Jakarta, CNN Indonesia --
Dari Mark Ruffalo ke film Superman (2025), ada kecenderungan bergesernya keberpihakan pelaku industri Barat, khususnya Hollywood, ke Palestina. Apakah nyata adanya?
Pekan lalu, Olivia Rodrigo bersuara soal Palestina. Bukan hanya menyatakan kesedihannya akan kondisi perang di Gaza yang belum usai dan berdampak pada kondisi warga sipil, tetapi ia juga mengajak berdonasi.
Bukan cuma Rodrigo, aktor muda Louis Partridge juga melakukan yang sama. Pasangan kekasih itu memperpanjang daftar selebritas dari Barat yang bersuara pro-Palestina,meski khusus untuk mereka berdua, kampanye ini merupakan bagian dari program UNICEF.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di satu sisi, aksi Rodrigo dan Partridge adalah ekspresi wajar individu yang kemanusiaannya terusik dan prihatin dengan kondisi Gaza akibat invasi Israel sejak Oktober 2023. Apalagi keduanya adalah pekerja seni yang terbiasa merasakan dan mengandalkan emosi.
Pada sisi lainnya, hal ini seolah menunjukkan ada pergeseran yang terjadi di industri hiburan Barat terutama Hollywood terkait keberpihakan ke Palestina.
Sudah jadi rahasia umum industri di Amerika Serikat--termasuk hiburan--dikuasai para pebisnis Yahudi yang memberikan dukungan baik secara moril hingga materi terhadap Israel. Topik itu kerap jadi pembahasan penggemar konspirasi; soal peran Yahudi di balik industri hiburan, baik film, musik, media, hingga para pesohor.
Meski orang Yahudi tak serta merta mendukung apa yang dilakukan Israel--begitu juga sebaliknya, isu Israel-Palestina terbilang sangat sensitif di kalangan industri hiburan Hollywood yang mengklaim menjunjung tinggi freedom of speech. Sedikit saja bicara soal Palestina, bisa jadi karier yang dipertaruhkan.
John Legend pernah mengatakan hal tersebut saat berbincang soal suasana Hollywood terkait Gaza dengan jurnalis Inggris-Amerika, Mehdi Hasan, pada Oktober 2024.
"Mereka pernah melihat orang kehilangan agen atau kehilangan pekerjaan karena hal itu," kata Legend soal nasib para pekerja Hollywood yang berani berpihak pada Palestina, seperti diberitakan The National News pada Januari 2025.
"Mereka takut akan menanggung konsekuensi profesional."
'Freedom of speech' yang tidak free
Ucapan John Legend bukan omong kosong. Mohamed Buheji dan Aamir Hasan pernah menulis dalam artikel Can Celebrities Be Neutral About Gaza? yang terbit Juni 2024 di International Journal of Management, bahwa selebriti atau pekerja di Hollywood mesti membayar mahal bila berani terbuka mendukung Palestina.
"Banyak selebriti membayar mahal karena membuat pernyataan soal Israel menyerang Gaza. Mereka diejek sebagai influencer Hamas. Bahkan mereka yang tetap diam juga menghadapi kecaman," tulis Buheji dan Hasan.
Buheji dan Hasan mencatat, Maha Dakhil, seorang agensi manajemen bakat di Hollywood dipaksa untuk mengundurkan diri dari perusahaannya karena membuat pernyataan pro-Gaza. Kemudian aktris Melissa Barrera dibuang dari proyek film Scream 7 karena bikin pernyataan pro-Palestina.
Selain itu, ada juga Dua Lipa yang dicemooh dan dicap sebagai influencer Hamas hanya karena mendukung Gaza. Susan Sarandon yang ikut aksi bela Palestina juga diusir dari agensinya dan dicap sebagai orang anti-Semit, seperti diberitakan Anadolu pada November 2023.
