Jakarta, CNN Indonesia --
Harrison Ford menutup satu lagi buku waralaba yang dibintanginya. Kali ini, aktor tersebut menggantung lasso dan topi fedora Indiana Jones lewat film Dial of Destiny.
Sutradara James Mangold dan Ford terang-terang mengatakan bahwa film Dial of Destiny ingin menyuguhkan cerita dan menampilkan bagaimana Indiana Jones sudah berada di usia senja.
Itu tampak sejak pertama kali Indiana Jones yang sudah berusia 70-an tahun muncul di layar kaca. Profesor yang kerap disapa Indy itu terbangun di sebuah apartemen sederhana di New York, hanya mengenakan celana pendek.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari adegan tersebut, penonton bisa melihat bagaimana petualang legendaris itu sudah menua. Rambutnya putih dan menipis, badannya semakin membungkuk, jalannya pelan, keriput memenuhi sekujur wajah dan tubuhnya.
[Gambas:Video CNN]
Indiana Jones saat itu benar-benar menggambarkan istilah "grumpy old man" lewat sebuah adegan yang mesti membuatnya berhadapan dengan anak muda.
Mungkin memang cara ini yang dirasa paling tepat untuk menyampaikan bahwa sang petualang arkeolog itu tidaklah abadi. Ia hanya manusia biasa yang ikut menua seiring berjalannya waktu; bahwa ada saatnya dia akan pensiun dari berpetualang untuk membuka tabir rahasia dunia.
Begitulah premis yang ditulis oleh James Mangold bersama rekan penulis lainnya: Jez Butterworth, John-Henry Butterworth, dan David Koepp.
Para penulis itu tampak ingin menunjukkan bahwa Bumi terus bergerak maju dengan menggambarkan bahwa kali ini dunia--tepatnya Amerika dan Rusia--sedang kebut-kebutan untuk mendaratkan manusia pertama kali di Bulan.
Sementara masyarakat melihat ke masa depan, ada Indiana Jones yang masih berkutat dengan masa lalu. Melihat dunia di sekelilingnya, Ia kini sudah tidak nafsu dengan kehidupannya.
Hingga akhirnya karakter Phoebe Waller-Bridge bernama Helena Shaw datang menyelamatkannya. Helena mengajak ayah baptisnya bertualang untuk terakhir kalinya demi menemukan Pelat Archimedes. Artefak itu dipercaya bisa melakukan perjalanan ke masa lalu.
 Karakter yang diperankan Phoebe Waller-Bridge membawa angin segar ke film Indiana Jones 5. (Jonathan Olley / Lucasfilm Ltd.) |
Masuknya Waller-Bridge memberikan angin segar bagi film terakhir Indiana Jones. Karakter yang ia perankan cerdik, cekatan, serta tentu saja memiliki minat yang sama dengan ayah dan ayah baptisnya terhadap arkeologi. Jika tidak, maka tidak bakal ada cerita Dial of Destiny.
Helena pada akhirnya mampu memahami betapa pentingnya artefak-artefak kuno itu, bukan sekadar rongsokan dari masa lalu yang bisa ditukar dengan uang.
Begitu pula dengan Indiana Jones. Secara tidak langsung, lewat bertualang dengan Helena ia belajar untuk menghargai masa kini, sepahit apa pun kondisinya.
[Gambas:Youtube]
Lanjut ke sebelah...
James Mangold mesti diancungi jempol dalam menutup petualangan terakhir Indiana Jones lewat cerita yang disuguhkan di Dial of Destiny. Ia mengisi kekosongan besar yang ditinggalkan oleh Steven Spielberg, sutradara yang menangani empat film sebelumnya.
Namun, Mangold terasa seperti benar-benar memahami Indiana Jones. Film Dial of Destiny masih menyuguhkan komedi ala Indiana Jones hingga petualangan yang lengkap.
Oleh Mangold, Indiana Jones diberi petualangan di udara, air, dan tentu saja darat. Tentu saja ia tidak lupa untuk memberikan teka-teki yang mesti dipecahkan agar bisa menemukan "harta karun" Archimedes.
Mangold juga mengembalikan waralaba Indiana Jones pada fitrahnya dengan membuat sang petualang menghadapi musuh bebuyutannya lagi: Nazi.
Kali ini Nazi itu dihidupkan lewat karakter bernama Jurgen Voller yang diperankan oleh Mads Mikkelsen. Akting Mikkelsen sebagai tokoh antagonis sudah tidak perlu ditanyakan lagi. Ia sudah fasih dalam memerankan villain di film-film sebelumnya, seperti di Hannibal, Casino Royale, hingga Fantastic Beasts 3.
 Mads Mikkelsen berperan sebagai mantan Nazi bernama Jurgen Voller. (Lucasfilm Ltd.) |
Dalam Indiana Jones and the Dial of Destiny, Jurgen Voller diceritakan memiliki ambisi sejak lama untuk merebut Pelat Archimedes agar bisa kembali ke masa lalu dan "memperbaiki" sejarah.
Ini bukan pertama kali Voller bertemu dengan Indiana Jones ketika Amerika dan Rusia sedang berlomba ke luar angkasa. Keduanya sudah pernah bertemu ketika masih lebih muda, tepatnya di tengah Perang Dunia II.
Pertemuan Indy dan Voller di masa lalu itu membuat artificial intelligence (AI) dan teknologi CGI masuk dan terpaksa mesti membuat wajah keduanya lebih muda. Langkah ini tidak disambut baik oleh para kritikus dan penggemar Indiana Jones.
Saat menonton di layar lebar, wajah Indy dan Voller versi muda memang terlihat agak coak sana-sini. Tapi, saya mesti sepakat dengan pembelaan Harrison Ford. Itu tetap wajahnya ketika masih muda dulu.
Intervensi AI dan CGI untuk mempermuda Indy dan Voller bagi saya tidak terlalu mengganggu. Toh, porsi cerita di zaman Perang Dunia II itu juga tidak terlalu banyak dan membuat penonton terdistraksi dengan wajah "palsu" Indy dan Voller sepanjang film.
 Tampilan Harrison Ford sebagai Indiana Jones versi lebih muda. (dok. Walt Disney Studios via IMDb) |
Pada akhirnya, Dial of Destiny tetap menyuguhkan petualangan yang menyenangkan. Meskipun, menurut saya penutupnya agak kurang memuaskan karena meninggalkan perasaan menggantung usai credit title diputar.
Namun, Dial of Destiny tetap menjadi film penutup yang baik untuk berpisah dengan Harrison Ford sebagai Indiana Jones. Bahkan, bisa dibilang mengharukan.
Lagi-lagi mengutip perkataan Harrison Ford, tidak ada yang bisa menggantikan dirinya sebagai Indiana Jones. Jika bukan Harrison Ford yang bermain, lebih baik tidak usah ada Indiana Jones lagi.
[Gambas:Video CNN]