Nama lengkapnya adalah Amir Sjarifoeddin Harahap. Ia berusia 21 tahun ketika peristiwa Sumpah Pemuda 1928 dan jabatannya dalam Kongres Pemuda II adalah bendahara. Dia berasal dari kelompok Jong Bataks Bond.
Awalnya beragama Islam, Amir menjadi Kristen pada 1931. Ada catatan dia pernah berkotbah di gereja protestan terbesar, Batak Batavia.
Semasa jadi pelajar di Leiden, Belanda, Amir banyak terlibat dalam diskusi kelompok pemuda Kristen, seperti CSV-op Java, cikal bakal Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).
Pada 1927 dia kembali ke Indonesia dan masuk Sekolah Hukum di Batavia. Dia kemudian tinggal di rumah kos pelajar Indonesisch Clubgebouw di Kramat 106, milik Sie Kok Liong. Dia bisa ke sini lantaran ditampung seniornya satu sekolah, Muhammad Yamin.
Pada 1931 Amir mendirikan Partai Indonesia (Partindo) dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), sembari menulis dan jadi redaktur di Poedjangga Baroe.
Amir terbilang tokoh yang radikal dan kontroversial. Menjelang kedatangan Jepang misalnya, Amir menggalang gerakan antifasisme dengan Belanda untuk menghadapi serbuan Jepang. Padahal, rekan-rekannya memilih ‘percaya’ pada janji-janji Jepang memberikan kemerdekaan setelah Belanda dikalahkan.
Pasca proklamasi 1945, Amir banyak menduduki jabatan penting di pemerintahan. Dia pernah menjadi Menteri Penerangan, Menteri Pertahanan, dan bahkan menjadi Perdana Menteri. Tapi hasil perjanjian Renville mengubah nasibnya.
Pada perjanjian itu, Amir adalah negosiator utama Indonesia. Tapi hasil perjanjian itu tak menguntungkan Indonesia sehingga ia dikecam di sana-sini. Dia kemudian bergabung dengan Musso, menganjurkan Indonesia merapat ke Uni Soviet.
Pada 1948 ini pula karier politiknya tercoreng Peristiwa Madiun 1948. Sebagai salah satu tokoh Partai Komunis Indonesia, Amir ditangkap dengan tuduhan PKI hendak membentuk negara komunis di Madiun. Pihak militer mendapat informasi intelijen bahwa PKI mengangkat Musso sebagai presiden dan Amir sebagai Perdana Menteri.
Saat peristiwa Madiun meletus, September 1948, Amir sedang berada di Yogyakarta, dalam rangka kongres Serikat Buruh Kereta Api. Ia kemudian dieksekusi tanpa diadili.