[Gambas:Video CNN]
Di tengah situasi itu, ada pula selebritas yang tetap berani bersuara untuk mendukung Gaza dan Palestina. Sebut saja Angelina Jolie, yang dengan berani mengkritik Israel atas tindakannya menyerang Gaza dengan alasan memburu Hamas.
Kemudian ada juga Bella Hadid yang memang berdarah Palestina dan seorang supermodel di industri fashion, aktor papan atas Mark Ruffalo yang namanya sudah mentereng di dunia akting dan advokasi.
Ada juga sutradara dan produser pemenang Piala Oscar, Michael Moore, yang lantang menuding tragedi di Gaza ditutupi propaganda, musisi Macklemore yang merilis lagu pro-Palestina Hind's Hall, hingga termasuk Joaquin Phoenix.
Phoenix ikut teken surat protes terbuka terhadap industri film bungkam atas agresi Israel ke Gaza. Saat berbincang dalam siniar milik Theo Von, Phoenix meyakini tak perlu memahami geopolitik untuk bersuara mengenai Israel dan Gaza, melainkan soal hak asasi manusia.
"Apa yang terjadi [di Gaza] luar biasa buruk, tak ada pembenaran membiarkan anak-anak menderita kelaparan hingga meninggal dalam konflik," kata Phoenix.
"Saya tahu ada konflik di berbagai tempat di dunia ini setiap hari, tapi yang mengejutkan adalah bagaimana kita mungkin takut untuk membicarakannya, entah karena merasa bodoh atau tak mengerti soal geopolitik," paparnya.
Cara lain: pesan tersembunyi
Tekanan untuk tetap diam soal Palestina dan Gaza pada akhirnya tak selamanya bisa ditahan oleh para pemilik modal dan kuasa di Hollywood. Para selebritas dan seniman pun pakai cara lain di luar 'zona merah' berbicara lantang di depan umum macam Phoenix dan Ruffalo.
Lanjut ke sebelah...
[Gambas:Youtube]
Hal itu terlihat dari momen Academy Awards ke-96 dan 97 pada 2024 dan 2025. Pada Oscar 2024, sejumlah selebritas yang hadir mengenakan pin merah yang menjadi simbol seruan untuk gencatan senjata dalam menangani konflik Israel dan Hamas.
Akan tetapi simbol pin rupanya dirasa tak cukup berdampak. Hingga pada Piala Oscar 2025, dokumenter No Other Land memenangkan Best Documentary Feature Academy Awards ke-97. Dokumenter itu menjadi film dokumenter Palestina pertama yang memenangkan Piala Oscar.
Meski film itu juga ikut dibuat oleh wartawan Israel bekerja sama dengan sineas Palestina dan mengisahkan pendudukan militer Israel sebelum Perang Gaza 2023, tapi kemenangan tersebut adalah sebuah simbol suara para selebritas dan seniman Hollywood atas Palestina.
Ini karena sistem kemenangan Oscar adalah melalui voting dari ribuan sineas dan kru film Hollywood dan dunia yang tergabung dalam Academy of Motion Piture Arts and Sciences (AMPAS). Seringkali, suatu nomine ajang Piala Oscar dipilih untuk menang bukan karena paling baik dibanding nomine lainnya, tapi sebagai simbol suara dan putusan politik para voter.
Karena mereka mengetahui, siapa atau apa pun yang menang Piala Oscar, akan menjadi sorotan dunia. Dengan begitu, para sineas dan kru Hollywood yang tak bisa bersuara lantang dan langsung, bisa menyalurkan suara mereka lewat para nomine yang kaget menang Piala Oscar di atas panggung.
[Gambas:Photo CNN]
Paling baru, James Gunn dinilai menyuarakan soal Gaza lewat Superman (2025). Film itu menyinggung konflik pendudukan antara dua negara fiksi, Boravia dan Jarhanpur, yang dianggap menggambarkan kebrutalan Israel terhadap Palestina, khususnya Gaza.
