Kulon Progo, CNN Indonesia -- 15 Oktober 1951 silam, Gedung Bale Agung yang ada di komplek pemerintahan itu menjadi saksi bisu penandatanganan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1951 tentang bergabungnya dua wilayah dan menjadi satu wilayah kabupaten Kulon Progo.
Menurut Sekretaris Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Kulonprogo, Roehadi Goenoeng, ketika itu wilayah ini terbagi menjadi dua sisi, di sisi bagian utara terdapat Kabupaten Kulon Progo sebagai wilayah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Sedangkan di sisi bagian selatan terdapat Kabupaten Adikarta yang merupakan wilayah kekuasaan Kadipaten Pakualaman.
Hal ini bermula sebelum perang Diponegoro pada tahun 1831 – 1855, di daerah Naragung yang termasuk di dalam wilayah Kulon Progo belum ada pejabat pemerintahan yang menjabat di sana sebagai penguasa. Namun, daerah ini ada seorang Pepatih Ndalem. Beliau bertempat tinggal di Ibu Kota Nagara / Kutogoro yang memulai mendirikan pemerintahan di Naragung ini.
Lalu setelah perang usai, kawasan Kulon Progo terbentuk menjadi 4 kabupaten kecil antara lain Kabupaten Kalibawang (1855), Kabupaten Pengasih (1831), Kabupaten Sentolo (1831) dan Kabupaten Naggulan (1851), yang masing-masing memiliki Tumenggung/Riyo sebagai pemegang kendali.
Setelah keempat Kabupaten kecil ini terbentuk pada tahun 1912 terjadilah penggabungan keempat kabupaten kecil ini dengan nama Kabupaten Kulon Progo dan Pengasih sebagai Ibukota Kabupatennya yang dipimpin oleh seorang Bupati yaitu RT Poerbowinoto.
Menurut buku Yudokarsono, Pada tanggal 16 Februari 1927 terjadi pembagian baru pemerintahan di Kabupaten Kulon Progo yaitu bahwa Kabupaten Kulon Progo dibagi menjadi 2 Kawedanan atau Distrik dan 8 Onderdistrik. Distrik pertama adalah distrik pengasih yang meliputi onderdistrik Lendah, Sentolo, Pengasih dan Sermo/Kokap, dan distrik kedua adalah Distrik Nanggulan yang meliputi Onderdistrik Watumurah/Girimulyo, Nanggulan, Kalibawang dan Samigaluh. Pada tahun 1934 Ibukota Kabupaten Kulon Progo berpindah ke Sentolo.
Layaknya suatu wilayah pada umumnya, ada beberapa pemimpin yang pernah menjabat sebagai Bupati di Kabupaten Kulon Progo ini dari tahun 1912 hingga 1951. RT Poerbowinoto adalah Bupati pertama di Kabupaten Kulon Progo kemudian digantikan oleh KRT Notopradjarto. Bupati ketiga adalah KRT Djojodiningrat, kelima KRT Pringgodiningrat, keenam KRT Setjodiningrat dan ketujuh pada tahun 1951 Kulon Progo dikuasai oleh Bupati KRT Poerwoningrat.
Berpindah ke sisi selatan, terdapat Kabupaten Adikarta yang semula bernama Kabupaten Karangkemuning yang masuk dalam wilayah Keprajan Kejawen atau Wilayah Kabupaten Pakualaman.
Dahulu pada tahun 1813, Pangeran Notokusumo diangkat sebagai KGPAA, Paku Alam I. Daerah Pelenggah ditunjuk menjadi daerah terbesar di sebelah barat Kali Progo, daerah ini terletak di sebelah utara Pantai Samudera Selatan yang dikenal dengan nama daerah sebelah utara Pasir Urut Sewu. Karena tanah Pelenggah letaknya berpencar maka
sentono ndalem Paku Alam yang bernama Kyai Kawiredjo I memberi nasihat agar tanah Pelenggah tersebut dijadikan satu.
