Sebelum saya memulai untuk menjabarkan penilaian saya soal film animasi Merah Putih: One for All, saya ingin menegaskan bahwa review ini dibuat dengan tujuan dan parameter yang sama seperti review film di CNN Indonesia lainnya.
Baiklah, mari kita mulai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya sebenarnya sangat tidak menaruh ekspektasi apapun saat memasuki pintu bioskop untuk menyaksikan Merah Putih: One for All, apalagi melihat trailernya yang bikin netizen ringan menghujat dan emosi.
Namun setelah saya melihat film berdurasi 70 menit itu, saya paham sejumlah hal. Pertama, memang bikin film itu tidak cukup hanya dengan "niat mulia", tetapi yang penting adalah modal dan kecakapan kemampuan teknis juga rasa.
Kedua, ada baiknya ketika berambisi dalam membuat sesuatu yang mungkin dalam benak kita itu "keren banget", juga perlu melihat dan menimbang dengan kepala jernih, alias realistis.
Ketiga, tidak memiliki ekspektasi melihat film seperti pada umumnya atau menghilangkan prejudice sangat membantu saya "survive" selama 70 menit. Bahkan, jujur saja, saya tertawa terhibur dengan melihat sajian film ini.
![]() |
Keempat, film ini memang bukan untuk mereka yang masih "mendang-mending" karena in this economy, memang ada hal yang lebih berfaedah untuk bisa dibeli dengan Rp40-50 ribu.
Kelima, saya paham mengapa film ini disebut Merah Putih: One for All setelah melihat credit title di akhir film. Film ini definisi satu orang mengerjakan semuanya. Maka tidak heran, hasilnya juga masuk kategori "bisa dimaklumi".
Namun memang yang tidak masuk pemahaman saya adalah, apa yang ada di benak produser, penulis naskah, dan sutradara dalam mengonsep hingga menggarap film ini?
Apakah mereka merasa bahwa film ini cukup layak menagih Rp40-50 ribu dari masyarakat, in this economy? Atau mereka mungkin merasa bahwa menonton film di bioskop tidak mengeluarkan uang?
Merah Putih: One for All jelas tidak mencapai standar minimal film "bagus" dalam bayangan saya, padahal saya termasuk yang masih mau susah-payah mencari hal bagus dari sebuah film, apalagi lokal.
Sepanjang durasi film yang sangat bising itu, isi kepala saya juga berisik dengan suara bel "salah" untuk berbagai aspek. Mulai dari kualitas cerita, penulisan naskah, pembabakan dan pengadeganan, dialog, teknik animasi, tata warna, sinematografi, pengambilan gambar, editing, scoring dan tata suara, hingga soundtrack.
![]() |
Bila saya jabarkan satu-satu, saya khawatir tulisan ini akan sangat panjang dan membosankan. Sehingga saya mungkin akan menyederhanakannya dengan sebuah pengandaian berikut:
Merah Putih: One for All seperti pementasan drama acara 17-an untuk anak-anak, dimainkan oleh anak-anak yang belum pernah mentas di panggung dan kurang latihan, dengan dialog gaya Indonesia era 1980-an yang dipaksa kekinian, dan digelar persis di samping hajatan yang menggunakan sound sember.
Jangan tanya kualitas penuturan naskahnya dan kecocokannya dengan logika otak penonton, untuk masuk logika alur ceritanya saja film ini terseok-seok. Apalagi soal kalimat-kalimat dialog yang cringe untuk sekelas film di era ponsel bisa menggantikan kamera film profesional.
Hanya saja, saya masih menemukan sejumlah kalimat yang cukup bagus untuk didengar, terutama untuk anak-anak di era edan ini. Setidaknya, pesan "mulia" dari film ini benar-benar disampaikan secara gamblang, sehingga penonton tak mesti mengubek-ubek di antara sajian yang bikin saya sering menggumam memanggil Tuhan.
Karena saya lelah dalam menemukan hal janggal dalam film ini dan tertawa karenanya, saya justru berandai sendiri. Agaknya film ini akan lebih baik bila dibuat dalam bentuk pementasan drama anak-anak sekolah, atau diperankan oleh anak-anak.
Selain akan terasa lebih riil karena menggunakan manusia asli sebagai aktornya, konsep cerita akan terasa jadi lebih seru bila dibuat dalam bentuk sekelompok anak yang disuruh mencari bendera yang hilang, tetapi kemudian mereka tersesat dalam imajinasinya sendiri dan berandai masuk sebuah hutan yang penuh dengan petualangan.
Dengan imajinasi saya itu, kreator tak perlu repot-repot begadang membuat aset yang diduga diambil gratisan, toh editing animasi dan motion-nya tak mulus, glitch di beberapa adegan, selalu menggunakan adegan yang sama sebagai bridging, atau menggunakan suara rekaman AI untuk dialog bahasa Inggris.
Bila memang hasilnya tidak berdurasi panjang atau tak punya modal untuk menggandakan file film, cukup tayangkan filmnya di media sosial seperti YouTube dan TikTok, lebih murah, jangkauannya lebih luas, serta tidak mengundang massa untuk menggeruduk.
![]() |
Namun kembali lagi pada poin kedua saya, memang kita harus lebih realistis bila memiliki mimpi. Bermimpi tinggi itu bagus, berusaha keras itu harus, tapi realistis juga penting agar tidak hidup dalam penilaian sendiri dan jadi delusional. Atau mungkin memang ada yang sengaja tampil buruk untuk mendulang nama dan uang?
Maka dari itu, saya memberikan satu bintang setelah menyaksikan Merah Putih: One for All. Satu bintang ini saya persembahkan untuk Bintang Takari, karena bersedia menjadi animator sekaligus penata musik sekaligus sutradara sekaligus penulis naskah yang dibayar hanya dengan "terima kasih" dari produser, katanya.
(end)