Jakarta, CNN Indonesia -- Kisah Ciara Pugsley (15 tahun) dan Rebecca Sedwick (12 tahun), sungguh tragis. Tak tahan dengan
bullying yang mereka terima melalui media sosial, keduanya memilih mengakhiri hidupnya.
Begitu juga dengan Hannah Smith (14 tahun) dari Inggris. Dia tidak tahan di-
bully dan akhirnya memilih bunuh diri.
Jauh sebelum media sosial berkembang,
bullying sebenarnya juga sudah marak terjadi. Setelah media sosial berkembang ini menjadikan
bullying semakin massif.
Pelaku
bullying dapat melakukannya lintas wilayah dan pelaku
bullying dapat menyembunyikan identitas asli mereka, seperti yang dialami oleh mendiang Hannah Smith. Menyeramkan...
Baru-baru ini dunia media sosial tanah air digemparkan dengan kasus siswi SMA yang terekam perilakunya. Saat itu mobil yang ia dan kawan-kawannya tumpangi dihentikan oleh seorang Polwan, dan siswi tersebut mengaku sebagai anak salah satu petinggi di kepolisian.
Tidak lama video rekaman tersebut tersebar luas hingga menjadi perhatian tersendiri dari masyarakat dan media konvensional. Hasilnya siswi tersebut mengalami gangguan sosial. Menurut pengakuan sang ibu ia mengalami ketakutan. Bahkan lebih dari itu, tidak lama kemudian sang ayah meninggal dunia.
Terlepas dari kematian ayahnya terkait atau tidak dengan pemberitaan di media sosial dan media konvensional, patut diajukan satu pertanyaan untuk kita. Apakah anda sudah puas dengan penderitaan yang dialami keluarga tersebut?
Bila ada orang, yang dianggap melanggar norma sosial, mengapa kita tiba-tiba menjadi pengadil? Haruskah kasus tewasnya Ciara Pugsley, Rebecca Sedwick, dan Hannah Smith, terjadi di sini, baru bisa menghentikan langkah kita untuk menjadi pengadil?
Untuk itu bagi kita yang menentang
bullying dan menjunjung keadilan. Sudah semestinya kita tidak menjadi bagian dari ‘pembunuh’ di dunia maya dengan menghindari menjadi pengadil dan penyebar virus pesan yang mengandung kebencian di Internet.
(ded/ded)