Jakarta, CNN Indonesia --
Masalah yang terjadi pada Agnez Mo dan Stinky baru-baru ini menjadi gambaran keluhan pencipta lagu atas sistem pembayaran royalti musik di Indonesia.
Pembayaran royalti untuk para pencipta lagu di Indonesia sebelumnya ditetapkan menggunakan sistem kolektif melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun sistem kolektif atau blanket license tersebut rupanya dinilai sebagian kreator kurang memuaskan. Hal itu karena mereka mengklaim mendapatkan nominal tak layak saat lagunya dibawakan penyanyi lain di atas panggung.
Hingga kemudian, sejumlah musisi lain mencoba menggunakan sistem berbeda dalam pembayaran royalti seperti yang dilakukan Anji. Ia pada Desember 2023 mengaku menggunakan sistem direct licensing alias bayar royalti langsung.
Apa itu blanket dan direct licence?
Sistem blanket license merupakan lisensi yang diberikan oleh LMKN kepada penyanyi untuk menyanyikan sejumlah lagu tertentu, apabila hak royalti dari sang pencipta telah dibayarkan oleh penyelenggara acara.
Dalam sistem ini, uang akan dikolektifkan terlebih dahulu untuk kemudian royalti diberikan ke kreator sesuai dengan porsi dan kesepakatan yang sudah diatur oleh LMKN, LMK, dan kreator di awal perjanjian.
[Gambas:Video CNN]
"Sistem blanket (kolektif) memungkinkan pencipta yang kurang terkenal turut 'kecipratan' royalti dari sebuah konser," kata musisi senior dan Dewan Pembina Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI), Candra Darusman.
Sementara itu, dalam direct licensing yang mulai digunakan sebagian musisi Indonesia, penyanyi langsung membayar royalti lagu yang dibawakan ke kreator sesuai dengan kesepakatan mereka.
"Penghimpunan langsung oleh pencipta tanpa melalui LMKN. Dengan harapan, bisa mendapat lebih banyak, lebih cepat dan lebih transparan," kata Candra.
Kelemahan bayar langsung dan kolektif
Candra mengakui, sistem blanket license mengundang resistensi. Terutama, adanya gap besar antara penghasilan pencipta lagu dengan penyanyi yang mempopulerkan.
Hal ini juga yang menjadi dasar keluhan berbagai pencipta lagu selama beberapa tahun terakhir, beberapa di antaranya adalah oleh Ari Bias terhadap Agnez Mo, dan Ndhank Hartono terhadap Stinky.
Ndhank Hartono mengklaim dirinya hanya menerima Rp250-500 ribu sebagai royalti untuk royalti lagu Mungkinkah yang dinyanyikan Stinky. Padahal band itu memperoleh bayaran besar tampil di atas panggung membawakan lagu itu.
"Sementara saudara Andre [Taulany] bisa manggung dengan band barunya Andre and The Friends. Ya kita tahu nilai kontraknya berapa. Begitu juga dengan Stinky juga rate-nya, Rp50 juta ke atas," kata Ndhank.
Lanjut ke sebelah...
Sementara itu Candra menyebut, meski terlihat lebih sederhana dan meyakinkan, sistem langsung juga memiliki kelemahan dibanding blanket licensing, yakni ketimpangan antara pencipta lagu populer dan non-populer.
"Sistem direct licensing mengandung resiko para pencipta kecil terabaikan, walaupun pencipta lagu top bisa memperbaiki nasibnya," kata Candra.
"Kalau sistem blanket tarifnya pasti, sedangkan sistem direct bisa bervariasi, membuat ketidakpastian di pihak pembayar dan penerima," lanjutnya.
Hal senada juga diungkap oleh pengacara dan musisi Kadri Mohamad. Ia menilai penerapan direct licensing akan memperumit akses penggunaan lagu secara luas, bukan cuma ke pencipta, tapi juga penikmat musik.
Dengan direct licensing, menurut Kadri, para penikmat musik akan semakin sukar mendengarkan lagu favorit masing-masing karena adanya limitasi dari penerapan sistem langsung itu.
"Ini ada dampaknya bukan hanya kepada komposer, tetapi ke ekosistem musik secara keseluruhan. Misal komposer kecil, komposer yang sudah senior, lalu penikmat musik juga," jelas Kadri.
[Gambas:Infografis CNN]
"Misal, 'wah gue kepingin dengarkan lagu ini tapi cuma dibawakan sama si ini'. Kalau pakai yang biasa itu kan normal, nah kalau pakai direct licensing ya jadi enggak boleh lagi. Nanti disomasi lagi," imbuhnya.
Pemahaman tak selaras
Di sisi lain, akademisi hak kekayaan intelektual, Sahat Sidabukke, menerka adanya pemahaman yang tak selaras dalam memandang royalti milik pencipta lagu.
Melalui amatannya, Sahat melihat adanya celah dalam penerapan peraturan hak cipta yang diatur dalam UU Hak Cipta no. 28 tahun 2014 yang mudah untuk dimanfaatkan oleh penyelenggara konser.
[Gambas:Video CNN]
"Musisi itu kalau masuk ke dalam suatu konser, dia kan mendapatkan suatu bayaran yang lain, iya kan? Sementara pencipta kan tidak," jelas Sahat yang merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan itu.
Celah dalam penerapan peraturan tersebut, menurutnya, menjadi pemantik hingga akhirnya para pencipta lagu 'berteriak' tak menerima royalti yang layak dari hasil karya mereka.
Menurut Sahat, perlu diadakannya kajian ulang terkait konsensus bersama mengenai royalti yang berhak diterima oleh pencipta. Ia merasa, setiap karya lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi, maka pencipta juga wajib menerima hak ekonomi dari penampilan tersebut.
"Ketika penyelenggara mempertunjukkan suatu penyanyi dari pencipta lagu berbeda, berarti dia juga harus ada suatu lisensi yang harus dibayarkan kepada pencipta," jelas Sahat.
"Jadi enggak cuma kepada para pelaku pertunjukan [penyanyi] saja," imbuhnya.
"Itu ada yang namanya hak dari pencipta, hak ekonomi dari pencipta. Yang salah satu poinnya itu adalah pertunjukan ciptaan, mengumumkan ciptaan, yang di mana untuk ini, dia [pencipta] dapat hak ekonominya." kata Sahat.