"Dialog, adegan, visualisasi, dan konflik-konflik antara protagonis dan antagonis dalam alur cerita seharusnya menuju arah ketakwaan dan pengagungan terhadap Tuhan YME," bunyi salah satu ayat Kode Etik Produksi Film Nasional yang dirilis pada 1981.
Berkat Kode Etik itu, Ustaz kemudian menjadi pilar penting yang nyaris selalu ada dalam semua film 1980-an hingga 1990-an dan menciptakan homogenitas karakter ustaz pada masa itu.
Lihat Juga : |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kini, ketika industri film terbilang bebas dalam berkreasi termasuk membuat film horor, Hikmat menilai ada banyak cara yang perlu ditempuh supaya muatan religi di film horor menjadi akurat.
Salah satunya mekanisme pendampingan dalam produksi film horor. Hikmat menilai metode pendampingan membuka ruang dialog antara sutradara dengan pemuka agama selama proses kreatif.
Di satu sisi, sutradara dapat berkonsultasi terkait muatan religi kepada ahlinya secara langsung. Pemuka agama juga dapat mengawasi jika menemukan praktik agama yang menyimpang dalam cerita.
"Saya kira untuk soal film itu yang penting kita mendorong ada mekanisme atau kanal dialog saja," ujar Hikmat.
"Ada kanal konsultasi, dialog, pendampingan. Ada perwakilan dari lembaga agama, termasuk [yang disiapkan] studio produksi," lanjutnya.
Sedangkan, Ekky mengungkapkan beberapa hal yang patut diperhatikan ketika menyelipkan muatan religi di film horor. Sama seperti Hikmat, ia juga sepakat bahwa produksi film horor butuh didampingi konsultan agama.
Ekky lantas memberikan salah satu ciri-ciri muatan religi yang beradab atau film madani, yakni menggambarkan Islam yang dihayati. Ia mengatakan ciri-ciri itu terlihat dari cara mengutarakan pesan.
Film horor yang menampilkan unsur agama juga harus mempertimbangkan etika. Menurut Ekky, produser dan sutradara harus bisa berempati dengan masyarakat yang meyakini ajaran agama tersebut.
"Film Madani adalah film yang menggambarkan Islam yang dihayati. Ciri khasnya, mengutip Haidar Bagir, semakin tak terlihat berdakwah semakin baik," ujar Ekky.
"Kita pertimbangkan juga etika, berempati dengan masyarakat yang menghayati dan menjalankan agama itu. Jangan cuma jadi komoditi barang dagangan aja," sambungnya.
(frl/end)