Surabaya, CNN Indonesia -- Selama perkembangannya, perguruan tinggi tidak dapat lepas dari pandangan masyarakat sebagai sebuah “kawah candradimuka”. “Kawah candradimuka” di sini diartikan sebagai sebuah ladang ilmu yang dapat menempa mahasiswa untuk memiliki karakter yang berbudidaya, merujuk kepada nilai Tri Dharma dari perguruan tinggi itu sendiri, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat. Pandangan-pandangan atau impresi-impresi masyarakat pada perguruan tinggi tersebut semata-mata karena mereka memiliki harapan terhadap mahasiswa sebagai lulusan dari perguruan-perguruan tinggi tersebut untuk dapat menjadi tonggak perubahan dalam membela kepentingan masyarakat.
Lalu pertanyaan yang kemudian muncul adalah, sampai ukuran mana mahasiswa dapat dinyatakan sebagai tonggak perubahan tersebut?
Pada zaman reformasi, mahasiswa cenderung melakukan pergerakan perubahan melalui aksi-aksi demonstrasi sebagai ukuran mereka untuk menyatakan keberadaan atau eksistensi diri. Setiap pergerakan yang mereka lakukan semata-mata untuk memperjuangkan idealisme dari kehidupan berbangsa dan bernegara itu sendiri. Mahasiswa sangat berpihak terhadap petani dan buruh, hingga pada setiap kesempatan digelarnya aksi, mereka berani menentang kebijakan-kebijakan politik yang telah ditetapkan oleh kapitalis. Mahasiswa seperti sudah muak dengan sistem kehidupan yang mengagung-agungkan materialisme semata, dan tidak mengedepankan kesadaran akan cita-cita kemerdekaan bersama. Merdeka dari kemiskinan, kebodohan, dan kepasifan.
Jika dikritisi lebih lanjut dengan pernyataan dari salah satu pengamat politik Indonesia, Arbi Sanit, dalam Uhlin (1998, 111): "Aksi-aksi mahasiswa tersebut lebih bestandar pada konsep-konsep strukturalis dan sosialis kemasyarakatan". Konsep-konsep strukturalis disini dapat diartikan sebagai sudut pandang mahasiswa yang menjustifikasi segala hal berstandar dari struktur sosial yang ada atau dari tatanan hierarki yang ada pada dinamika kehidupan bernegara.
Akan tetapi, kemudian mulai muncul penilaian-penilaian yang mencoba mengkaji kembali pergerakan aksi yang dipelopori oleh mahasiswa tersebut. Mulai muncul kritik-kritik yang menyudutkan, dengan alasan bahwa pergerakan aksi tersebut sudah tidak terlalu relevan jika dilakukan pada saat ini, terutama dengan iklim politik yang sudah terbuka dan dinamis. Pasalnya, mahasiswa saat ini adalah mahasiswa yang hidup pada era pasca reformasi, jauh dari sifat politik yang tertutup atau serba kapitalis. Mahasiswa tidak harus melulu menjadikan pergerakan aksi sebagai jalan keluar satu-satunya dari segala polemik permasalahan yang ada di negara ini. Mahasiswa dapat menggunakan pendekatan-pendekatan solusi lainnya yang dinilai lebih efektif dalam menyelesaikan masalah, seperti debat terbuka yang dilakukan secara intelektual ataupun hal-hal serupa. Bahkan dalam menyuarakan aspirasi mereka, sudah semakin banyak alternatif-alternatif sarana yang dapat dimanfaatkan.
Namun, setelah hampir 18 tahun masa reformasi berlalu, segala sanjungan yang melekat pada mahasiswa sebagai tonggak perubahan, pada realitanya semakin menjauh dari yang telah diekspektasikan oleh masyarakat luas. Mahasiswa pada masa kini cenderung lebih asyik dengan posisinya sebagai konsumen, yang hanya bisa menelan mentah-mentah segala produk teknologi terbarukan, hingga hilang semangat untuk mengkritisi segala hal yang terjadi di sekitarnya. Kemampuan nalar mahasiswa seperti meredup, terlihat dari gerakan-gerakan mahasiswa yang tersandera pada isu-isu elit dan tidak lebih hanya bertujuan untuk menyetir media massa nasional tanpa mengetahui apa sebenarnya yang menjadi pokok permasalahan dasar.
Padahal, menurut Effendy (2008, 190), "Membangkitkan daya nalar individual (
the individual power of reason) sebagai dasar yang paling menentukan dari kemampuan berpikir analitis dan sintetis, adalah tanggung jawab esensial dari mahasiswa". Walaupun memang benar, untuk menyuarakan aspirasi rakyat tidak harus selalu dengan pergerakan-pergerakan aksi seperti yang dilakukan oleh mahasiswa pada masa reformasi. Namun, dengan segala kemudahan yang dimiliki oleh mahasiswa saat ini, entah itu kemudahan dalam hal sarana mengakses informasi apapun, ataupun juga kemudahan dalam menyuarakan aspirasi mereka, mahasiswa malah tidak menelurkan karya-karya baru ataupun pergerakan-pergerakan baru, mahasiswa seakan mati dengan segala ketermudahan itu.
Inilah yang kemudian menjadi refleksi kita bersama, sebagai masyarakat pada umumnya dan mahasiswa khususnya. Paradigma akan mahasiswa seperti ini harus segera dirubah. Mahasiswa harus mampu membangun kembali, bahkan jika bisa melampaui perjuangan atas nama politik rakyat yang telah dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa terdahulu. Mahasiswa harus bisa bersikap tegas, kritis, dan solutif dalam membuat kritisan-kritisan atau strategi-strategi pergerakan baru dengan tidak melupakan moral yang mendasari dari itu semua. Agar mahasiswa yang sejak dulu sudah diharap-harapkan sebagai tonggak perubahan negara, pada akhirnya dapat memenuhi ekspektasi masyarakat tersebut dengan tidak menyerah pada idealisme yang membentuk mahasiswa itu sendiri.
(ded/ded)