Runtai

Tangan-tangan
Nyoman Nuarta

Saya sampai sekarang itu enggak bisa hidup di dalam [bangunan]. Hidup itu harus dekat pohon, dekat dengan air.

Sembari duduk di sofa ruang tamu yang panjang, Nyoman Nuarta mengucapkan hal itu di awal-awal perbincangan dengan kami pada suatu siang di akhir September 2023.

Tentu bukan asal sebut. Ucapannya itu terbukti dari bentuk rumahnya yang berdiri di atas suatu bukit dan dikelilingi pepohonan tinggi nan rindang, yang masih jadi bagian kawasan Museum NuArt Sculpture Park, Bandung.

Udara yang saat itu cukup sejuk --entah karena hutan kecil di sekeliling rumah Nyoman atau memang masih jadi ciri Bandung Utara-- menemani obrolan kami. Tak jarang terdengar kicau burung dari kejauhan, serta gemericik air dari sungai kecil yang memang tak jauh dari kediamannya.

Tak jauh dari sana, ratusan stafnya di bengkel tengah mengebut pengerjaan proyek ambisius republik ini: Istana Negara di Ibu Kota Nusantara (IKN).

Rumah Nyoman tampak sepi dan jauh dari kesan rumah seniman totok. Rumahnya berdesain modern dan lapang, dengan jendela-jendela besar. Hanya ada beberapa patung sederhana di sejumlah sudut.

Nyoman masih tampak segar untuk seorang pria kelahiran 14 November 1951. Badannya tegap, pandangannya sesekali tajam seperti menganalisis hal yang mungkin sulit dipahami orang awam.

Dikenal sebagai pematung sukses yang kini terlihat hidup nyaman, Nyoman Nuarta sebenarnya sering berjuang sendirian. Bahkan, ia yang terlahir dengan bakat seni dan mestinya jadi kebanggaan orang tua Bali pun pernah menyimpan rasa minder di masa kecil.

"Di Bali itu, teman-teman saya, anak-anaknya luar biasa. Saya merasa malah paling kurang," kata Nyoman Nuarta.

"Yang lain itu, kalau kita jalan, ke ladang ada bambu, potong bambu,... dibakar, ditusukin, bikin lubang-lubang, jadi suling. Mereka langsung main. Saya enggak bisa."

Nyoman kecil pernah bertanya kepada bapaknya, kenapa ia tak seperti teman-temannya yang lain dan hanya asyik berkutat dengan melukis dan bereksperimen.

Sang ayah menjawab Nyoman kecil dengan bijak, "orang-orang itu dikasih kelebihan masing-masing dan kekurangannya. Kamu bisa gambar, coba teman kamu suruh gambar seperti kamu, bisa enggak? Ya enggak juga, kan?"

Nyoman bersyukur terlahir sebagai orang Bali, tumbuh di Tabanan, dan punya bakat seni. Kata Nyoman, orang Bali sangat menghormati anak dengan bakat seni.

Selain itu, alam Bali memang banyak mendatangkan inspirasi. Rasa bebas, menyatu dengan alam, serta kehidupan di lapang bikin Nyoman mencoba banyak hal. Termasuk, iseng-iseng gelar pameran karyanya sendiri ketika duduk Sekolah Menengah Pertama.

Hingga suatu kali, Nyoman Nuarta kenal dengan Nyoman Tusan, seniman lukis jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan the Royal Academy of Fine Art Belgia. Ia pun bertanya banyak ke Tusan soal pendidikan seni. Nyoman juga pernah minta Tusan menilai karya-karyanya yang tak biasa, salah satunya lukisan digilas ban mobil.

"Dia bilang, 'Wah ini cocoknya kamu ke ITB.' Sembari [saya] enggak tahu ITB kayak apa," kata Nyoman.

Hanya bermodal nekat, Nyoman pun coba merantau ke Bandung dan melanjutkan pendidikan tinggi di ITB. Namun sebelum ke Kota Kembang, ia mampir ke Yogyakarta dan Jakarta. Di dua kota itu, ia tak merasa mantap di hati.

Saat tiba di Bandung pada suatu malam usai naik bus jalur Puncak dari Jakarta, udara sejuknya seketika membuat Nyoman Nuarta jatuh hati. Seolah ia kembali ke Tabanan yang sejuk dan hijau.

Ia pun memantapkan hati mencoba peruntungan hidup di Bandung. Namun sayang, pendaftaran sudah ditutup dua pekan sebelum ia datang.

"Akhirnya, ya sudah bingung ke mana. Daftar dulu pariwisata, sekolah pariwisata," kenang Nyoman soal sekolah sementaranya dulu, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pariwisata Yayasan Pariwisata Indonesia-AKTRIPA.

"Makanya mengerti pariwisata, ada lumayan juga," ujarnya.

Nyoman hanya melakoni beberapa semester di sekolah itu. Saat akhirnya masuk ITB, ia memilih Seni Lukis. Namun ia tak lama di sana lantaran merasa jurusan itu bukanlah yang ia cari, meski sudah akrab dengan cat dan kanvas.

Ia kemudian memilih jurusan lain yang kurang terkenal, Seni Patung. Keputusannya pun ditentang dosen-dosen Seni Lukis. Mereka menilai keputusan Nyoman tengah membuang bakat dan pengalamannya dalam menggambar. Apalagi, Nyoman disebut murid pilihan para maestro.

Namun Nyoman bersikukuh pindah.

"Saya bilang, 'Pak di antara teman-teman ini, saya dari kecil sudah melukis, jelas saya paling bagus. Tapi kan rasanya saya sendiri yang tahu, rasanya kok sulit berkembang'," kenang Nyoman.

Di Seni Patung yang hanya punya studio kecil, Nyoman juga tak langsung menemukan jalan hidup. Banyak cara, bahan, dan teknik yang ia coba. Namun, ia juga mempertahankan jati dirinya, yakni aliran realisme yang sudah jadi DNA karya seniman asal Bali.

Gaya Nyoman itu sempat bertentangan para dosennya yang sebagian besar beraliran Barat, yakni abstrak. Sekali lagi, Nyoman bersikukuh.

"Dosen saya, Ibu Rita Widagdo dari Jerman aslinya,... [bilang] 'Wah dasar orang kampung, Bali kamu enggak hilang-hilang'. Saya bilang, 'ya ini kan Balinya beda'. 'Bali tetap saja Bali' kata dia," kenang Nyoman sembari tertawa.

Kurator dan pengajar Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, Mikke Susanto, menyebut 'DNA' seni patung Bali memang kental dalam darah Nyoman. Gaya mematung, sifat kerja kreatif yang detail dan ritmis, hingga teknis yang rumit adalah sifat berkesenian ala Bali yang dicatat Mikke ada dalam Nyoman.

"Kalau dalam bentuk, Nyoman itu mengelaborasi antara realitas dan fantasi. Itu yang paling umum. Dan yang muncul adalah bagaimana Nyoman memadukan fantasi dan realitas menjadi satu bentuk simbolisasi tentang apa yang ingin diungkapkan," kata Mikke.

"Jiwa urban dia sebagai manusia Indonesia muncul juga dalam karya-karyanya." katanya.

"Sehingga kita melihat ada konsep tentang Borobudur masuk ke dalam karyanya. Tentang realitas sosial, tentang orang-orang yang terdesak oleh keadaan, kemudian juga binatang yang ia ingin eksplorasi, entah domba, entah macan, entah beberapa hal tersebut," sambungnya.

Kekukuhan Nyoman mempertahankan identitas itu membuat ia bergabung suatu gerakan seni yang muncul pada dekade '70-an, yaitu Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB). Alasan Nyoman ikut GSRB pun disebutnya sederhana. Bagi dia, seni tidak semestinya "dikavling-kavling" atau dikotak-kotakkan.

"Kesenian itu seharusnya tidak boleh dibatasi oleh apapun," kata Nyoman. "Buat saya, itu anugerah saja dari Tuhan. Cuma itu saja, enggak ada yang lain. Jadi saya harus bela kesenian saya itu. Karena apa? Ya karena enggak ada pilihan lain," katanya.

"Kalau seni yang sudah seperti itu dibatas-batasi lagi, kebayang enggak sulitnya hidup [seniman]?" jelas Nyoman.

“Kalau dalam bentuk, Nyoman itu mengelaborasi antara realitas dan fantasi.”

Mikke Susanto
Kurator dan Dosen ISI Yogyakarta

Nyoman terus melaju berkreasi tanpa batasan, yang kemudian mempertajam kemampuannya dalam berbisnis. Kemudian salah satu tonggak dalam hidupnya datang ketika Presiden Soeharto mengadakan sayembara membuat desain baru Tugu Proklamasi di Jakarta pada 1972.

Nyoman yang berstatus mahasiswa tingkat akhir ITB nekat mendaftar seorang diri. Padahal, biasanya mahasiswa akan ditemani dosennya atau sebuah perusahaan. Nyoman pun tak tahu menahu soal gambaran lokasi tugu tersebut.

"Saya ikut sendiri, yang menggambar saya, yang bikin patung saya. Membawa [patung] ke Jakarta menyetir sendiri, sembari di Jakarta belum tahu di mana alamatnya," kata Nyoman.

Nyoman mengakui sempat merasa putus asa. Berangkat dari Bandung pagi buta bersama seorang asisten, baru di Jakarta Nyoman sadar maket patung itu kotor karena ia menggunakan plastik bekas arang sebagai pembungkus.

Usaha membersihkan dengan detergen di pinggir jalan pun tak membuahkan hasil, sementara toko cat belum ada yang buka karena masih pagi. Ia pun berniat membuang maket itu di sebuah pohon tepi jalan. Namun asistennya mencegah.

"Akhirnya jam 10 dapat [cat]. Tapi yang datang [ke sayembara], waduh, sudah bikin minder. Yang datang kan bos-bos besar semua itu. Semua perusahaan ikut, arsitek-arsitek itu," kata Nyoman.

Butuh seharian bagi Nyoman menguatkan mental membawa maket itu ke hadapan dewan juri, meski asistennya terus meyakinkan bahwa karyanya lebih bagus dari para pesaing.

Hingga suatu hari, Nyoman mendapat telepon dari Menteri Sekretaris Negara Moerdiono yang kala itu masih menjadi sekretaris panitia. Moerdiono kaget Nyoman adalah seorang mahasiswa, apalagi ia menghubungi karena ingin memberitahukan desain Nyoman terpilih.

"Akhirnya itu dipilih lah, saya. [Pemerintah bilang] 'Nyoman yang tetap mengerjakan Bung Karno, enggak boleh orang lain'," kata Nyoman Nuarta.

Asa Garuda Wisnu di Bukit Kapur

Deringan telepon terdengar nyaring pada suatu hari di tahun 1987. Seorang pria berusia 36 tahun menjawab telepon itu. Tak banyak yang bisa diambil dari percakapan tersebut selain pria itu menyatakan kesanggupan untuk bertemu dengan si penelepon.

Ternyata, Nyoman diminta menghadap Presiden Soeharto.

Nyoman ingat, terakhir kali bertemu dengan orang nomor satu di Indonesia itu, ia memberikan patung cendera mata dari kawat. Cendera mata itu adalah tanda terima kasihnya karena diberi kesempatan membangun patung Bung Karno lebih dari 10 tahun lalu.

Sepanjang perjalanan, Nyoman tak mau banyak menduga-duga apa yang membuat ia dipanggil ke Jakarta. Biarkanlah berjalan apa adanya.

Nyoman masuk ke ruangan Soeharto. Ruangan yang menyimpan aura seorang penguasa negeri yang tak tergoyahkan selama 20 tahun. Langkah kaki kemudian terdengar. Tak lama, pria 66 tahun yang dikenal sebagai The Smiling General itu datang dan menyapanya.

"Lihat itu patung kamu di meja saya," ucap Soeharto menunjuk patung Nyoman di atas meja, matanya menyipit terlihat ramah. Nyoman hanya bisa tersenyum, ada kebanggaan karya kecilnya disimpan seorang penguasa.

