Jakarta, CNN Indonesia --
Dalam dunia olahraga, Air bagi saya bagaikan tim underdog yang jarang diunggulkan tapi berhasil keluar sebagai pemenang. Karya terbaru Ben Affleck itu bahkan nyaris punya segalanya untuk jadi salah satu yang terbaik tahun ini.
Saya datang menonton film ini tanpa memikul banyak ekspektasi. Tidak lebih dari modal kesukaan terhadap film biopik serta wawasan umum seputar industri NBA, Michael Jordan, hingga lini bisnis Air Jordan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun hebatnya, Ben Affleck berhasil mengajak saya merasakan pertaruhan dramatis Nike kala menggaet seorang rookie penuh talenta bernama Michael Jordan pada awal musim NBA 1984.
Affleck membawa saya ke masa itu sejak awal film, ketika penonton berkenalan dengan salesman dan 'pakar' divisi bola basket Nike bernama Sonny Vaccaro (Matt Damon) yang akan menjadi pusat cerita.
Perkenalan itu sekaligus dimanfaatkan Affleck untuk memastikan penonton 'nyetel' dengan latar era 1980-an. Ia menggambarkan keadaan zaman pada masa itu lewat berbagai dialog hingga selipan referensi di berbagai adegan pembuka.
Orientasi singkat itu pun cukup membuat saya paham dengan kondisi masa itu, termasuk keadaan Nike yang tengah di ambang kebangkrutan akibat rendahnya penjualan sepatu.
 Review film Air: Meminjam istilah bola basket, Air bagaikan slam dunk yang melesat dengan indah hingga membuat penonton tak berhenti tepuk tangan. (Prime Video/Ana Carballosa via IMDb) |
Perusahaan itu juga masih menjadi anak bawang di lini sepatu bola basket, kalah jauh dari merek lain seperti Adidas hingga Converse. Kemudian dari situ, pertunjukan sesungguhnya baru dimulai.
Alex Convery selaku penulis naskah bersama Ben Afleck berhasil menerjemahkan peristiwa di balik momen bersejarah tersebut menjadi kisah yang menarik untuk ditonton.
Pasalnya, film ini sesungguhnya punya materi cerita yang berat meski sejarah lahirnya Air Jordan sudah melegenda. Modal film ini seolah berada di tepi jurang kebosanan karena berbicara soal strategi marketing hingga industri sepatu yang sangat tidak mainstream.
Namun, racikan naskah Convery dan ketajaman Ben Affleck di kursi sutradara berhasil mengantisipasi tantangan itu dengan brilian.
Mereka berhasil menyajikan tontonan bertema bisnis menjadi hiburan yang mengandung banyak emosi, mulai dari gelak tawa, negosiasi dengan tensi tinggi, hingga momen penuh haru.
Air menawarkan kesan yang mirip dengan biopik ikonis lain, seperti Moneyball (2011), Spotlight (2015), hingga The Big Short (2015). Keempat film tersebut menawarkan kisah orang-orang yang mendobrak kemapanan dengan sudut pandang menarik.
Bedanya, tiga film sebelumnya menembus sistem atau institusi pemegang status quo, sedangkan Air berusaha mengalahkan kompetitor yang sudah mapan di dunia bisnis.
Saya juga perlu memuji langkah Ben Affleck yang konsisten mengisahkan sejarah Air Jordan dari sudut pandang orang-orang kunci Nike saja.
[Gambas:Video CNN]
Ia tidak tergoda untuk memberikan porsi yang banyak bagi Michael Jordan, mengingat film ini bukan biopik sang legenda. Meski begitu, Affleck tetap menunjukkan keberadaan MJ dengan caranya sendiri.
Sejumlah adegan yang melibatkan Michael Jordan hanya menyorot bagian punggung atau tubuh sang atlet, serta mendapat porsi dialog tak lebih dari hitungan jari.
Langkah itu saya rasa menjadi jalan tengah terbaik yang dipilih sang sutradara. Ia berhasil konsisten dan beralih fokus ke MJ, tetapi kehadirannya tetap terasa karena sejarah Air Jordan akan selalu melekat dengan sang legenda.
