Taylor Swift adalah idola yang tak sungkan berusaha memahami penggemarnya, terlepas pengakuan ia adalah "people pleaser". Swift tak sungkan ikut online di media sosial, menyukai dan membaca postingan fan, bahkan ikut nimbrung di kolom komentar ketika fan sedang live seperti saat era reputation (2017).
Jauh sebelumnya, pada 2010, Taylor Swift dengan riang berdiri dan bersalaman satu per satu dengan penggemar yang datang hingga berlangsung selama 13 jam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan memahami penggemar, Taylor Swift juga memahami pasarnya. Dengan begitu, setidaknya, Swift akan mampu mengelola dan menjaga mereka untuk tetap mendukung dia kala merilis album. Bahkan, tindakan ini berbuah hal lebih manis: ekspansi.
Belum lagi dengan berbagai gimik marketing yang dilakukan Swift setiap kali merilis album. Setiap album pun memiliki gimik dan tema berbeda.
Misalnya ketika perilisan reputation (2017) ketika ia mengundang 500 penggemar dari seluruh dunia untuk bertemu langsung dengannya di rumahnya di London, Rhode Island, dan Los Angeles, serta di rumah ibunya di Nashville.
Atau seperti era Lover (2019), ketika ia melakukan live Instagram kala mengumumkan album itu dan merilis kopian buku hariannya yang terbagi dalam sejumlah versi sebagai bonus. Siapa yang tak mau memiliki kopian buku harian seorang Taylor Swift?
Lihat Juga : |
Ketika era pandemi pada 2020, Swift memanfaatkan konsep "album kejutan" dan perilisan yang belum pernah ia lakukan sebelumnya: dua album dalam setahun lewat folklore dan evermore. Pada masa itu, Taylor memungkinkan semua penggemarnya menjadi "yang pertama" mendengar album barunya.
Kemampuan memanfaatkan situasi untuk keuntungan bisnis juga dilakukan Taylor Swift saat menghadapi terpaan dalam karier, misal ketika berkonflik dengan Kanye West dan Kim Kardashian, dirundung kritikus musik, atau saat master album lawasnya dijual ke Scooter Braun.
Konflik dengan Kanye West dan Kim Kardashian yang sempat membuat Swift jadi public enemy pada 2016 menghasilkan album reputation (2017). Album itu menarik minat publik cukup tinggi karena berisi 'teh' pertikaian Swift dengan Kanye, dan berujung keuntungan bagi Swift saat ia comeback.
Menghadapi Scooter Braun, Taylor Swift memilih merekam ulang semua album lawasnya dan memberi sejumlah bonus seperti lagu yang belum pernah dirilis sebelumnya, dan kualitas musik yang jauh lebih baik. Plus, dia meminta dukungan para penggemar setianya.
Hasilnya? Album-album rerecording yang dikenal dengan cap Taylor's Version itu mampu mencetak rekor penjualan, mengalahkan album-album baru yang dirilis. Cuma Taylor yang mampu menjual album lawas yang 'dihangatkan ulang' dan laris manis hingga banyak label kesal.
"Keputusan untuk merekam ulang mencerminkan citra Swift sebagai seorang perempuan kuat, independen, yang bertekad tidak membiarkan dirinya menjadi korban para pria yang mengendalikan industri musik," kata pengamat industri musik, Larry Wayte.
Keberadaan album rerecording ini jelas jadi buah manis bagi Taylor. Pertama, penggemar setianya akan mendapatkan lagu-lagu yang belum pernah dirilis dan mendorong mereka untuk membeli album itu. Kedua, lagu album lawas ini bisa menambah penggemar baru.
Ketiga, Taylor bisa mendulang hak ekonomi lebih luas dengan karya rekam ulang ini, seperti penggunaan untuk film atau iklan. Keempat, album-album rekam ulang ini pula yang menjadi pemantik orang-orang jadi menggila terhadap The Eras Tour.
"Saya pikir itu salah satu gerakan branding paling genius yang pernah dilakukan siapa pun," kata akademisi Teori Musik School of Music and Dance University of Oregon, Drew Nobile.
"Saya tidak bisa memikirkan cara lain untuk menjadi begitu kapitalis, sembari mengambil kembali kekuatan bagi seniman dan membuat cetak biru bagi musisi lainnya di masa depan," lanjutnya.
Maka wajar adanya bila Taylor Swift dinobatkan sebagai Person of the Year majalah Time pada 2023. Swift pun menjadi satu-satunya musisi perempuan yang meraih gelar tersebut, dan perempuan satu-satunya yang meraih gelar itu dua kali.
Wajar pula bila kekuatan Taylor Swift dan penggemar yang selalu ada di belakangnya membuat banyak negara 'mendadak jadi Swiftie' menginginkan ia datang lewat The Eras Tour karena mampu meningkatkan ekonomi setempat, terutama usai terhantam pandemi.
Di Jepang, The Eras Tour disebut CNN menambah pemasukan ekonomi hingga US$229,6 juta. Di Singapura, Channel News Asia menyebut permintaan penerbangan dan akomodasi naik 30 persen di masa pelaksaan The Eras Tour.
Namun tak pernah ada yang tahu, sampai kapan masa kejayaan Taylor Swift ini bertahan. Meski begitu, mengutip lagu Long Live (2010), Taylor Swift paham selama ia masih bersama penggemarnya, segalanya akan sangat mungkin terjadi.
"Will you take a moment? Promise me this, that you'll stand by me forever. But if, God forbid, fate should step in, and force us into a goodbye, if you have children someday, when they point to the pictures, please tell them my name. Tell them how the crowds went wild, tell them how I hope they shine,"
"Long, long live the walls we crashed through. How the kingdom lights shined just for me and you. And I was screaming, 'Long live all the magic we made'. And bring on all the pretenders, I'm not afraid. Singing long live all the mountains we moved, I had the time of my life fighting dragons with you."
(end)