"Gini Man," kata Soeharto perlahan dan mulai duduk yang diikuti Nyoman. "Saya kan baru dari Turki, hebat sekali negara itu,"

Nyoman tak berani menyela, ia hanya mendengarkan.

"Presidennya banyak cerita mengenai sejarah bangsanya. Hebat-hebat semua," ucap Soeharto. "Nih patung ini... Lewat sana, patung itu... Dia datang ke Indonesia, saya cerita apa? Enggak ada apa-apa dari bandara itu kan?" tanya Soeharto.

Sebuah pertanyaan. Nyoman mesti berpikir cepat jawabannya.

"Oh iya Pak, di sana memang hebat," jawab Nyoman. "Itu negaranya juga kan negara Islam, tapi sangat modern. Toleran,"

"Bagaimana kalau kamu bikin patung?" balas Soeharto.

Pada masa itu, ucapan Soeharto adalah titah. Jelas tak mungkin ditolak. Ia bawa pulang sendiri segala kebingungan soal patung apa yang mesti dibuat untuk menjawab kegundahan Soeharto.

Akhirnya, Nyoman memutuskan untuk membuat patung dari kisah pewayangan. Alasannya sederhana, agar Soeharto yang merupakan penggemar berat wayang bisa luwes menceritakan patung itu ke penguasa negeri lainnya kala datang ke Jakarta.

"Pikiran saya, saya akan dibantu kan uang (pembangunan)-nya," kata Nyoman kepada kami, 36 tahun tahun setelah pertemuannya dengan Soeharto di ruangan itu.

"Kalau Pak Harto sudah omong begitu kan gubernur sudah langsung sigap, kan? Zaman dulu. Itu uangnya dari Pak Tikman namanya, pengusaha keramik diamond," tutur Nyoman.

Patung itu kini dikenal sebagai Arjuna Wijaya, berlokasi di sebidang tanah di simpang lingkar kekuasaan Medan Merdeka dan Jalan MH Thamrin. Patung itu berdiri di seberang gedung Indosat menghadap ke arah patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia.

Arjuna Wijaya mengisahkan kegundahan Arjuna ketika mewakili barisan para Pandawa dan mesti menghadapi adiknya sendiri, Karna, yang membelot ke pihak Kurawa. Pada momen itu, menurut Nyoman, Arjuna dihadapkan pada pilihan pelik: negerinya atau saudara kandungnya.

"Kalau dalam filsafat itu menceritakan, hati kita memutuskan sesuatu itu berani enggak? Kita memutuskan karena itu berkaitan dengan saudara kita, dengan kepentingan kita, tapi untuk melawannya berani enggak demi untuk orang banyak?" kata Nyoman.

"Itu gejolak jiwa kita dalam menghadapi sesuatu, memutuskan sesuatu, berani enggak?" lanjutnya.

Gejolak batin Arjuna yang dikisahkan Nyoman nyatanya ia hadapi bertahun-tahun kemudian, ketika ia membangun patung monumental Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bali selatan pada akhir dekade '80-an.

Gagasan itu diakui Nyoman berawal dari kegelisahan dirinya soal "warisan" generasi saat ini yang tak bisa dijadikan objek pariwisata baru. Padahal, para leluhur di Bali mewariskan banyak pusat budaya, termasuk di antaranya pura.

Tujuan Nyoman membangun GWK kala itu ia sebut murni untuk budaya dan pariwisata, "bukan buat agama".

Selain itu, gagasan tersebut juga muncul usai pertemuan dengan kawan lamanya, Joop Ave, Direktur Jenderal Pariwisata 1982-1988 dan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi 1993-1998. Joop Ave bertemu Nyoman dan mengutarakan keinginannya akan sebuah pantung landmark untuk ditempatkan di Bandara I Gusti Ngurah Rai.

Namun Nyoman merasa patung setinggi 5 meter tak akan memberikan dampak pada kebudayaan. Ia pun memilih mengangkat citra garuda dalam kisah Wisnu yang khas dan dikenal dekat dengan masyarakat Bali. Gambaran Wisnu yang mengendarai garuda itu kemudian ia desain dengan gaya mutakhir hingga setinggi 121 meter di atas tanah.

