Hal itu juga tak bisa terlepas dari peran tata suara yang menurut saya tidak konsisten sepanjang film ini. Ada scoring yang pas untuk sebuah adegan, tapi di adegan yang lain scoring justru merusak mood cerita.
Sebenarnya scoring mengerikan dan kencang tidak melulu mesti hadir dalam menciptakan jumpscare atau membangun mood creepy dan horor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kadang, hal yang tak terduga justru hiburan menyenangkan dalam film horor. Bagi saya, horor menantang sineas dan tim kreatifnya untuk berpikir 'jahil', out of the box, dan bermain-main dengan psikis penonton.
Meski begitu, saya mengapresiasi bagaimana Azhar dan tim menampilkan bentuk setan yang sungguh membuat mual dan terlepas dari 'seleb' setan Indonesia, nyonya K dan tuan P.
Azhar juga sungguh berani menampilkan adegan thriller yang saya bilang cukup sadis. Belum lagi tim rias dan prostetik yang jelas bekerja keras mewujudkan imaji muka melepuh hingga merobek kulit yang bikin bergidik.
Selain itu, hal lain yang saya anggap disayangkan dari film ini adalah penampilan menawan dari para aktornya ternyata tak banyak membantu mendongkrak film ini.
![]() |
Teuku Rifnu tak perlu diragukan lagi dalam berakting, apalagi kalau perannya antagonis atau sosok yang kejam. Teuku Rifnu dan Tyo Pakusadewo masuk top of mind saya bila membahas soal aktor piawai peran bad guy.
Rifnu sungguh menjadi pusat gejolak emosi penonton sepertiga awal film ini berjalan. Penampilannya terbilang mulus membawakan sosok Suyatno yang 'gelap', misterius, hingga bernuansa jahat.
Hingga kemudian cerita berubah, saya harus mengakui tak terbiasa melihat aksi Rifnu yang membawakan sisi lain Suyatno.
Perubahan emosi dan karakter itu pula yang membuat saya merasa, Teuku Rifnu mungkin masih bisa mendalami emosi rapuh dan keputusasaan Suyatno secara lebih dalam dan membawanya lebih keluar di depan kamera.
Meski begitu, kemampuan Rifnu untungnya bisa diikuti oleh Taskya Namya. Setidaknya, Taskya tidak terlihat jomplang saat harus beradu akting berdua saja dalam satu frame dengan aktor tersebut.
Namun kembali lagi, sinematografi yang apik, penampilan pemain yang luar biasa, hingga kostum dan rias yang on point akan tetap terasa hampa bila naskah belum matang sempurna.
Yang jelas, saya kini jadi penasaran. Seandainya Di Ambang Kematian bisa 'dimasak' dengan lebih lama, lebih well-prepared tanpa mengurangi bagian-bagian yang sudah on-point, mungkin film ini bisa masuk daftar film Indonesia 2023 terbaik saya di akhir tahun nanti.
(end)