Setelah diberi nasihat, Pangeran Notokusumo memutuskan untuk menyatukan daerah Pelenggah yang kemudian diberi nama Kabupaten Karangkemuning dengan ibukota di Brosot yang kemudian menunjuk Tumenggung Sosrodigdojo sebagai Bupati Karangkemuning.
Setelah Tumenggung Sosrodigdojo lengser kemudian digantikan oleh R. Rijo Wosodirdjo yang memerintah Kabupaten Karangkemuning. Bupati R. Rijo Wosodirdjo pada masa kepemimpinannya mendapat perintah dari KGPAA Paku Alam V agar mengeringkan daerah rawa di Karangkemuning, yang ternyata setelah rawa tersebut kering justru menjadi daerah yang sangat subur.
Melihat hal ini Sri Paduka Paku Alam V mengganti nama Karangkemuning menjadi Adikarta pada tahun 1877 dan menunjuk Bendungan sebagai Ibukota yang kemudian pada tahun 1903 Ibukota dipindah ke Wates. Adikarta sendiri berarti “daerah yang kelewat subur” yang diambil dari bahasa Jawa; Adi (linuwih/kelewat) dan Karta (Subur Makmur).
Kabupaten Adikarta mempunyai 2 wilayah Distrik/Kawedanan yaitu Distrik Sogan dan Distrik Galur dan masing-masing Distrik tersebut meliputi 2 Kapanewon/Onderdistrik, yaitu Distrik Sogan meliputi Onderdistrik Wates dan Temon, kemudian Distrik Galur meliputi Onderdistrik Brosot dan Panjatan.
Kabupaten Adikarta pernah dipimpin oleh beberapa Bupati sampai tahun 1951 secara berurutan mulai dari Tumenggung Sosrodigdojo, Rijo Wosodirdjo, RT Surotani, RMT Djajengirawan, RMT Notosubroto, KRMT Soerjaningrat, Mr KRT Brotodiningrat dan KRT Soerjaningrat. Beliau-beliau inilah yang menjadi pemegang kemudi Kabupaten Adikarta pada saat itu.
Kabupaten yang terkenal dengan makanan khasnya geblek ini yang terletak di wilayah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kabupaten Adikarta di Wilayah Kadipaten Pakualaman bergabung menjadi satu semenjak pada tahun 1951 yang berawal dari pembicaraan antara Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan Sri Paduka Paku Alam VIII untuk menggabungkan kedua daerah ini menjadi satu Kabupaten.
Kedua pemimpin ini menghendaki wilayah ini tidak terbagi 2 daerah Istimewa di Daerah Istimewa Yogyakarta, maka pada tanggal 3 Mei 1951, dalam pembicaraan kedua pemimpin ini terdapat suatu kesepakatan untuk menggabungkan dua Kabupaten tersebut.
Sri Paku Alam VIII mengusulkan kabupaten yang baru ini nanti akan diberi nama Kabupaten Kulon Progo, sedangkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengusulkan Wates sebagai daerah Ibukota Kabupaten. Proses penggabungan ini selesai pada tanggal 28 Desember 1951 dan pada tanggal 1 Januari 1952 penggabungan ini resmi dilaksanakan.
Pemerintah Indonesia pada saat itu kemudian mengetahui adanya kesepakatan antara Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII, maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang nomor 18 Tahun 1951 yang mengatur tentang perubahan Undang-Undang nomor 15 tahun 1950 untuk penggabungan daerah-daerah di kabupaten Kulon Progo dan Adikarta dalam lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi satu dengan nama Kulon Progo yang memiliki hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada hari diundangkannya yaitu pada tanggal 15 Oktober 1951, maka dengan demikian secara yuridis formil hari jadi Kabupaten Kulon Progo adalah tanggal 15 Oktober 1951 yang disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia pada saat itu.
Perbedaan hari jadi ini menjadi permasalahan untuk menentukan satu hari jadi yang pasti untuk kabupaten yang terkenal dengan Monumen Patung Kuda Nyi Ageng Serang-nya ini. Pada tanggal 6 Juni 1985 bertempat di Gedung Kaca Kabupaten Kulon Progo dilakukan penelitian hari jadi dengan mengadakan sarasehan yang diikuti oleh peserta dari pejabat tinggi Yogyakarta dan pejabat tinggi Kulon Progo pada saat itu.
