Namun bukan berarti unsur lokal yang dimaksud adalah kisah kolosal. Sandiwara seperti Catatan Si Boy juga tenar dalam bentuk gambar bergerak, begitu pula kini dengan berbagai sandiwara modern soal kehidupan sehari-hari.
Kemampuan gampang diterima oleh masyarakat inilah yang sempat dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia untuk menggalakkan programnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada era Orde Baru, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sempat memproduksi sandiwara radio berjudul Butir-butir Pasir di Laut yang bercerita tentang pentingnya KB.
Sandiwara radio pun bukan hanya dibuat oleh mereka yang ada di ibu kota. Di Jawa Barat, sejumlah radio aktif membuat sandiwara, yang terkenal adalah dongeng Si Rawing yang dibawakan oleh maestro sunda Ahmad Sutisna alias Wa Kepoh.
Ada juga 'Sempal Guyon Parahyangan si Kundang' yang dibawakan oleh Iwan Ardi dan Tisna Sutisna. Pada sandiwara bodor ini, Tisna memerankan 14 tokoh sekaligus dengan suara yang berbeda-beda.
Kini, di Jawa Barat bukan lagi soal drama berbahasa Sunda. Radio Ardan di Bandung saat ini punya program sandiwara radio unggulan berupa kisah horor bertajuk Nightmare Story sejak 1992 dan masih berjalan hingga kini.
Termasuk, saat gelombang digital jadi wadah hiburan audio. Semenjak internet penetrasi ke berbagai lini masyarakat pada era milenium, berbagai platform digital jadi wadah baru bagi sandiwara radio, atau yang kini beken disebut drama audio atau drama podcast.
Sebut saja seperti Mau gak Mau yang dikeluarkan oleh Podcast Rapot dan Do You See What I See (DYSWIS), sandiwara radio cerita horor yang dibuat oleh Rizky Adi Nugroho alias Mizter Popo.
Hikmat semakin yakin dengan geliat sandiwara audio saat ini, hiburan itu tak akan mati. Apalagi, di tengah makin sibuknya dunia yang mendesak orang-orang untuk multitasking, sandiwara audio masih bisa diandalkan.
Basith Patria, dosen Departemen Jurnalistik Fikom Unpad, pun berpendapat serupa. Terlebih, kata dia, karakteristik sandiwara audio tak bisa digantikan dengan visual.
"Kalau kita menyaksikan visual, misal kalo horor, wujud hantunya seragam ya, pocong-pocong semua, kuntilanak-kuntilanak semua. Tapi kalau audio theater of mind itu bisa muncul sesuai dengan pikiran setiap orang," kata Basith.
"Ketika kita mendengar karakter hantu yang ada di sandiwara radio itu maka yang muncul sesuai imajinasi masing-masing. Jadi karakter itu bisa jadi lebih kuat, karena spesifik masing-masing orang itu punya gambaran beda-beda tergantung personifikasi orang itu."
"Ciri khas theater of mind tidak bisa digantikan," tutupnya.
(yla/end)