Apalagi pemeran Superman, David Corenswet, adalah aktor Yahudi pertama yang menjadi superhero itu. Selain itu, Jerry Siegel dan Joe Shuster, pencipta Superman, juga seorang Yahudi. Mereka menciptakan pahlawan super berdasarkan pengalaman sebagai imigran Yahudi.
Namun James Gunn selaku penulis naskah dan sutradara membantah bahwa filmnya berkaitan dengan konflik di Timur Tengah.
"Ini adalah invasi oleh negara yang jauh lebih kuat yang dipimpin seorang tiran ke negara yang bermasalah dalam hal sejarah politiknya, tetapi sama sekali tidak punya pertahanan ke negara lawan," kata James Gunn kepada The Times of London.
"Ini benar-benar fiksi," tegasnya, seperti diberitakan Variety pada 16 Juli 2025.
Generasi (dan asa) baru
Selain secara tidak langsung, yang paling terlihat adalah para selebritas generasi muda lebih berani bersuara soal Palestina, selain Olivia Rodrigo seperti yang disebut di atas. Sebut saja Jenna Ortega dan Billie Eilish.
Billie Eilish pada Juli 2025 menyebut rencana relokasi Gaza oleh Israel sebagai "menakutkan". Kemudian Jenna Ortega mengunggah ulang postingan Pedro Pascal soal "All Eyes on Rafah", dan mengunggah sebuah foto keluarga Palestina di Instagram dengan lokasi Rafah.
Bila ditilik lebih dalam, cara ketiga selebritas muda ini dalam menyuarakan dukungan juga terbilang pintar. Sebagai bagian dari Generasi Z yang terkenal outspoken, tentu keduanya akan kritis dan tak ragu dalam menyuarakan pendapat mereka.
Namun seperti generasi di atas mereka, ketiganya juga perlu melakukan advokasi itu dengan cerdas. Olivia Rodrigo baru bersuara saat dirinya didukung oleh Badan PBB untuk anak-anak, UNICEF, dan memiliki basis penggemar yang kuat sehingga memastikan kariernya juga sudah punya fondasi.
[Gambas:Instagram]
Hal senada juga dilakukan Billie Eilish. Memenangkan sejumlah Grammy, Oscar, hingga punya basis penggemar loyal pada usia 23 tahun tentu menjadi sebuah modal keberanian tersendiri untuk bersuara hal yang sensitif di kalangan industri.
Sementara dengan Jenna Ortega, dirinya sudah memiliki popularitas yang terbilang besar untuk usianya yang baru 22 tahun. Angelina Jolie versi Generasi Z ini juga sudah aktif dalam berbagai kegiatan kemanusiaan sejak lama.
Namun yang cerdas adalah, Ortega mengajak donasi dan mengunggah soal Rafah tepat setelah dirinya keluar dari proyek Scream 7. Ortega dengan berani mendepak proyek tersebut setelah Scream 7 yang memecat lawan mainnya di Scream 6, Melissa Barrera.
Billie Eilish, Jenna Ortega, dan Olivia Rodrigo mungkin masih terbilang sedikit dibanding jumlah keseluruhan selebritas generasi baru di Hollywood yang menerima uang dari berbagai orang di dunia. Namun mereka mampu menampilkan angin perubahan di Hollywood, tak terlihat mencolok tapi terasa.
Dan harapannya, para selebriti ini bukan hanya sekadar menikmati kekayaan hasil disanjung orang, tetapi juga mampu menjadi apa yang ditulis oleh Mohamed Buheji dan Aamir Hasan.
"Hanya dukungan vokal dari selebritas yang dapat membantu menarik perhatian internasional dan menyoroti penderitaan warga Palestina di Gaza. Para selebritas dapat menggunakan pengaruh mereka untuk menggalang dan mendukung upaya bantuan kemanusiaan di Gaza," tulis Buheji dan Hasan.
"Para selebritas dapat berkontribusi dalam menekan para pembuat kebijakan secara global untuk menangani konflik dan mencari penyelesaiannya, hanya dengan cara bersuara."
[Gambas:Video CNN]