Secara garis besar penelitian ini menghasilkan beberapa alternatif tanggal hari jadi kabupaten Kulon Progo, yang pertama tanggal 1 Mei 1951 saat dimana Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyetujui kesepakatan pengabungan, kedua pada tanggal 12 Oktober 1951 ketika Undang-Undang no 18 Tahun 1951 ditetapkan, ketiga tanggal 15 Oktober 1951 ketika Undang-Undang no 18 tahun 1951 diundangkan, dan yang terakhir tanggal 1 Januari 1952 ketika dilaksanakannya penggabungan tersebut.
Dari beberapa alternatif ini, panitia pembentukan hari jadi mempertimbangan 2 alternatif yang paling cocok yaitu tanggal 1 Mei 1951 dan 15 Oktober 1951. Kemudian tim panitia pembentukan hari jadi Kulon Progo memohon restu dan petunjuk melalui surat nomor 130/3641/VII/1985 tanggal 29 Juli kepada Sri Paduka Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, Paku Alam VIII.
Kemudian surat tersebut dibalas oleh Sri Paduka Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, Paku Alam VIII. Inti dari balasan surat tersebut menetapkan bahwa hari jadi kabupaten Kulon Progo adalah tanggal 15 Oktober 1951 yaitu saat diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1951 tentang penggabungan daerah-daerah di Kulon Progo dan Adikarta yang masih berada di dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi satu dengan nama Kabupaten Kulon Progo dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 101, 1951.
Lewat penelitian dari tim penentuan hari jadi dan surat persetujuan inilah hari jadi Kabupaten Kulon Progo ditetapkan pada tanggal 15 Oktober 1951 yang hingga kini diyakini. Sekarang Kabupaten Kulon Progo semakin berkembang dengan berbagai potensi mulai dari potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan perekonomian serta dari berbagai aspek lainnya.
15 Oktober 1951 silam, Gedung Bale Agung yang ada di Kompleks Pemerintahan itu menjadi saksi bisu penandatanganan undang-undang No 18 Tahun 1951 tentang bergabungnya dua wilayah dan menjadi satu wilayah kabupaten Kulon Progo.
Menurut Sekretaris Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Kulonprogo, Roehadi Goenoeng, ketika itu wilayah ini terbagi menjadi dua sisi, di sisi bagian utara terdapat Kabupaten Kulon Progo sebagai wilayah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sedangkan di sisi bagian selatan terdapat Kabupaten Adikarta yang merupakan wilayah kekuasaan Kadipaten Pakualaman.
Hal ini bermula sebelum perang Diponegoro pada tahun 1831 – 1855 di daerah Naragung yang termasuk di dalam wilayah Kulon Progo belum ada pejabat pemerintahan yang menjabat disana sebagai penguasa. Namun, daerah ini ada seorang Pepatih Ndalem, beliau bertempat tinggal di Ibu Kota Nagara / Kutogoro yang memulai mendirikan pemerintahan di Naragung ini. Lalu setelah perang usai, kawasan kulon progo terbentuk menjadi 4 kabupaten kecil antara lain Kabupaten Kalibawang (1855), Kabupaten Pengasih (1831), Kabupaten Sentolo (1831) dan Kabupaten Naggulan (1851) yang masing-masing memiliki Tumenggung/Riyo sebagai pemegang kendali.
Setelah keempat Kabupaten kecil ini terbentuk pada tahun 1912 terjadilah penggabungan keempat kabupaten kecil ini dengan nama Kabupaten Kulon Progo dan Pengasih sebagai Ibukota Kabupatennya yang dipimpin oleh seorang Bupati yaitu RT Poerbowinoto.
