Jakarta, CNN Indonesia -- Setiap tanggal 21 April kita memperingati jasa pahlawan nasional Raden Ajeng Kartini. Tapi apakah kita masih ingat apa yang diperjuangkan Ibu Kartini, itu yang terpenting.
Kalau kita perhatikan di sekolah-sekolah, dari taman kanak-kanak (TK) sampai SMA, hari Kartini biasanya diperingati dengan mengenakan busana tradisional, pertunjukan fesyen, dan sebagainya. Seperti tadi pagi, saya melihat sendiri beberapa siswi SD sudah cantik berdandan dan mengenakan kebaya, berjalan berjingkat di genangan air akibat hujan semalaman.
Kebanggaan juga membuncah tatkala melihat doodle di mesin pencari Google pagi ini. Di sana ada potret Ibu Kartini, membuat Kartini setara dengan tokoh-tokoh dunia yang banyak diilustrasikan di sana saban waktu.
Seru saja melihat antusiasme siswa-siswi tampil unik dan cantik di hari Kartini. Senang juga melihat Google pun memberikan perhatian pada sosok yang dalam lagu nasional disebut 'Putri Sejati' itu.
Tapi jika guru atau orang tua, juga kita semua, lalai memahami makna sebenarnya hari Kartini, maka lambat laun arti perjuangan Kartini pun punah.
Kartini memang sering dicitrakan memakai kebaya dan disebut pejuang emansipasi wanita. Itu betul. Tapi Kartini tidak sekadar memperjuangkan kebebasan mengenakan kebaya atau emansipasi sempit. Kartini sebetulnya memperjuangkan kemerdekaan mendapatkan pendidikan bagi masyarakat, khususnya kaum perempuan.
Melalui surat menyurat dengan sahabatnya di Belanda, yang kemudian dirangkum jadi buku bertajuk “Habis Gelap Terbitlah Terang”, Kartini menyuarakan kegelisahan hatinya. Ia gelisah demi melihat masih tertutupnya akses kepada pendidikan yang adil bagi semua orang, terutama perempuan.
Pada zaman digital sekarang, kalian percaya tidak bahwa masih banyak lho orang-orang yang buta huruf? Menurut data pemerintah, sampai akhir tahun 2015, masih ada hampir 6 juta penduduk yang buta huruf. Lalu catat ini: dua pertiganya adalah perempuan.
Bagaimana dengan akses ke pendidikan bagi anak-anak? Berdasarkan data badan PBB, Unicef, sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak bisa sekolah dengan berbagai alasan. Sebanyak 600 ribu usia SD dan 1,9 juta usia Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Di mana saja mereka? Mereka ada di keluarga-keluarga miskin. Mereka ada di daerah pedesaan yang kekurangan tenaga pengajar dan minim akses ke kota, baik karena prasarana yang kurang atau karena ketiadaan biaya.
Data-data statistik di atas menunjukkan bahwa perjuangan untuk mengentaskan rakyat yang tak berpendidikan masih sangat relevan. Dengan kata lain, perjuangan Kartini masih belum selesai dan tugas kitalah melanjutkannya. Untuk memperjuangkan sampai semua rakyat negeri ini bisa menikmati pendidikan secara berkeadilan.
Secara sederhana, kita bisa lakukan itu melalui bagian kita masing-masing. Kamu yang bekerja, bekerjalah dengan baik untuk kehidupan yang lebih baik. Kamu yang sekolah, bersekolahlah sebaik-baiknya dan tak menyia-nyiakan kesempatan bersekolah itu untuk mencapai cita-citamu.
Berikutnya, ada banyak kelompok masyarakat yang serius ingin mengentaskan kemiskinan dan buta huruf ini di sekitar kita. Kamu bisa ikut bergabung dan membantu di sana. Atau, cobalah membuka mata, barangkali ada yang bisa kamu lakukan untuk orang-orang di sekitarmu.
Sebab pendidikan yang akan membuka jendela kepada segala peluang dan kesempatan. Pendidikan yang akan memberikan nafas bagi perubahan hidup menjadi lebih baik.
(ded/ded)