Muhammad Fethullah Gulen, 'Cak Nur' dari Turki

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Selasa, 24 Mei 2016 14:14 WIB
Belajar dari Fethullah Gulen, tokoh yang mengatakan tindak kekerasan atas nama agama tidak bisa dibenarkan.
Ilustrasi perdamaian (geralt/Pixabay)
Ciputat, CNN Indonesia -- Tahun 2015, sempat menjadi periode kejayaan Turki di Indonesia. Bukan kejayaan dalam arti imperialisme, melainkan kejayaan dalam arti diterimanya budaya Turki di Indonesia melalui dunia perfilman. Di antara faktor mudah diterimanya budaya Turki di bumi Nusantara ini bisa dikaji melalui pendekatan geo-sosio.

Secara geografis, Turki berada di dalam dua benua, Asia dan Eropa. Dampak darinya adalah kehidupan sosial masyarakat Turki tidak bisa lepas dari pengaruh Timur dan Barat pada waktu yang sama. Nabil Al-Tikriti, pengamat Timur Tengah, melihat Turki sebagai jembatan antara budaya Timur dan Barat, pasalnya dua budaya yang ada –Timur dengan Islamnya dan Barat dengan Sekulernya- bisa berafiliasi dengan harmonis.

Harmoni seperti itu, rupanya juga terjadi di Indonesia. Indonesia dikenal sebagai arena “pertarungan” antara sarjana yang menganut pemikiran kebaratan dengan yang menganut pemikiran ketimuran, seperti perbedaan pendapat antara Buya Hamka dengan Quraish Shihab dalam memahami konteks hijab. Namun, keduanya berargumen dalam forum yang ilmiah tanpa sedikitpun tindakan anarkis.

Inilah yang menarik bagi kedua negara, bahwa budaya Barat dan Timur yang berafiliasi di Turki dan di Indonesia cenderung melahirkan muslim-muslim yang berpikiran moderat. Sebut saja Muhammad Fethullah Gulen dan Nurcholis Madjid –sering disapa sebagai Cak Nur-

Cak Nur dikenal oleh beberapa kalangan sebagai pembaharu dalam Islam. Salah satu konsepnya yang terkenal adalah konsep keIslaman-keIndonesiaan-keModernan. Di saat beberapa kalangan menilai bahwa modernitas adalah kegiatan westernisasi. Cak Nur justru menganggap modernitas adalah rasionalitas yang bersifat dinamis dan peogesif.

Dalam bukunya Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Cak Nur ingin menerangkan bahwa masuknya Islam ke Indonesia, tanpa terjadinya penaklukan, telah menancapkan hakikat Islam, kepada masyarakat Indonesia, yang bersifat rasional. Dengan kata lain, kebenaran bukanlah hal yang ditentukan oleh pedang, melainkan dengan akal.

Mari bertolak kepada pemikiran Fethullah Gulen. Gulen adalah tokoh pemikir Islam yang mencoba untuk membawa Islam ke ranah yang lebih luas lagi. Gulen menjadikan agama sebagai instrumen perdamaian. Ia menjelaskan, pada hakikatnya setiap agama mengajarkan cinta dan kasih sayang. Oleh karenanya, segala tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama adalah hal yang tidak bisa dibenarkan.

Menurut Irwan Masduqi dalam Berislam secara Toleran, sebagai tokoh perdamaian, Gulen menggarisbawahi diperlukannya sifat toleransi guna menjalin dialog antar agama. Dialog, dalam perspektifnya, adalah cara terampuh untuk meningkatkan silaturahim antar agama. Gulen juga mengakui bahwa budaya Barat adalah budaya yang menuntut masyarakatnya agar lebih modern atau berkembang. Gulen menilai bahwa toleransi bisa diraih apabila setiap agama menuntut umatnya untuk terus berkembang. Perkembangan inilah yang menurut Gulen harus ditanamkan di setiap sanubari umat muslim.

Berdasarkan pemikirannya, Gulen merupakan salah satu tokoh yang tidak menolak kehadiran modernitas dalam Islam. Menurutnya tidak ada yang salah dengan modernitas, karena pada hakikatnya Islam adalah agama yang menuntut agar umatnya terus berkembang. Pemikiran Gulen termanifestasi melalui The Gulen Inspired School yang tersebar di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Sekolah ini menjadi alat bagi Gulen untuk menyebarkan nilai-nilai keIslaman yang dianutnya, yang berbasis terhadap cinta dan kemodernan. Beberapa kalangan merangkum pemikiran Gulen dalam 3 konsep yang sama layaknya Cak Nur, keIslaman-keTurkian-keModernan.

Dua pemikir di atas telah memberikan warna baru terhadap Islam. Di saat umat Islam dihadapkan dengan kebimbangan menanggapi kemodernan yang ada, justru dua pemikir ini hadir untuk menuntut umat muslim menjadi umat yang modern. Perlu ditekankan bahwa perkembangan yang ada bukanlah mengartikan bahwa Islam sebelumnya adalah Islam yang tertinggal. Islam yang dibawa oleh Rasul Muhammad adalah Islam yang sempurna. Sehingga, pada prosesnya, yang mengalami perkembangan bukanlah Islam, melainkan pemikiran manusia itu sendiri, yang pada konteks ini adalah umat muslim. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER