Jakarta, CNN Indonesia --
Tahun ini diberkahi dengan begitu banyak film bintang lima. Termasuk Jatuh Cinta Seperti di Film-film yang, bagi saya, sangat layak untuk bersanding dengan deretan rilisan kelas wahid sepanjang 2023.
Sama seperti judulnya, Jatuh Cinta Seperti di Film-film memang membuat saya merasakan jatuh cinta yang begitu dalam. Film ini mempunyai begitu banyak cara dan 'senjata' untuk memikat hati penonton.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbagai keunggulan itu berakar dari skenario yang ditulis dengan matang dan rapi oleh Yandy Laurens, sang sutradara sekaligus penulis naskah.
Sebagai orang yang cukup familier dengan karya Yandy, sejak awal saya sudah merasakan nuansa film yang kental dengan blueprint sutradara 34 tahun tersebut.
Jatuh Cinta Seperti di Film-film membicarakan bermacam warna cinta yang berangkat dari premis segar, kemudian dieksplorasi dengan imajinasi yang melampaui ekspektasi.
Konsep yang terkesan melawan arus mainstream film cinta-cintaan Indonesia ini pun membuat saya teringat dengan karya Yandy yang lainnya, seperti Sore: Istri dari Masa Depan, Mengakhiri Cinta dalam 3 Episode, atau Yang Hilang Dalam Cinta.
[Gambas:Video CNN]
Namun, ada energi berbeda yang dominan dalam cerita Jatuh Cinta Seperti di Film-film. Energi yang rasanya belum pernah saya temui dalam karya Yandy sebelumnya.
Lewat film ini, Yandy terlihat amat berusaha mengerahkan kemampuannya membedah cerita dan memberikan sentuhan-sentuhan personal.
Rasanya tidak sulit untuk mengusut penyebab munculnya kesan seperti itu. Pasalnya, kini Yandy menulis cerita tentang cinta seorang penulis film.
Ide cerita itu membuka kesempatan bagi Yandy untuk tidak hanya mengobservasi bahasa cinta yang ada di luar, tetapi juga melihat dirinya sendiri secara lebih dalam dan lebih dekat.
 Review film: Jatuh Cinta Seperti di Film-film sangat layak untuk bersanding dengan deretan rilisan kelas wahid sepanjang 2023. (dok. Imajinari via IMDb) |
Hasilnya, Jatuh Cinta Seperti di Film-film menjadi karya yang sangat personal, hingga dengan mudah menyentuh hati karena terasa begitu dekat.
Eksekusi cerita yang personal itu dikisahkan dengan konsep meta. Yandy membuat film romcom tentang seorang penulis skenario yang ingin menulis film romcom.
Unsur meta itu pun terus berlanjut, seperti karakter Bagus (Ringgo Agus Rahman) dan Hana (Nirina Zubir) yang nama panggilannya saling berima dengan panggilan sang aktor, adegan syuting di dalam syuting, dan masih banyak referensi lain yang terselip dalam cerita.
Penjelasan di atas mungkin terdengar kompleks karena berlapis-lapis. Namun, saya tak ragu menjamin bahwa cerita itu mampu diungkapkan dengan cara yang mulus oleh Yandy.
Ia menempatkan kisah romansa Bagus dan Hana sebagai nyawa cerita yang dijaga betul agar tetap hidup. Naik turun hubungan dua tokoh utama itu ditonjolkan lewat dialog yang tak hanya mengalir lancar, tetapi juga solid.
Lanjut ke sebelah...
Yandy juga cukup adil dalam mengalokasikan porsi untuk setiap karakter dalam cerita, terutama untuk Bagus dan Hana.
Ia bahkan memberikan ruang yang leluasa bagi karakter pendukung untuk unjuk aksi, seperti Celine (Sheila Dara), Dion (Dion Wiyoko), Yoram (Alex Abbad), hingga kru produksi.
Ringgo Agus dan Nirina juga berhasil tampil mengesankan sepanjang cerita. Kedua karakter itu seperti sudah berjodoh dengan Ringgo dan Nirina yang dikenal sebagai aktor langganan Yandy.
Khusus untuk Nirina, saya berulang kali dibuat jatuh hati melalui caranya menuturkan perasaan Hana lewat kata-kata, gestur, hingga tarikan otot di wajahnya saat tersenyum tipis atau gundah gulana.
Jatuh Cinta Seperti di Film-film juga menjadi bukti bahwa Nirina dan Ringgo merupakan aktor underrated yang namanya kerap tidak terucap ketika kita membahas bintang bertalenta di Indonesia.
Film ini tak hanya mengisahkan ungkapan cinta seorang penulis terhadap perempuan dambaannya, tetapi juga menjadi surat cinta Yandy terhadap sinema.
[Gambas:Video CNN]
Berangkat dari premis yang 'film banget', ia menyelipkan berbagai referensi dunia film ke dalam cerita. Ada banyak celetuk, gimik, dan easter egg yang ditunjukkan melalui beragam cara.
Yandy juga tak luput menyentil industri film, dari sikap produser yang terlalu berorientasi profit hingga balada penonton Indonesia yang kerap menggelitik.
Jatuh cinta Yandy terhadap film kian terasa ketika dia berani bertaruh mengerjakan film berwarna hitam putih. Hebatnya, ia berhasil menyuguhkan warna-warni visual melalui shot yang memanjakan mata.
Keputusan memakai warna hitam putih itu pun, menurut saya, bukan untuk estetika atau sok edgy semata. Ia membuktikan bahwa dua warna tersebut memang dibutuhkan untuk cerita Hana dan Bagus, yang juga dijelaskan tepat pada akhir cerita.
Elemen visual itu semakin indah dan lengkap dengan dua soundtrack yang mengalun, yakni Bercinta Lewat Kata milik Donne Maula serta single Yura Yunita berjudul Sudut Memori.
[Gambas:Youtube]
Lewat melodi dan liriknya, kedua lagu tema itu berperan penting dalam mengartikulasikan emosi Bagus dan Hana yang tidak terucapkan kata.
Setelah film ini selesai diputar, saya tidak bisa banyak bereaksi kecuali menyadari bahwa hati saya terasa penuh. Rasa haru juga sulit dibendung karena akhirnya ada filmmaker yang mampu melahirkan film romcom segar dan manis.
Jatuh Cinta Seperti di Film-film pun pantas menyandang predikat film romcom terbaik dari generasi sekarang. Begitu pula dengan Yandy Laurens yang layak semakin diperhitungkan sebagai sutradara muda yang berbakat, atau bahkan jagoan genre romansa Indonesia.