Jakarta, CNN Indonesia -- Saya kemarin berkesempatan mengikuti
talkshow dengan “Tema Melindungi Anak dari
Cyber Bullying”, di mana diberikan penjelasan mengenai apa itu
bullying. Bagaimana bisa terjadi. Siapa yang bisa jadi potensial target untuk jadi korban
bullying, ataupun gejala bagaimana seorang anak bisa jadi seorang pem-
bully.
Jadi teringat kejadian saat Sekolah Dasar. Dulu belum ada istilah
bullying. Hanya ada pertengkaran antar teman sekelas saja. Kalau dulu menyebutnya sebagai musuh. Di mana ada seorang teman paling pintar di kelas yang selalu juara kelas dan disegani oleh teman teman sekelas.
Lalu dia mulai mengatur siapa saja yang boleh main karet, main dampu, main bentengan dan lain-lain. Saya tidak suka diatur oleh sang juara, sehingga mulai dijauhi oleh teman teman yang segan dengannya.
Saya hanya punya beberapa teman saja yang sama tidak mau diaturnya. Sering, ketika pulang ke rumah saya menangis karena tidak diajak bermain oleh teman-teman, yang sebenarnya dekat dengan saya tapi segan dengan juara kelas itu.
Suatu hari keluarga saya pindah rumah dekat juara kelas itu. Sebagai anak saya tidak bisa protes ke orangtua. Setelah sempat khawatir tidak dapat teman karena pengaruh juara kelas itu, ternyata di lingkungan rumah dia agak berbeda dengan saat di kelas.
Teman-teman di sana justru tidak tahu kalau dia juara kelas. Saya pun mendapat banyak teman di lingkungan baru saya.
Malahan saya jadi berteman baik dengan kakak dari ‘musuh’ saya itu. Saya jadi sering ke rumahnya untuk bermain. Akhirnya jadi bertegur sapa. Baru tahu kalau kami ternyata punya hobi yang sama. Setelahnya kami jadi berteman baik bahkan bersahabat sampai sekarang.
Saya justru salut mengapa musuh saya itu jadi juara kelas terus karena memang rajin sekali belajar, rajin membantu orangtua di rumah dan juga rajin menjalankan ibadahnya.
Saya bersyukur keluarga saya pindah dekat rumahnya. Seandainya keluarga saya tidak pernah pindah dekat rumahnya mungkin saya akan terus bermusuhan dengannya. Terus pulang menangis karena teman teman yang lain tidak berani dekat dengan saya yang dianggap selalu menentangnya di kelas. Saya mendapatkan seorang sahabat baik sampai sekarang.
Saya tidak mengatakan dia mem-
bully saya, karena sepengetahuan saya saat itu bahwa dia hanya musuh saya. Tidak ada rasa dendam juga di hati saya karena memang saya tidak merasa sedang di-
bully saat itu. Hanya pertengkaran terus menerus antar anak-anak.
Saat ini saya juga punya seorang anak di Sekolah Dasar yang pernah mengalami juga di-
bully oleh seorang temannya di kelas. Di-
bully secara verbal sampai mengajak anak-anak lainnya, yang sebenarnya juga teman baik anak saya untuk ikut mengejek.
Saya hanya minta ke wali kelas untuk menegur supaya tidak berulang lagi, karena pengaruhnya sudah sampai ke minat belajar anak saya.
Sempat terhenti kemudian berulang lagi beberapa bulan kemudian. Kali ini saya minta kepala sekolah untuk turun tangan karena saya bilang, anak yang sering di-
bully lama lama akan jadi pem-
bully, karena dia pasti akan berontak dan kemudian jadi membalas.
Saya enggak mau anak saya jadi pem-
bully suatu hari kelak karena sering di-
bully temannya, jadi tolong dihentikan sejak sekarang. Sekolah akhirnya memberikan bimbingan dan perhatian untuk anak itu.
Sebagai orangtua kita tidak boleh menegur apalagi memarahi langsung anak yang bersangkutan yang adalah anak orang lain. Harus melalui pihak sekolah sebagai pihak yang berkewajiban terhadap anak didiknya.
Anak saya secara fisik juga tidak kecil. Tetapi dia selalu saya ajarkan untuk tidak membalas perbuatan temannya. Saya hanya minta anak saya terbuka kepada saya sebagai ibunya bila dia menemukan ada teman atau di sekitarnya yang membuatnya tidak nyaman.
Saya selalu bilang ke anak saya: “Kak, kamu tahu gajah kan besar? Ibu yang sedang marah untuk membela anaknya bisa mengalahkan gajah loh.” Mungkin lebay (berlebihan) sekali yang saya bilang ke anak saya, tapi itu memberikan jaminan bahwa anak saya tidak perlu takut untuk memberitahu ke orangtuanya bila ada yang membuatnya tidak nyaman, menyakiti atau mengancamnya.
Selebihnya anak saya tetap saya suruh untuk ramah dan baik ke semua temannya termasuk ke teman yang sudah mem-
bully. Anak itu sekarang jadi baik sekali ke anak saya. Memang mereka bukan bersahabat tetapi paling tidak anak saya sudah tidak punya lagi yang namanya musuh di sekolahnya. Semuanya teman baik.
Yang saya bagikan ini hanya pengalaman
bullying dan bagaimana mengatasinya.
Bullying tidak akan bisa langsung hilang begitu saja. Bisa terjadi kapan saja dan di mana saja dengan teman dan lingkungan yang berbeda.
Tetapi sebagai orangtua kita tetap harus terlibat aktif dalam melihat bila ada perubahan sikap pada anak kita. Ajak mereka untuk terbuka dan cerita pada kita. Dan bisa meyakinkan anak kita bahwa tetap ada orangtuanya yang akan mendukungnya bahwa akan ada solusi tanpa harus anak kita membalas.
Bila
bullying terjadi di sekolah ajak pihak sekolah untuk mengatasinya memberi bimbingan untuk anak anak didiknya. Juga bisa libatkan komunitas komunitas yang memang
concern dalam membantu mengatasi atau menghentikan
bullying.
(ded/ded)