Lanjut ke sebelah...
Di samping itu, deretan aktor yang membintangi film ini juga mempersembahkan penampilan terbaik sesuai peran mereka masing-masing. Matt Damon berhasil membawa karakter Sonny Vaccaro menjadi seorang salesman yang begitu berdedikasi dan gigih saat mengetahui potensi Michael Jordan.
Naskah garapan Convery juga menyempurnakan penokohan Sonny yang memiliki rekam jejak tak terlalu mentereng sebagai karyawan divisi bola basket. Situasi itu membuat Sonny terlihat seperti harus mendaki tembok yang menjulang tinggi demi menuntaskan misinya.
Ia harus meyakinkan para pengambil keputusan di perusahaan, yang juga diperankan dengan apik oleh para aktor. Diskusi alot Sonny dengan Rob Strasser (Jason Bateman) hingga Phil Knight (Ben Affleck) melahirkan interaksi yang menjaga perjalanan cerita tetap dinamis.
Mereka juga tak jarang melontarkan kelakar dan 'banter' khas orang-orang di industri olahraga yang menghibur. Hubungan dinamis antara ketiga tokoh itu semakin heboh dengan kehadiran Howard White yang diperankan Chris Tucker.
Tucker yang dikenal dengan omongan nyeleneh serta reaksi komikal di saga Rush Hour, berhasil memperkaya adegan-adegan lucu berkat persona uniknya.
Di sisi lain, kehadiran Chris Messina sebagai David Falk yang menjadi agen Michael Jordan juga sukses menggambarkan sosok agen atlet dengan akurat. Hubungan bisnis antara Falk dengan Sonny bagi saya berhasil menciptakan momen lawan menjadi kawan yang kerap kita lihat di setiap industri.
 Review film Air: MVP dalam film ini tetap menjadi milik Viola Davis. Ia berhasil memerankan Deloris Jordan, ibunda Michael Jordan, dengan gemilang setiap kali muncul dalam adegan. (Prime Video via IMDb) |
Namun bagi saya, MVP dalam film ini tetap menjadi milik Viola Davis. Ia berhasil memerankan Deloris Jordan, ibunda Michael Jordan, dengan gemilang setiap kali muncul dalam adegan.
Keberadaan Deloris Jordan sebagai sosok penting di balik karier Michael Jordan terasa begitu nyata berkat akting brilian Davis. Saya bahkan tak ragu menyatakan bahwa penampilan Viola Davis mampu menghadirkan nyawa keluarga Jordan dalam cerita Air.
Seperti dalam adegan Deloris Jordan menelepon Sonny usai anaknya mau menerima pinangan Nike dengan satu syarat. Monolog Davis dalam adegan itu bagi saya menjadi salah satu monolog paling powerful yang pernah dibawakan oleh seorang aktor.
Rasa kagum saya juga dipertegas ketika Ben Affleck mengaku mendapat rekomendasi langsung dari Michael Jordan agar karakter ibunya diperankan oleh Viola Davis.
Penampilan Davis dalam Air juga mempertegas kedudukan dirinya sebagai satu dari segelintir seniman pemegang status EGOT alias pemenang Emmy, Grammy, Oscar, dan Tony (EGOT).
Pada akhirnya, Air bagi saya menjadi bukti bahwa Ben Affleck patut diperhitungkan sebagai sutradara berbakat di Hollywood saat ini. Karya ini merupakan salah satu film terbaik yang pernah digarap Affleck, bahkan bersanding dengan Argo (2012).
Air juga menjadi film biopik yang jarang ditemukan karena mampu menyeimbangkan porsi drama dan olahraga. Saya rasa film ini akan sangat memuaskan bagi penggemar Michael Jordan dan Air Jordan maupun orang-orang yang awam dengan industri NBA.
Meminjam istilah bola basket, Air ibarat tembakan slam dunk yang melesat dengan indah dan menuai tepuk tangan meriah penonton ketika masuk ke dalam ring.
[Gambas:Youtube]