Hampir semua film horor rilisan 1980-an itu mengangkat cerita tentang hantu yang kalah dari tokoh agama, terutama agama Islam.
Sebut saja Nyi Blorong (1982) versi Suzanna yang kalah dari ulama, Telaga Angker (1984) melalui karakter Paman Wijaya yang taat beragama, hingga murid pesantren bernama Achmad yang mengalahkan Nyi Angker dalam Santet (1988).
Lihat Juga : |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa film horor juga menampilkan tokoh penyelamat dari agama lain, seperti pendeta Hindu di film Mistik (1981) hingga karakter pastor dalam film Ranjang Setan (1986).
Keseragaman pola cerita itu, menurut Hikmat, merupakan bagian dari cara pemerintahan Orde Baru mengendalikan konten film. Sebab, film dianggap menjadi salah satu medium yang dapat menyuarakan kritik dan pemikiran baru hingga mengancam gejolak di pemerintahan.
"Agendanya itu agar ada kendali naratif apa pun di masyarakat lewat medium film. Memang Orde Baru dari awal kekuasaan sangat sadar dengan kekuatan medium film," ujar Hikmat.
Aturan tentang konten film horor itu berlaku hingga 1990-an. Regulasi itu perlahan pudar seiring dengan Orde Baru yang semakin lemah dan akhirnya runtuh pada 1998.
![]() |
Film horor era pascareformasi pun melahirkan berbagai subgenre yang semakin bebas, seolah tidak ada aturan.
Titik awal perubahan itu tampak saat perilisan film ikonis Jelangkung (2001). Film tersebut dianggap menjadi angin segar bagi genre horor karena tidak lagi bertumpu kepada setan vs. tokoh agama.
Namun, kehadiran ustaz dalam film horor tak benar-benar berakhir pascareformasi. Tokoh agama Islam masih tetap sering muncul dalam banyak film horor, bahkan hingga sekarang.
Hikmat menilai kemunculan tokoh agama itu adalah representasi atas nilai tradisional, bahwa segala kekuatan gelap bisa dikalahkan oleh tokoh agama.
"Tahun 1990-an kita melihat ada cukup banyak keleluasaan karena penegakkan hukumnya enggak terlalu kuat lagi pas tahun '90-an," ungkap Hikmat.
"Namun, secara tradisional, kita juga masih menghadirkan tokoh-tokoh agama Islam dalam film horor untuk mengalahkan setan, santet, dan segala kekuatan gelap," lanjutnya.
Secara konsep, kehadiran ustaz dalam film horor Indonesia juga dinilai sama seperti pastor yang banyak muncul dalam film horor Hollywood. Menurut Hikmat, ustaz dan pastor memiliki struktur naratif dan model yang sama.
Mereka sama-sama menggunakan ajaran agama untuk melawan ancaman setan dan kekuatan gelap. Ustaz maupun pastor juga biasanya menghadapi setan dengan merapal doa atau ritual keagamaan.
Hanya saja, kedua jenis karakter itu punya kekhasan yang sesuai dengan latar belakang agama dan budaya masing-masing.
"Kekhasan budaya sih pasti ada, tetapi kalau secara struktur naratif dan secara archetype (pola dasar) sama saja," ujar Hikmat. "Intinya good vs evil, good itu yang percaya pada agama dan institusi agama."
(frl/end)