Kementerian Hukum memastikan memutar lagu dari layanan streaming di restoran atau ruang publik lainnya tetap wajib membayar royalti meskipun sudah berlangganan platform musik tersebut.
Menurut Direktur Hak Cipta dan Desain Industri, Agung Damarsasongko, langganan layanan streaming untuk memutar lagu tersebut adalah untuk penggunaan pribadi atau personal, bukan untuk komersil seperti di tempat usaha dan ruang publik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah," kata Agung dalam pernyataannya, Senin (28/7).
Pernyataan ini datang setelah sebelumnya bos Mie Gacoan Bali, I Gusti Ayu Sasih Ira, menjadi tersangka kasus hak cipta musik dan lagu menyusul salah satu lembaga manajemen kolektif (LMK), yakni SELMI, menggugat Ayu karena menggunakan musik dan lagu secara komersial di tempat usahanya.
Menyusul kejadian tersebut, sejumlah pebisnis pun menyuarakan untuk tidak memutar lagu lokal di lokasi usaha mereka meskipun berasal dari layanan streaming yang sudah membayar langganan.
"Itu justru akan melemahkan ekosistem musik lokal dan tidak memberikan apresiasi kepada pencipta/pemegang hak cipta. Musik adalah bagian dari identitas budaya," kata Agung.
"Ketika pelaku usaha enggan memberikan apresiasi yang layak kepada pencipta lagu Indonesia, yang dirugikan bukan hanya seniman, tetapi juga konsumen dan iklim kreatif nasional secara keseluruhan," lanjutnya.
Agung juga mengingatkan bahwa alternatif dengan memutar lagu instrumental bebas lisensi dari luar negeri juga tidak sepenuhnya aman. Hal ini karena beberapa lagu yang diklaim "no copyright" justru bisa menjerat pelaku usaha dalam pelanggaran bila digunakan tanpa verifikasi sumber.
"Termasuk lagu luar negeri jika mereka dilindungi hak cipta, kewajiban royalti tetap berlaku," kata Agung.
Menurut Agung, jika pelaku usaha tidak memiliki anggaran untuk membayar royalti musik, alternatif yang dapat dipilih adalah menggunakan musik bebas lisensi (royalty-free) atau musik dengan lisensi Creative Commons.
Lisensi Creative Commons memperbolehkan penggunaan komersial, memutar musik ciptaan sendiri, menggunakan suara alam/ambience, atau bekerja sama langsung dengan musisi independen yang bersedia memberikan izin tanpa biaya.
Terkait skema pembayaran, pelaku usaha bisa mendaftarkan usahanya melalui LMKN dan membayar royalti sesuai klasifikasi usaha dan luas ruang pemutaran musik. Hal ini juga diterapkan di negara lain seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, dan Korea Selatan.
Selain itu, Agung menegaskan usaha UMKM juga tidak dipukul rata untuk biaya royalti. Ia mengatakan ada mekanisme keringanan atau pembebasan tarif royalti sesuai ketentuan yang diatur oleh LMKN.
"Kami mengimbau pelaku UMKM untuk mengajukan permohonan keringanan secara resmi agar mendapatkan perlindungan hukum sekaligus mendukung ekosistem musik nasional," katanya.
(end)