Ia pun memilih Ungasan di Bali selatan sebagai lokasi GWK. Kala itu, Ungasan dikenal sebagai daerah tandus dan gersang lantaran berupa hamparan perbukitan kapur. Kondisi ini beda jauh dari tetangganya, Jimbaran ataupun Nusa Dua, yang sudah jadi lokasi pariwisata mewah.

"Dia [penduduk Ungasan] ini ke Nusa Dua saja enggak berani, saking mindernya," ujar Nyoman.

Nyoman merasa, GWK akan bisa jadi objek budaya dan pariwisata baru di Bali dan membantu perekonomian serta memberdayakan masyarakat Ungasan. Namun nyatanya tak semudah itu gagasan luhung Nyoman diterima oleh masyarakat Bali.

Banyak masyarakat Bali merasa ide GWK dari Nyoman justru melecehkan budaya leluhur. Mulai dari penempatan di sisi selatan yang dianggap tak sesuci bagian utara, ketinggian patung yang dinilai melewati norma, hingga kecurigaan proyek itu hanya sekadar memanfaatkan kemiskinan penduduk Ungasan.

"Saya didemo se-Bali bertahun-tahun. Setiap hari dari koran itu ada pro-kontra. Wah maki-makiannya," kenang Nyoman. "Saya lawan, ya dengan cara saya. Enggak usah berbantah. Sama gilanya nanti."

Ujian kedua kemudian muncul dari dana proyek. Proyek semonumental GWK yang kala itu belum ada yang serupa sama sekali di dunia nyatanya tak mendapat dukungan pemerintah.

Nyoman memulai semua proyek GWK murni hanya dari kantong pribadinya, hasil dari jualan patung-patung. Beruntung, harga patung karya Nyoman bisa menafkahi banyak karyawan. Ia bahkan mengklaim belum pernah sama sekali meminjam uang di bank untuk modal.

"GWK itu bukan proyek negara, enggak pernah kita itu pinjam uang dari pemerintah. Apa namanya dari bank, enggak ada. APBN tidak, APBD tidak," kata Nyoman.

Namun Nyoman tak bisa menjalankan GWK dengan lancar. Pengajuannya ke bank untuk proyek itu ditolak lantaran ia tak punya riwayat pinjaman ke bank meski selalu membayar pajak ke negara.

Padahal pada 1993, rencana GWK sudah dibahas bersama Gubernur Bali kala itu, Ida Bagus Oka, dan mendapatkan dukungan dari Menteri Pertambangan dan Energi, Ida Bagus Sudjana. Selain itu, GWK juga sudah dipresentasikan oleh Nyoman dan Joop Ave di hadapan Presiden Soeharto pada 1994 yang kemudian menyetujui untuk dibangun.

Akhirnya, Nyoman hanya bisa pelan-pelan menjalani proyek itu sembari memberdayakan masyarakat Ungasan. Tahun demi tahun berlalu, hanya ada kepala garuda yang tergeletak di pelataran bukit kapur yang sudah dipangkas itu.

GWK masih berupa mimpi dan gagasan di atas bukit kapur tandus, bahkan hingga Soeharto terguling pada 1998. Asa Nyoman menuntaskan janji GWK tetap ada di benak seiring presiden demi presiden Indonesia yang terus berganti pada masa reformasi. Namun Nyoman sadar, usianya makin menua dan ia tak mungkin hidup selamanya.

"Tahu wasiatnya berapa dulu? Saya pernah [niat] menghibahkan ke negara. Asetnya pada saat itu Rp1,2 triliun, 100 persen saya hibahkan. Tapi enggak ada yang menanggapi."

Hingga pada 2012, Nyoman terpaksa melepas GWK ke Alam Sutera, perusahaan yang membeli 90,3 persen saham perusahaan Nyoman. Hak atas tanah kawasan itu pun lepas dari tangan Nyoman. Sejak saat itu, GWK kembali dikerjakan hingga akhirnya diresmikan pada 2018 dan jadi ikon baru Bali, juga Indonesia.

