Saya pun tak bisa mencela hal itu. Toh saya juga menikmati bagaimana drama, asumsi, dan berbagai penilaian subjektif yang tersaji dalam tayangan ini yang kemudian bisa menjadi bahan obrolan --atau gibah-- baru dengan teman-teman selingkaran.
Ditambah dengan era media sosial saat ini yang jauh lebih liar dan 'ganas' dibanding pada 2016, netizen pasti dengan cepat akan menggali lebih dalam daripada yang dilakukan Rob Sixsmith dan kawan-kawan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal lain yang membuat dokumenter ini nyaman sekali ditonton --bahkan sembari makan dan minum kopi-- adalah aspek sinematografinya.
Salut saya untuk tim sinematografi yang mencakup 11 orang, terdiri dari 7 director of photography asal Indonesia, Jerman, dan Singapura; serta 3 operator kamera.
Kerja keras mereka, ditambah dengan tim editing dan efek visual juga grafis, memperkuat unsur drama dalam Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso.
Sisipan-sisipan semacam trivia hingga footage yang agak out of topic pun membuat perjalanan penonton menjadi tidak bosan dan otak jadi 'penuh' dengan berbagai "lautan fakta", yang tentu tidak semua orang ingat dari perjalanan sidang 7 tahun lalu.
Namun memang dokumenter provokatif ini tentu bisa berbuah keriuhan, bahkan bisa jadi hal yang lebih serius. Pro-kontra hingga mungkin 'netizen power' bisa saja muncul karena pembahasan dokumenter ini.
Apalagi, dokumenter ini secara tersirat tapi cukup terlihat dengan jelas, menonjolkan bagaimana sistem peradilan di Indonesia berjalan yang selama ini banyak menjadi sorotan dan sasaran keluhan dari netizen.
Bukan tidak mungkin, dari dokumenter ini memancing masyarakat membuka lebih banyak mata dan menyoroti lebih dalam untuk mengawasi para penegak hukum.
Meski begitu, bagi saya, dokumenter ini seperti jawaban keinginan terpendam saya sejak lama: melihat sajian tayangan yang diangkat dari kasus kriminal di Indonesia yang tak kalah 'aneh', misterius, dan jauh lebih seru dari yang ada di Amerika Serikat.