 
                 Endro Priherdityo
        
                Endro Priherdityo
            Untuk sebuah film indie yang cukup dinanti, Shelby Oaks bukan film horor jempolan. Namun untuk ukuran karya debut panjang pertama, film ini menunjukkan potensi dari sutradara baru Chris Stuckmann.
Menggunakan gaya dokufiksi dan "found footage" dengan narasi yang jelas terinspirasi dari sang legenda The Blair Witch Project (1999), Shelby Oaks sebenarnya memulai durasi dengan cukup meyakinkan.
Namun opening yang terbilang cukup lama dan mengesankan tersebut sayangnya melempem, seiring perubahan gaya narasi menjadi seperti film pada umumnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bertindak tunggal sebagai penulis dan sutradara, Stuckmann seolah berusaha keras untuk bisa menggabungkan gaya The Blair Witch Project (1999) dengan film-film okultisme modern macam Hereditary (2018).
Saya bisa melihat gambaran besar yang coba dibangun oleh Stuckmann, dan sebenarnya itu cukup meyakinkan, bila seandainya sutradara yang juga kritikus film populer itu konsisten dalam penggarapannya.
Misteri yang kental terasa di awal film kemudian menjadi misteri yang tidak lagi seram, bahkan cenderung aneh dan meninggalkan banyak pertanyaan begitu kredit datang.
|  Review film: Menggunakan gaya mockumentary dengan narasi yang jelas terinspirasi dari sang legenda The Blair Witch Project (1999), Shelby Oaks sebenarnya memulai durasi dengan cukup meyakinkan. (dok. Paper Street Pictures/Intrepid Pictures/Neon via IMDb) | 
Dari sekian banyak pertanyaan tersebut, saya cenderung penasaran apakah memang sejak awal tujuan Stuckmann bukanlah mengisahkan film horor dan okultisme, melainkan hanya drama kakak-adik dan trauma masa kecil?
Bila iya, drama tersebut sebenarnya sudah cukup tersampaikan dengan perjuangan Mia mencari Riley. Walaupun kemudian perjuangan itu menjadi kurang dramatis, justru pada saat momen puncak yang krusial.
Kembali lagi, Stuckmann pada bagian tersebut tampak sangat berusaha untuk menjaga suasana okultisme dalam film ini. Padahal sebenarnya sudah luntur sejak pertengahan film.
Namun saya juga tak menampik pertanyaan lain dalam benak, apakah gaya narasi yang berubah ini murni inisiatif Stuckmann? Atau ada perwujudan donatur adalah yang berhak mengatur?
Bila iya, saya tidak bisa menyalahkan Stuckmann sepenuhnya mengingat ini adalah film pertamanya dan semula dibuat secara independen, hingga kemudian seorang produser datang dan film ini disunting bahkan syuting ulang.
Seandainya versi asli Shelby Oaks adalah pada bagian awal film, jelas visi asli Stuckmann lebih baik dari yang tersaji di bioskop. Namun bila memang sejak awal Shelby Oaks sudah seperti ini, maka Stuckmann ada baiknya mengkritisi dirinya sendiri.
Bahkan saya bisa bilang hasil suntingan film yang terasa terlalu modern dan tajam ini membuat Shelby Oaks tak ubahnya seperti sinetron di Indonesia. Jauh dari kata pseudo-realita yang sempat diangkat dalam bagian awal film ini.
Pada beberapa bagian film yang dibuat secara digital, Shelby Oaks bahkan terasa seperti video gim yang dibuat dengan pixel lebih banyak dan ketajaman gambar terlalu tinggi. Bagi saya, itu tidak terasa nyaman sama sekali.
Shelby Oaks jelas memiliki potensi untuk menjadi film horor yang gong, apalagi beberapa film horor besar yang tayang sebelumnya kurang bisa memuaskan para pencinta adrenalin dari dunia gaib.
Sayangnya memang seringkali realita yang terjadi meleset jauh dari angan serta potensi yang ada. Saya cuma bisa berharap bila Shelby Oaks akan dibuat saganya, atau Chris Stuckmann akan membuat film lagi, cobalah untuk jujur dan bertahan sebisa mungkin pada visi kreatifnya sendiri.
(end)