Hasilnya terbukti dari motif Gaspar merampok toko emas Wan Ali (Iswadi Pratama) yang tidak kuat walau sudah disinggung sepanjang cerita.
Selipan adegan flashback yang beberapa kali muncul juga tidak berkesan dan terasa hambar. Padahal, adegan-adegan itu merupakan kunci untuk membangun emosi dan memperjelas motif Gaspar.
Lihat Juga : |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kegagalan membangun akar cerita yang kuat rasanya menjadi penyebab utama saya sulit merasa terhubung dengan perjalanan Gaspar. Alasan itu pula yang membuat saya semakin hilang rasa tertarik pada setiap menitnya, hingga akhir cerita.
Bahkan, saat 24 jam hidup Gaspar itu segera berakhir, saya tidak merasakan kegentingan atau tensi tinggi yang membuat si karakter utama rela mempertaruhkan segalanya.
Eksekusi cerita yang mengecewakan itu juga terlihat jika mencermati karakter lainnya. Melihat karakter lain membuat saya percaya bahwa penulis dan sutradara hanya memberi perhatian penuh kepada Gaspar.
Deretan karakter pendukung yang muncul tak mendapat perlakuan yang layak, baik dalam urusan latar belakang tokoh, motif, maupun perkembangan karakter sepanjang cerita.
![]() |
Mereka bak hanya menjadi kru pelengkap agar misi terakhir Gaspar berjalan mulus. Bahkan, karakter Wan Ali yang digambarkan sebagai si penjahat tidak mendapat cukup adegan untuk menunjukkan kebengisannya.
Chemistry yang terbangun di antara kru misi perampokan itu juga kurang kuat. Saya sempat menduga kurangnya chemistry itu karena para karakter memakai dialog dengan bahasa baku.
Namun, jika dipikir-pikir, bahasa baku itu bukan penyebab utama. Kekurangan itu terjadi karena interaksi yang terbangun terlalu kaku sehingga tidak dapat menghasilkan makna dan emosi.
Penampilan Reza Rahadian, Shenina Cinnamon, hingga Laura Basuki juga rasanya tak mampu menutupi interaksi yang kikuk. Mereka memang berusaha tampil sebaik mungkin, tetapi seolah hanya berdiri sendiri dan tak berpadu dengan baik.
Sederet catatan miring itu sangat disayangkan karena 24 Jam Bersama Gaspar memiliki peluang menjadi karya adaptasi ikonis. Rasanya sulit juga memberikan pembelaan jika banyak pembaca novel asli yang kecewa dengan hasil ini.
Namun, paling tidak, 24 Jam Bersama Gaspar menyuguhkan visualisasi dunia distopia dan sentuhan neo-noir yang jarang ditemukan di film-film Indonesia.