Boys will be boys. Mungkin itu yang menggambarkan bagaimana saya melihat David Beckham setelah melihat dokumenternya yang saya akui membuka sisi lain dari legenda pesepakbola itu.
Serial dokumenter garapan Fisher Stevens itu harus saya akui membuka sisi jujur dari seorang pesepakbola yang seumur hidup saya, hanya bisa saya melihat di layar kaca.
Lihat Juga : |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beckham tak bisa terbantahkan adalah seorang pemain sepak bola dengan bakat alami dari surga. Dokumenter ini pun menggambarkan dengan sempurna bagaimana pria kelahiran 2 Mei 1975 menunjukkan bakatnya di lapangan hijau.
Meski menangkap dengan cermat perjalanan karier dan hidup seorang Beckham, bagi saya sajian terunik dalam serial dokumenter ini adalah bagaimana sepak bola yang jadi hidup Beckham melawan pasangan, keluarga, loyalitas, bahkan termasuk dirinya sendiri.
Selama empat episode, Stevens menunjukkan bagaimana bocah hasil obsesi ayahnya terhadap Manchester United itu selalu maju-mundur dalam menentukan prioritas dalam setiap bab perjalanan hidupnya, antara sepak bola atau yang lain.
Uniknya, Beckham memang menggambarkan banyak dari manusia pada umumnya. Bagaimana manusia berkembang namun tidak dalam garis linear apalagi eksponensial. Akan selalu ada puncak dan lembah dalam garis kehidupan manusia, meski trennya adalah menanjak.
Dan bagi saya, sepak bola adalah kebahagiaan masa kecil Beckham yang ia pelihara hingga dewasa. Mungkin sama seperti ketika di setiap pria dewasa, akan selalu ada sisi anak-anak mereka yang muncul pada masa-masa tertentu.
Dengan naskah yang saya sebut sangat rapi, matang, terstruktur, dan jelas komposisi antara visual, narasi, hingga footage, dan skoring, Stevens menangkap ekspresi, kebiasaan, hingga curhatan David Beckham dengan sangat baik.
Belum lagi dengan wawancara yang jelas butuh berhari-hari, berbeda lokasi, hingga saya terbayang ada ratusan hingga ribuan footage yang mesti dipilih untuk menjadi bagian dari dokumenter berdurasi total lebih dari empat jam ini.
![]() |
Hanya saja, drama yang membuat alur cerita kisah David Beckham bagai roller-coaster agak sedikit hambar pada sebagian awal episode 4, serta sedikit mengawang-awang saat di bagian akhir episode 3.
Entah karena memang terlalu banyak drama yang terjadi, ataupun bisa jadi saya harus menyesuaikan diri antara kejadian yang diceritakan dengan ingatan seadanya soal Beckham di awal 2000-an.
Namun bagi mereka yang memang menjadi penggemar Beckham ataupun mengikuti perkembangan ayah tiga anak itu, pasti tak akan menemukan masalah berarti.
Terlepas dari itu, bagi saya pribadi, melihat Victoria Beckham bisa berbicara banyak bahkan berekspresi adalah sebuah hiburan tersendiri. Apalagi sejak menikah, Posh Spice ini memang terbilang lebih sibuk mengurus keluarganya dibanding muncul di publik.
![]() |
Selain itu, kisah Victoria dan David memberikan sisi lain dari kehidupan lain pasangan selebritas dan atlet yang menjalin asmara di puncak karier mereka. Bagaimana mereka harus berhadapan dengan media, fans, hingga tuntutan profesional dan keinginan pribadi.
Tentu saja segala itu menambah tantangan yang mesti dihadapi oleh Victoria dan David selain daripada berbagai kompromi, berusaha percaya, memahami, dan menghargai pasangan, seperti yang juga dihadapi pasangan manapun di dunia.
Mengingat Victoria dan David kini masih terlihat mesra dan terasa seperti sahabat, alih-alih pasangan mabuk kepayang karena cinta seperti di penghujung dekade '90-an, tentu ada sebuah salut tersendiri untuk pasangan ini.
Keputusan Fisher Stevens untuk dekat dengan keluarga Beckham selain daripada orang-orang yang pernah bekerja sama dengannya juga memberikan banyak sudut pandang baru tentang bagaimana dunia Beckham berjalan.
Meski tidak memiliki unsur drama-drama ala opera sabun yang digemari banyak penonton Indonesia dan Asia, serial dokumenter ini sangat layak untuk disimak, bukan hanya untuk penggemar sepak bola dan David Beckham, tetapi juga mereka yang berjuang menapaki tangga puncak karier dan kehidupan.