Menurut buku Yudokarsono, Pada tanggal 16 Februari 1927 terjadi pembagian baru pemerintahan di Kabupaten Kulon Progo yaitu bahwa Kabupaten Kulon Progo dibagi menjadi 2 Kawedanan atau Distrik dan 8 Onderdistrik. Distrik pertama adalah distrik pengasih yang meliputi onderdistrik Lendah, Sentolo, Pengasih dan Sermo/Kokap, dan distrik kedua adalah Distrik Nanggulan yang meliputi Onderdistrik Watumurah/Girimulyo, Nanggulan, Kalibawang dan Samigaluh. Pada tahun 1934 Ibukota Kabupaten Kulon Progo berpindah ke Sentolo.
Layaknya suatu wilayah pada umumnya, ada beberapa pemimpin yang pernah menjabat sebagai Bupati di Kabupaten Kulon Progo ini dari tahun 1912 hingga 1951, RT Poerbowinoto adalah Bupati pertama di Kabupaten Kulon Progo kemudian digantikan oleh KRT Notopradjarto. Bupati ketiga adalah KRT Djojodiningrat, kelima KRT Pringgodiningrat, keenam KRT Setjodiningrat dan ketujuh pada tahun 1951 Kulon Progo dikuasai oleh Bupati KRT Poerwoningrat.
Berpindah ke sisi selatan, terdapat Kabupaten Adikarta yang semula bernama Kabupaten Karangkemuning yang masuk dalam wilayah Keprajan Kejawen atau Wilayah Kabupaten Pakualaman.
Dahulu pada tahun 1813 Pangeran Notokusumo diangkat sebagai KGPAA, Paku Alam I.
Daerah Pelenggah ditunjuk menjadi daerah terbesar di sebelah barat Kali Progo, daerah ini terletak di sebelah utara Pantai Samudera Selatan yang dikenal dengan nama daerah sebelah utara Pasir Urut Sewu. Karena tanah Pelenggah letaknya berpencar maka sentono ndalem Paku Alam yang bernama Kyai Kawiredjo I memberi nasihat agar tanah Pelenggah tersebut dijadikan satu. Setelah diberi nasihat, Pangeran Notokusumo memutuskan untuk menyatukan daerah Pelenggah yang kemudian diberi nama Kabupaten Karangkemuning dengan ibukota di Brosot yang kemudian menunjuk Tumenggung Sosrodigdojo sebagai Bupati Karangkemuning.
Setelah Tumenggung Sosrodigdojo lengser kemudian digantikan oleh R. Rijo Wosodirdjo yang memerintah Kabupaten Karangkemuning. Bupati R. Rijo Wosodirdjo pada masa kepemimpinannya mendapat perintah dari KGPAA Paku Alam V agar mengeringkan daerah rawa di Karangkemuning, yang ternyata setelah rawa tersebut kering justru menjadi daerah yang sangat subur. Melihat hal ini Sri Paduka Paku Alam V mengganti nama Karangkemuning menjadi Adikarta pada tahun 1877 dan menunjuk Bendungan sebagai Ibukota yang kemudian pada tahun 1903 Ibukota dipindah ke Wates. Adikarta sendiri berarti “daerah yang kelewat subur” yang diambil dari bahasa Jawa; Adi (linuwih/kelewat) dan Karta (Subur Makmur).
Kabupaten Adikarta mempunyai 2 wilayah Distrik/Kawedanan yaitu Distrik Sogan dan Distrik Galur dan masing-masing Distrik tersebut meliputi 2 Kapanewon/Onderdistrik, yaitu Distrik Sogan meliputi Onderdistrik Wates dan Temon, kemudian Distrik Galur meliputi Onderdistrik Brosot dan Panjatan.
Kabupaten Adikarta pernah dipimpin oleh beberapa Bupati sampai tahun 1951 secara berurutan mulai dari Tumenggung Sosrodigdojo, Rijo Wosodirdjo, RT Surotani, RMT Djajengirawan, RMT Notosubroto, KRMT Soerjaningrat, Mr KRT Brotodiningrat dan KRT Soerjaningrat. Beliau-beliau inilah yang menjadi pemegang kemudi Kabupaten Adikarta pada saat itu.
