Rampung melihat The Idol secara maraton membuat saya juga paham mengapa sutradara juga aktris Amy Seimetz memilih cabut dari proyek ini meski sudah menggarap 80 persen hanya dengan alasan "perbedaan kreatif".
Seimetz jelas bertentangan secara ide dengan tiga eksekutif produser lainnya. Ia yang merupakan perempuan penyintas pelecehan rasanya mustahil membuat film dengan visualisasi seburuk ini dalam menggambarkan perempuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tentu saja, gagasan dan karya Seimetz kemudian dibuang oleh Sam Levinson yang memilih menggarap ulang sesuai 'visi' dirinya dan dua produser eksekutif lainnya.
Jalan cerita The Idol versi Sam Levinson ini pun terbilang "dangkal" dan membosankan. Lima episode sepenuhnya ditulis dan digarap oleh Abel Tesfaye dan Levinson.
Meski beberapa kutipan percakapan terbilang "quoteable" dan memang menggambarkan filosofi atas penciptaan sebuah karya, yakni kebebasan, tapi sisanya terasa begitu saja berlalu.
Sebenarnya cerita mulai seru saat menjelang episode final. Namun plot twist yang diberikan Abel Tesfaye dan Sam Levinson sungguh-sungguh merusak momen. Cerita itu makin menegaskan The Idol hanya sekadar glorifikasi pria toksik dalam kehidupan dan karier perempuan.
Mungkin yang bisa membuat saya bertahan mengarungi lima jam penuh ketidakjelasan The Idol adalah urat kesabaran saya, sinematografi yang cukup baik dan dramatis ala A24 dan HBO, serta akting sejumlah pemain yang memang baik.
Saya mesti memberikan pujian pada Lily-Rose Depp yang bukan hanya menampilkan performa secara totalitas, tetapi juga sanggup bertahan menjalani produksi serial ini.
Terlepas ia memang bersedia tampil bugil di depan kamera dan keturunan aktor karakter papan atas, Lily-Rose Depp memang punya bakat dalam berakting. Jika terus mengasah diri dan menambah jam terbang di proyek yang 'beneran' berfaedah, bukan mustahil ia punya masa depan cemerlang.
Kemudian ada Suzanna Son yang menampilkan sosok Chloe yang lugu dan bertalenta emas. Son dan Lily-Rose Depp bagi saya adalah the real Idol dalam serial ini.
Atribusi khusus saya ingin berikan pada Jennie Ruby Jane alias Jennie BLACKPINK. Meski secara kualitas akting dalam serial ini tak menonjol, aura Jennie sungguh prima bila sudah menari dan koreografi. Terpaan dan hasil training industri KPop memang tak main-main untuk soal dance.
Terakhir, saya hanya ingin berharap serial ini dan sekualitas ini tak lagi dilanjutkan. Selain karena buang-buang waktu penonton, kita tak butuh lagi narasi-narasi misoginis, seksisme, toksik maskulinitas, apalagi cabul, hanya dengan alasan "kebebasan berekspresi".