"Sebelumnya kan sudah saya tawarkan ke negara, jadi saya enggak perlu punya saham. Saya enggak perlu punya saham, ambil saja semua tapi tolong selesaikan," jelas Nyoman. "Janji saya selesai begitu lho. Itu saja penting,"

"Karena buat orang Bali, utang itu...aduh berat banget. Utang janji, bukan utang uang. Ini utang janji, yang akan mempengaruhi nanti kelangsungan turunan saya," katanya.

Istana Asa untuk Masa Depan

Usia 72 tahun tampaknya hanya angka bagi I Nyoman Nuarta. Kakek dari beberapa cucu ini masih giat bekerja sebagai pematung sekaligus komando sejumlah proyek, yang sebagiannya bisa disebut raksasa.

Seperti saat kami temui siang itu di museum miliknya.

Di workshop yang memang mirip galangan kapal tersebut, ratusan pekerja giat mengelas, memotong, dan memukul tembaga yang akan dipakai untuk proyek mercusuar Istana Negara di Ibu Kota Nusantara (IKN).

Nyoman juga menjelaskan berbagai aspek soal wilayah museum yang berlokasi persis di belakang komplek perumahan itu. Ingatannya detail, lengkap dengan visi, imaji, serta berbagai kalkulasi, macam sosok yang hidupnya hanyalah untuk bekerja.

"Saya itu enggak bisa berhenti kerja," kata Nyoman. "Mikir terus, bagaimana bisa 300 staf saya itu tetap bisa dinafkahi. Dari dulu sudah begini,"

"Buat saya kerja itu hidup saya. Supaya saya dipacu kerjanya, saya punya anak buah yang banyak. Staf saya itu ada 300 orang. Bagaimana menghidupinya?"

Nyoman sudah sejak anak-anak mulai mengenal bisnis. Semasa masih bocah di Tabanan, ia mulai berbisnis dengan menjual jasa angon sapi dan bebek. Saat remaja, ia mengadakan pameran karyanya sendiri. Ketika kuliah, ia ikut bersaing dalam sayembara proyek.

Kini pun ia tak pernah berhenti mengeluarkan imaji dan kreativitas. Misalnya saja ketika dunia dilanda dua tahun pandemi, ia justru menghasilkan 60-an karya.

"Saya jam 2 [dini hari] sudah bangun," kata Nyoman sembari terkekeh. "Baru berani keluar kamar itu jam 4, kasihan bibi (ART). Kalau saya keluar [kamar], dia terpaksa bangun, kan kasihan. Jadi diam tunggu di kamar, tunggu jam,"

"Apalagi karena makin tua, makin sedikit tidur,"

"Saya kayaknya istirahat kalau sudah mati saja," kata Nyoman lalu tertawa. "Saya merasa segar kalau bekerja, berpikir sama anak-anak muda, banyak yang pintar-pintar. Diskusi, berdebat, itu menyenangkan."

Kegandrungan Nyoman akan bekerja pun terlihat usai terpilih menjadi perancang Istana Negara di IKN. Dengan modal resep 'moto sukses' Nyoman dalam merancang karya, yakni seni, teknologi, sains, dan bisnis, ia berhasil meyakinkan Presiden Joko Widodo serta panitia seleksi sayembara.

Namun bukan berarti keterpilihan Nyoman tanpa halangan. Bagai deja vu saat pembuatan GWK, Nyoman diterpa berbagai protes. Mulai dari pandangan miring soal status Nyoman sebagai pematung yang dipercaya dalam proyek bangunan, hingga konsep desain istana yang menuai ledekan di media sosial.

Sama seperti 30 tahun lalu, Nyoman tetap cuek menghadapi rongrongan. Kepercayaan diri Nyoman ini mungkin tak lepas dari kesuksesannya membangun patung GWK yang sudah dirancang tahan hingga 100 tahun, dan dibuktikan secara teknologi di Toronto, Kanada.

Mikke Susanto memandang terpilihnya Nyoman Nuarta sebagai arsitek Istana Negara di IKN bukan hanya karena persoalan desain dan nama kondang.

