Review Film: A Normal Woman

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Jumat, 01 Agu 2025 20:00 WIB
Review A Normal Woman: film bagus bukan cuma soal estetika dan niat mulia. (Courtesy Of Netflix/Tri Ratna)
Jakarta, CNN Indonesia --

A Normal Woman menjadi bukti bahwa film yang bagus itu bukan cuma sekadar punya bujet dan produksi mentereng, tetapi yang paling utama adalah cerita dan penuturan yang kuat dan membuat penonton ikut di dalamnya.

Namun sayangnya film yang digarap oleh Lucky Kuswandi ini hanya punya separuh awal kalimat yang saya tulis di atas.

A Normal Woman sebenarnya punya niat yang saya bilang mulia, yakni mengangkat topik kesehatan mental dengan cara yang populer, membahas stigma-stigma soal kesehatan mental, dan dibalut dengan visual estetik.

Akan tetapi, saya menyaksikan segala topik itu dalam film ini serasa masuk ke sebuah ruangan yang berisi kegiatan berjudul "sosialisasi". Hampa, menjemukan, dan tak menggugah.

Padahal secara konsep film ini sudah sesuai dengan apa yang dimaksud sebagai film drama psikologis, bahkan thriller. Ada teror psikis, ada adegan konflik antar karakter, ada juga adegan yang sebenarnya bisa jadi trigger bagi sebagian orang.

Sayangnya saya tidak terpicu dengan berbagai sajian dari Lucky Kuswandi dan Andri Cung yang menulis film ini, walaupun A Normal Woman sudah mengandung berbagai simbolisme yang terlihat edgy. Entah karena saya terlalu "zen" atau memang kedua penulis mungkin tidak mengalami sendiri konflik emosi yang mereka tulis?

Review A Normal Woman: A Normal Woman tidak sepenuhnya buruk. Kalau ditanya apa yang paling bagus dari film ini, saya tidak ragu akan menjawab: Widyawati. (Courtesy Of Netflix/Tri Ratna)

Saya sebenarnya sangat mendukung keberadaan film yang berani membahas kesehatan mental dan stigma yang kerap diberikan oleh masyarakat pada mereka penyintas gangguan kesehatan mental.

Saya juga mengakui bahwa A Normal Woman memiliki itu semua. Mulai dari meremehkan gangguan mental yang dialami penderita, hingga berbagai aksi yang sebenarnya membuat penderita gangguan mental semakin sakit dan jauh dari kata sembuh.

Namun kembali lagi, Lucky dan Andri membuat A Normal Woman bagai film tugas kuliah, sesuai dengan syarat tetapi tidak berdampak terhadap orang lain yang dalam hal ini adalah saya sebagai penonton.

Meski begitu, A Normal Woman tidak sepenuhnya buruk. Kalau ditanya apa yang paling bagus dari film ini, saya tidak ragu akan menjawab: Widyawati.

Akting Widyawati dalam film ini yang saya rasa hanya secuil dari kemampuannya itu saja sudah overpower. Gaya intimidasi dari karakter mertua nyebelin yang ia mainkan sudah bisa menembus layar hanya dengan mata mendelik.

Review A Normal Woman: Gisella Anastasia tak diduga lebih bisa menjadi scene stealer dibanding dua pemeran utama. (Courtesy Of Netflix/Tri Ratna)

Belum lagi dengan kalimat-kalimat menyebalkan dikte orang tua yang merasa paling tahu segalanya kepada anak mereka. Widyawati adalah trigger sesungguhnya dalam film ini. Jempolan.

Sayangnya, para pemain yang lain tak bisa mengimbangi aura dan akting Widyawati. Marissa Anita bahkan kurang bisa menjadi scene stealer walau sudah merobek wajahnya sendiri dengan gunting, apalagi Dion Wiyoko yang perannya sebagai suami di bawah ketiak ibunya.

Gisella Anastasia tak saya duga lebih bisa tampil lebih menarik dibanding dua pemeran utama. Gisel bahkan tak perlu berucap apa pun saat pertama kali masuk layar dan penonton sudah bisa menebak dirinya akan menjadi perusak rumah tangga.

Gisel juga terlihat mampu memainkan karakter itu dengan mulus. Namun saya merasa peran karakternya sebagai pengkhianat sahabat berpotensi masih bisa dieksploitasi oleh kedua penulis, dan bisa menambah unsur emosi yang sangat kurang dalam film ini.

Hal lain yang terlihat bagus dari film ini adalah aspek produksinya. Menyewa sebuah rumah yang sangat mewah dan estetik, visual efek dan komputerisasi yang mulus, hingga kamera yang jernih yang memuluskan sinematografi cantik bisa jadi nilai positif dari film ini.

Meski begitu, semua itu tak bisa menghalangi saya untuk mengatakan drama Korea The Penthouse (2020) lebih menyenangkan untuk ditonton dibanding A Normal Woman.

Padahal kalau dipikir secara logika, cerita The Penthouse sangat absurd. Namun drama itu memiliki karakter yang kuat dan sakit mental, penuturan yang emosional, serta paham bagaimana memainkan emosi penonton. Hal yang tak dicapai oleh A Normal Woman.

Hingga akhirnya, A Normal Woman menjadi film yang secukupnya normal saja. Tak ada faktor khusus untuk bisa dikenang penonton, dan menambah katalog film Netflix yang lagi-lagi perlu lebih ketat dalam mengakurasi proyek yang akan mereka naungi.

(end)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK