Review Film: Women from Rote Island

Prabarini Kartika | CNN Indonesia
Jumat, 23 Feb 2024 20:00 WIB
Berikut review film Women from Rote Island yang menjadi jawara umum FFI 2023.
Women from Rote Island mampu menangkap horornya menjadi korban kekerasan seksual dan patriarki. (Bintang Cahaya Sinema via BIFF)
img-title Prabarini Kartika
3
Women from Rote Island mampu menangkap horornya menjadi korban kekerasan seksual dan patriarki.

Menonton Women from Rote Island mengharuskan saya melepas kacamata sebagai orang kota yang sudah jauh dari adat. Kasus kekerasan terhadap perempuan tak pandang bulu. Bisa terjadi di mana saja, kepada siapa saja.

Namun, tampaknya persoalan menjadi lebih pelik, terutama jika keluarganya masih menjunjung tinggi nilai adat.

Lihat Juga :

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Para perempuan itu tidak hanya menghadapi stigma dan diskriminasi dari orang-orang sekitar, tapi juga berbenturan dengan nilai adat.

Sepanjang film, penonton disuguhkan adegan-adegan yang mengajarkan orang "kota" bahwa kasus kekerasan tidak semudah tinggal lapor ke polisi atau bikin thread agar viral. Mereka harus menuruti tata cara adat dalam menangani permasalahan.



Geram rasanya menyaksikan bagaimana para perempuan itu menjadi tidak berdaya melawan kemalangannya masing-masing: Orpa yang berusaha melawan adat dan patriarki demi melindungi anaknya, Martha yang memiliki trauma besar, hingga Bertha yang bernasib buruk.

Perasaan yang saya rasakan itu terbentuk berkat akting para aktor yang sangat meyakinkan. Meskipun mereka semua tidak memiliki pengalaman berakting, tapi kemampuan mereka tidak kalah dari aktor yang sudah punya daftar panjang filmografi.

Sebagai aktor pemula yang dihadapkan dengan film penuh drama yang banyak air mata dan emosi meledak-ledak, akting para aktor sangat luar biasa. Tak dimungkiri saya ikut terbawa perasaan di beberapa adegan berkat akting yang mumpuni.

Performa yang maksimal itu tidak terlepas dari arahan sang sutradara, Jeremias Nyangoen. Kolaborasi antara Jeremias dan profesionalisme para aktor, terutama dalam adegan-adegan eksplisit, patut diacungi jempol.

Tidak lupa dengan pengambilan gambar sinematografer Joseph Fofid yang didominasi dengan one take dan long shot sehingga mampu menangkap emosi dan adegan yang lebih raw.

Tapi, saya agak terganggu dengan teknis demikian karena risikonya membuat beberapa pergantian babak dan angle menjadi berantakan dan tidak mulus.

Selain itu, saya rasa keputusan yang baik dengan tidak mengambil banyak beauty shot lanskap Rote--yang biasanya dieksploitasi pembuat film lain di daerah-daerah eksotis. Keputusan itu membuat penonton tidak terdistraksi dan tetap fokus pada konflik.

Film Women from Rote Island (2023)Tradisi yang dilakukan masyarakat Rote dalam film Women from Rote Island. (Bintang Cahaya Sinema via BIFF)

Pada akhirnya menurut saya Women from Rote Island mampu menangkap betapa "horor" menjadi korban kekerasan seksual dan patriarki.

Terkait dengan akhir film yang tampak tidak "happy ending" dan tidak "selesai", saya rasa tidak masalah. Rasanya itulah penggambaran sebenarnya dari dunia nyata.

Entah di Rote atau di mana pun kita berada, kasus kekerasan seksual memang tidak pernah menemui titik terang. Perjuangan korban mencari keadilan pun masih jauh dan akan terus berlanjut.



(pra)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER