Jakarta, CNN Indonesia --
Renjana dan penampilan kuat Siti Fauziah sebagai Bu Tejo yang ikonis dalam Bu Tejo Sowan Jakarta nyatanya tak cukup untuk menyelamatkan kualitas film garapan Andibachtiar Yusuf yang terkesan 'asal jadi' ini.
Sudah diwacana sejak 2021, film panjang berisi penampilan Bu Tejo yang populer berkat film pendek Tilik (2018) ini nyatanya menyajikan hasil yang sangat tidak rapih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dimulai dari hal-hal elementer seperti dialog dan akting para pemeran, maupun sisi pendukung seperti gaya pengambilan gambar, susunan warna, tatanan audio, hingga penampilan visual yang sungguh usang.
Meski begitu, trio pemeran dari semesta Tilik sebelumnya, yakni Siti Fauziah, Putri Manjo dan Brilliana Arfira, tetaplah prima. Bakat akting ketiganya sebagai pelakon di teater memang tak perlu diragukan.
Walau kadang dibuat terlampau gaduh untuk menyelamatkan sketsa, Siti Fauziah yang mengaku baru pertama kali tampil di layar lebar ternyata masih sukses mengemban tanggung jawab sebagai pivot di film ini.
Namun, hal itu berbanding terbalik dengan kehadiran para karakter pendukung yang seharusnya memainkan peran penting dalam film ini, seperti Teddy (Aditya Lakon), Pak Teja (Denie Kumis), serta Shintya (Abigail Maryams).
 Review Bu Tejo Sowan Jakarta:Sudah diwacana sejak 2021, film panjang berisi penampilan Bu Tejo yang populer berkat film pendek Tilik (2018) ini nyatanya menyajikan hasil yang sangat tidak rapih. (dok. MD Pictures via YouTube) |
Dengan dialog berbahasa Jawa penuh keterpaksaan, Aditya Lakon gagal mengemban tugas. Ia yang mendapuk peran penting dalam film ini justru seperti kebingungan dan tak mengerti apa yang harus dilakukan karakter Teddy.
Beruntung, logat dan pelafalan bahasa Jawa dari Teddy yang begitu buruk termaklumi narasi suami karakter Bu Tejo adalah orang Sunda. Karakter adik Teddy, Shintya, juga nyaris tak pernah berbicara menggunakan logat ataupun kosakata bahasa Jawa.
Tampaknya, penulis naskah Aaron Suharto atau sutradara Andibachtiar Yusuf ingin bermain-main dengan referensi kultural yang disisipkan: Shintya adalah remaja di pinggir kota yang begitu terobsesi dengan Jakarta, ditambah dengan kisah ayahnya adalah orang Sunda.
Ide tersebut sebenarnya akan menarik apabila dieksekusi dengan tepat guna. Namun nyatanya, kehadiran karakter Teddy, Shintya, dan Pak Teja justru menandakan bahwa film ini digarap apa adanya.
[Gambas:Video CNN]
Belum lagi kemunculan para karakter pendukung lain macam Bu Eko, si kenek bis ceroboh Ujang, hingga si penulis naskah Aaron Suharto yang muncul dalam beberapa adegan sebagai Achen, anak pemilik toko pernak-pernik Tionghoa.
Saya mengerti bahwa karakter-karakter itu agaknya ditugaskan untuk menjadi pemanis cerita, melalui aksen-aksen jenaka murahan yang bakal dilahap dengan mudahnya oleh penonton.
Lanjut ke sebelah...
Namun bagi saya, kisah Bu Tejo Sowan Jakarta masih bisa dibungkus tanpa kehadiran karakter-karakter tersebut. Kekuatan trio Tilik yang hadir dalam film ini rasanya cukup untuk memelihara konteks dan premis yang ingin dijaga oleh si penulis naskah maupun sutradara.
Tak usah repot berbincang soal narasi dan ide cerita. Menurut saya, Aaron Suharto bersama Andibachtiar Yusuf seolah terjebak dalam gagasan keberagaman yang mereka gaungkan sebagai premis utama.
Premis klise yang tertuang dalam Bu Tejo Sowan Jakarta tampak tak adil jika disandingkan dengan pendahulunya.
Kala film pendek Tilik (2018) dengan prima membuka diskusi penting soal prasangka buruk yang tumbuh subur di kalangan akar rumput Indonesia, sementara dalam film ini saya menyaksikan alter-ego Bu Tejo yang jelas-jelas disetir oleh semangat berbeda.
Sukar memang untuk tidak membandingkan kedua film tersebut, pasal Tilik maupun Bu Tejo Sowan Jakarta sama-sama bertumpu pada seorang Siti Fauziah yang begitu merasuk ke dalam karakter ikonisnya.
Dalam sesi bincang balik layar di Gala Premiere Bu Tejo Sowan Jakarta, Rabu (17/1), Fauziah sempat mengaku bahwa ia akan membawa Bu Tejo ke dalam semesta berbeda.
 Review Bu Tejo Sowan Jakarta: Premis klise yang tertuang dalam Bu Tejo Sowan Jakarta tampak tak adil jika disandingkan dengan pendahulunya. (dok. MD Pictures via YouTube) |
Melalui pengakuan dari Fauziah, saya mengamati bahwa judul Bu Tejo Sowan Jakarta benar-benar dihayati sungguh-sungguh olehnya.
Bu Tejo, seorang ibu-ibu julid dari pinggir Yogyakarta, harus 'merelakan diri' untuk pergi ke Jakarta. Dengan kata lain, berbagai kompromi pun tentu tersemat dalam benak Fauziah maupun karakter Bu Tejo yang selalu melekat dalam kesehariannya.
Kompromi-kompromi tersebut nyatanya beralih menjadi sebuah produk sinema yang sungguh membuat saya bergidik geli ketika durasi film baru memasuki menit ketiga.
Sekali lagi, Bu Tejo sebagai representasi emak-emak Jawa, harus 'dikalahkan' oleh Jakarta. Saya bahkan nyaris tak menyangka jika guyonan murahan dengan elemen stereotipe ras dan suku bisa kembali muncul di layar lebar Indonesia.
Terlebih, ekspektasi saya begitu tinggi karena sudah membayangkan jika gaya sinematik macam film pendek Tilik bakal diadaptasi untuk mengantar Bu Tejo menuju layar lebar.
Terlepas dari segala pengalaman buruk di atas, saya memproyeksikan jika kompromi Bu Tejo untuk melawat ke Jakarta dapat berakhir sukses, jika ditilik melalui kacamata bisnis.
Film ini begitu populis; yang begitu tergambar dari unsur humor, dialog, hingga formula film paling 'penting' agar film laku di hadapan penonton Indonesia: pesan moral dan sang karakter utama yang berakhir bahagia.
[Gambas:Youtube]