Kabupaten yang terkenal dengan makanan khasnya geblek ini yang terletak di wilayah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kabupaten Adikarta di Wilayah Kadipaten Pakualaman bergabung menjadi satu semenjak pada tahun 1951 yang berawal dari pembicaraan antara Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan Sri Paduka Paku Alam VIII untuk menggabungkan kedua daerah ini menjadi satu Kabupaten. Kedua pemimpin ini menghendaki wilayah ini tidak terbagi 2 daerah Istimewa di Daerah Istimewa Yogyakarta, maka pada tanggal 3 Mei 1951, dalam pembicaraan kedua pemimpin ini terdapat suatu kesepakatan untuk menggabungkan dua Kabupaten tersebut.
Sri Paku Alam VIII mengusulkan kabupaten yang baru ini nanti akan diberi nama Kabupaten Kulon Progo, sedangkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengusulkan Wates sebagai daerah Ibukota Kabupaten. Proses penggabungan ini selesai pada tanggal 28 Desember 1951 dan pada tanggal 1 Januari 1952 penggabungan ini resmi dilaksanakan.
Pemerintah Indonesia pada saat itu kemudian mengetahui adanya kesepakatan antara Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII, maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang nomor 18 Tahun 1951 yang mengatur tentang perubahan Undang-Undang nomor 15 tahun 1950 untuk penggabungan daerah-daerah di kabupaten Kulon Progo dan Adikarta dalam lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi satu dengan nama Kulon Progo yang memiliki hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada hari diundangkannya yaitu pada tanggal 15 Oktober 1951, maka dengan demikian secara yuridis formil hari jadi Kabupaten Kulon Progo adalah tanggal 15 Oktober 1951 yang disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia pada saat itu.
Perbedaan hari jadi ini menjadi permasalahan untuk menentukan satu hari jadi yang pasti untuk kabupaten yang terkenal dengan Monumen Patung Kuda Nyi Ageng Serang-nya ini.
Pada tanggal 6 Juni 1985 bertempat di Gedung Kaca Kabupaten Kulon Progo dilakukan penelitian hari jadi dengan mengadakan sarasehan yang diikuti oleh peserta dari pejabat tinggi Yogyakarta dan pejabat tinggi Kulon Progo pada saat itu. Secara garis besar penelitian ini menghasilkan beberapa alternatif tanggal hari jadi kabupaten Kulon Progo, yang pertama tanggal 1 Mei 1951 saat dimana Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyetujui kesepakatan pengabungan, kedua pada tanggal 12 Oktober 1951 ketika Undang-Undang no 18 Tahun 1951 ditetapkan, ketiga tanggal 15 Oktober 1951 ketika Undang-Undang no 18 tahun 1951 diundangkan, dan yang terakhir tanggal 1 Januari 1952 ketika dilaksanakannya penggabungan tersebut.
Dari beberapa alternatif ini, panitia pembentukan hari jadi mempertimbangan 2 alternatif yang paling cocok yaitu tanggal 1 Mei 1951 dan 15 Oktober 1951. Kemudian tim panitia pembentukan hari jadi Kulon Progo memohon restu dan petunjuk melalui surat nomor 130/3641/VII/1985 tanggal 29 Juli kepada Sri Paduka Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, Paku Alam VIII.
Kemudian surat tersebut dibalas oleh Sri Paduka Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, Paku Alam VIII. Inti dari balasan surat tersebut menetapkan bahwa hari jadi kabupaten Kulon Progo adalah tanggal 15 Oktober 1951 yaitu saat diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1951 tentang penggabungan daerah-daerah di Kulon Progo dan Adikarta yang masih berada di dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi satu dengan nama Kabupaten Kulon Progo dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 101, 1951.
Lewat penelitian dari tim penentuan hari jadi dan surat persetujuan inilah hari jadi Kabupaten Kulon Progo ditetapkan pada tanggal 15 Oktober 1951 yang hingga kini diyakini. Sekarang Kabupaten Kulon Progo semakin berkembang dengan berbagai potensi mulai dari potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan perekonomian serta dari berbagai aspek lainnya.
(ded/ded)