"Bisa dibaca sebagai sebuah kemauan presiden untuk melibatkan seniman secara langsung, dan kemudian bisa melihat bagaimana sebuah ibukota dibangun oleh seorang seniman," kata Mikke.

"Jadi bukan hanya membangun gedung, tapi gedung sebagai sebuah karya seni."

Mikke juga menilai bahwa baik arsitek dan pematung adalah sama-sama seniman, hanya terpisah ruang lingkup. Bagi Mikke, arsitek adalah seniman kewilayahan, sementara pematung adalah seniman yang membuat karya yang "sifatnya parsial di setiap titik ataupun buat dirinya sendiri".

"Dalam hal ini Nyoman berhasil mengelaborasikan keduanya. Bisa dikatakan Pak Nyoman ini juga seorang arsitek, itu juga tidak ada masalah," kata Mikke.

Protes merongrong, Nyoman berlalu. Proyek Istana Negara yang dipegang Nyoman terus dikebut pengerjaannya. Per 22 September 2023, Presiden Joko Widodo menyebut pembangunan sudah 38 persen dan bilah-bilah Istana sudah mulai dipasang.

Bilah-bilah yang akan dipasang di Istana itu ada 4.650 buah. Bilah tembaga itu nantinya akan menjadi lapisan luar dari bangunan Istana selebar 177-239 meter dan tinggi 77 meter.

Di balik bilah itu, Nyoman menempatkan jalur "catwalk" yang bisa dilewati manusia untuk melakukan perawatan dengan cara sederhana.

Nyoman menyebut sudah merancang Istana tersebut untuk tahan hingga 100 tahun ke depan, dengan minim perawatan, dan pengalaman teknologi pada GWK. Tembaga yang jadi ciri khasnya itu disebutnya akan berkarat dalam dua tahun, sebelum memunculkan warna asli yang tahan bertahun-tahun kemudian.

Melakukan itu semua, Nyoman mengakui ia mengeluarkan modal sendiri yang tak sedikit. Seperti setiap kali survei pengerjaan atau mengirimkan logistik, Nyoman akan pakai koceknya sendiri. Untuk mengirim satu truk berisi 40 bilah atau 4 modul ke proyek IKN dari Bandung, setidaknya butuh Rp50 juta.

"Banyak orang-orang pesimis, ya saya tidak terlalu peduli itu. Kalau saya sudah bilang iya, harus iya. Itu saya," kata Nyoman. "Saya tidak akan mundur,"

"Orang-orang (bertanya) 'Ini kalau tidak dilanjutkan (bagaimana)?’ Biar sajalah kalau enggak dilanjutkan juga. 'Kalau kamu enggak dibayar?' Biar saja lah kan saya yang rugi, bukan Anda. Saya tipenya begitu. Itu namanya komitmen,"

"Moto saya: seni, teknologi, sains, bisnis. Ini empat ini harus ada. Kalau mau membuat sesuatu yang besar enggak ada hitung-hitungan ekonominya siapa yang mau modalin?" kata Nyoman.

Namun Nyoman menolak disebut obsesinya ini sebagai puncak kariernya sebagai seorang seniman. Bahkan ia tak memikirkan persoalan apakah nanti akan ada "the next Nyoman Nuarta" dari keturunannya.

Bagi seorang Nyoman Nuarta, asa untuk masa depan dan generasi penerus darinya itu ditanam setiap kali ia berkarya. Untuk saat ini, asa itu tengah ia tanam di sebuah bukit di Kalimantan Timur, dan sejumlah proyek lainnya yang masih ia rahasiakan.

"Saya diajarkan sama orang tua saya,.. Ini semua akan hilang karena kamu akan mati, setelah itu kamu enggak tahu apa-apa," kata I Nyoman Nuarta dalam suara tenang seiring matahari di Bandung yang sudah bertengger di Barat.

"Sekarang apa yang kamu rasakan baik, kamu kerjakan itu. Segigih-gigihnya. Apalagi itu bermanfaat untuk orang banyak. Biarkan orang lain omong apa saja, tapi komitmen itu harus kamu buktikan."

Terbit: 14 November 2023