Pertemuan Napoleon Bonaparte dengan Joséphine diawali ketika dirinya menjabat sebagai Brigadir Jenderal Prancis dalam usia yang sangat muda.
Joséphine, yang merupakan janda dari royalis Prancis yang dieksekusi, Alexandre Beauharnais. Ia memikat hati sang jenderal hingga keduanya saling jatuh cinta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertemuan itu instan membawa keduanya menuju hubungan intens hingga menjalani pernikahan. Napoleon benar-benar mencintai Joséphine dan begitu pula sebaliknya.
Namun di tengah rasa cintanya yang membuncah, Napoleon juga memiliki ambisi besar untuk menaklukkan wilayah-wilayah lain di luar Eropa. Ketika menduduki singgasana tertinggi, Napoleon mulai gusar.
Wilayah kekuasannya makin meluas, namun ia tak kunjung mendapatkan keturunan dari permaisuri yang sangat ia cintai. Di satu sisi, konstitusi Prancis saat itu mewajibkan Kaisar memiliki keturunan laki-laki sebagai penerus langsung kekuasaan.
Meskipun saling cinta, keduanya harus berkorban demi martabat konstitusi Prancis dan resmi bercerai pada 1810. Napoleon kemudian menikah dengan Marie-Louise, anak Kaisar Francis dari Austria, dan melahirkan seorang anak darinya.
Di tengah masa-masa jatuh cintanya dengan Joséphine, Napoleon juga menyimpan ambisi besar untuk menaklukkan seluruh wilayah Eropa.
Untuk itu, film ini pun turut menceritakan kepemimpinan ikonis Napoleon dalam sejumlah peperangan besar sebelum ia akhirnya kalah oleh pasukan gabungan Inggris dan Prussia di Waterloo.
Peperangan pertama adalah Perang Toulon, yang membawa Napoleon menuju posisi tertinggi militer Prancis dalam usia yang sangat muda. Napoleon kemudian melanjutkan invasinya ke luar Eropa dengan Perang Mesir pada 1798.
Tak lama setelah meraih gelar Kaisar Prancis, Napoleon menghadapi Perang Austerlitz dengan hasil kemenangan heroik bagi para pasukannya yang kedinginan.
Masa-masa kejayaan Napoleon mulai meluntur ketika ia memimpin Prancis untuk Perang Borodino melawan Rusia pimpinan Tsar Alexander I. Di peperangan itu, Napoleon kecele karena Moskow telah dikosongkan oleh pasukan dari Alexander.
Napoleon berang dengan hal itu dan membuatnya masuk Pertempuran Waterloo, usai ia diasingkan di Pulau Elba. Ambisi Napoleon nyatanya harus terkubur oleh realita dengan kuatnya pasukan koalisi Inggris dan Prussia.
Beragam kritik pedas soal referensi sejarah menghiasi kehadiran film Napoleon karya Ridley Scott. Yang terbaru hadir dari Joachim Murat, keturunan langsung dari Napoleon Bonaparte.
Kepada Forbes, Selasa (28/11), Murat menilai banyak sekali fakta-fakta sejarah yang dilewatkan Scott untuk dimasukkan dalam film ini.
"Keinginan sutradara di sini adalah untuk menulis ulang sejarah agar sesuai dengan gambaran yang ingin ia berikan tentang kisah cinta Napoleon dan Josephine," kata Murat, seperti diberitakan oleh Screen Rant.
"Namun ini hanya menjadi serangkaian jalan pintas yang digunakan untuk menyesuaikan kehidupan Napoleon yang tak tertandingi ke dalam film berdurasi dua setengah jam," sambungnya.
Penulis biografi Napoleon, Patrice Gueniffey menilai film karya Scott 'sangat anti Prancis dan sangat pro-Inggris.'
Awal November lalu, sejarawan Dan Snow berpendapat film Napoleon punya banyak detail sejarah yang salah. Ia menyampaikan hal itu berdasarkan trailer yang rilis Juli lalu.
Snow menilai Napoleon "tidak menembak ke piramida" terkait adegan Battle of the Pyramids yang terjadi pada 1798 di Embabeh, utara Giza, Mesir. Dalam trailer, prajurit Napoleon digambarkan menembak ke puncak piramida Giza.
(far/chri)