Jakarta Selatan, CNN Indonesia -- Korban
bullying biasanya ada ciri khasnya. Terlihat lemah, kurang percaya diri, postur tubuh kecil, tidak bisa bersosialisasi. Ini adalah beberapa tanda sikap awal anak yang biasa di-
bully.
Pem-
bully tidak sembarang mem-
bully, tapi memilih korban.
Begitu paparan ibu Elizabeth Santosa, salah satu narasumber pada acara
community gathering Brunch at Newsroom bersama CNN Indonesia Student dengan tema “Melindungi Anak dari
Cyber Bullying” di kantor CNNIndonesia.com, Selasa (31/5).
Mengantisipasi hal itu, lanjut psikolog ini, kita sebagai orangtua atau guru bisa mengurangi peluang
bullying dengan mengajarkan anak bersikap tidak membuka peluang
bullying, dengan membangun
self esteem, dan lain-lain.
Saya tercenung mendengar penjelasan tersebut. Setuju sepenuhnya, sebenarnya.
Tapi, tetap ada yang membuat miris. Apakah anak yang terlahir berpostur kecil, karakter unik, sedikit berbeda dari temannya, harus bersiap diri menerima
bullying? Apakah mereka yang harus berubah?
Apalagi di masyarakat mereka dihakimi: “Korbannya juga salah sih, lemah, engga bisa berteman, atau engga mampu melawan, dan lain-lain. Harus mau mengadu dong, lawan, dan lain-lain.”
Menurut saya, TIDAK BOLEH ada alasan untuk
bullying. Sekali lagi, tidak ada alasan apa pun untuk
bullying!
Bagaimanapun kondisi lemah si anak, dia tidak boleh disalahkan bila menerima perlakukan
bullying! Mereka layak menjalani kehidupan sesuai karakter dan kenyamanan yang mereka pilih.
Pem-
bully yang harus disalahkan sepenuhnya dan harus menerima konsekuensi. Sistem masyarakat harus mengajarkan
bullying adalah hal buruk, sama seperti kriminal.
Tidak boleh ada
bullying, walaupun ada orang yang lemah atau sangat 'pantas' di-
bully. Karena semua manusia adalah unik dan tidak ada yang berhak menekan kehidupannya.
(ded/ded)