok. IDN Pictures via YouTube ) |
Selain itu, narasi utama akan pencarian jati diri Roy tertutupi dengan ego maskulin yang begitu diagungkan dalam film ini lewat banyak adegan dan aksi para karakternya.
Sehingga saya pun mempertanyakan, apakah film ini hanya untuk memuaskan ego sineasnya untuk bernostalgia akan dekade '80-an? Atau berusaha menyempil di antara arketipe cowok ideal yang sudah ada? Atau merebut pasar Gen Z yang masih remaja? Atau memang ingin memotret bagaimana seorang pria mencari jati dirinya?
Terlepas daripada keruwetan saya memahami film ini, saya angkat topi untuk penampilan Bio One.
Saya sudah cukup salut akan penampilannya dalam Srimulat: Hil yang Mustahal - Babak Pertama (2022) yang juga digarap oleh Fajar Nugros. Namun di Balada Si Roy, Bio One jelas menunjukkan dirinya memang berbakat sebagai aktor karakter.
Menurut saya, Bio One memiliki peluang besar untuk lebih mengembangkan diri lagi menjadi aktor karakter yang cakap. Apalagi, memang tak banyak aktor di Indonesia yang mampu seutuhnya menjadi karakter yang ia mainkan hingga lepas dari identitas aslinya.
Selain itu, Balada Si Roy juga sebenarnya sebuah proyek yang bagus untuk mengeksplorasi wilayah lain di Indonesia, sehingga secara perlahan industri film tidak lagi harus Jakarta-sentris.
[Gambas:Youtube]