Jakarta, CNN Indonesia -- Setiap tanggal 1 Mei diperingati sebagai May Day atau hari buruh. Di Bandung, pada awal Mei lalu, peringatan ini ditandai dengan unjuk rasa gabungan antara elemen buruh dan mahasiswa.
Di antara rombongan buruh tampak perwakilan mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Telkom University, dan kampus lainnya.
Ada alasan tertentu di balik aksi bersama itu. Kampus, menurut saya, biasa melahirkan buruh prematur. Bagaimana bisa begitu?
Beberapa waktu lalu ada aksi penolakan kebijakan masa studi lima tahun oleh mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Itu bukan tanpa alasan logis. Kebijakan itu akan menciptakan buruh-buruh prematur.
Lulusan kampus akan menjadi pekerja yang belum siap total untuk berhadapan dengan dunia kerja yang sesungguhnya.
Hal itu pun dirasakan oleh Muhammad Ariq Andarmesa, Kepala Departemen Hubungan Eksternal Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran (Unpad). Ia menjadi motor penggerak aksi mahasiswa Unpad dan beberapa kampus lain pada May Day lalu.
Menurutnya, kampus selaku institusi yang akan membentuk pekerja dengan intelektualitas dan kemampuan yang mumpuni, menurutnya terlalu mengefisienkan waktu studi. “Sekarang universitas kita sudah terkapitalisasi, logika korporasi sudah menyelimuti kampus. Ketika mahasiswa menjadi objek, birokrasi menjadi subjek yang dapat mengatur mahasiswanya,” kata Ariq.
Ia menilai, seharusnya universitas berfungsi mendidik, “memanusiakan” manusia. Batasan masa studi lima tahun, kemudian jika tak selesai akan di-drop out, dirasa kurang adil. “Dipaksa untuk cepat lulus, lalu yang tak memenuhi kualifikasi, ya, dibuang saja,” celetuknya.
Benefit Lulus Tak Tepat WaktuKetika segalanya dipaksakan, maka akan melahirkan hasil yang apa adanya, tidak total, dan penuh kesalahan. Bayangkan jika ini terjadi di kampus-kampus Indonesia. Kampus memiliki fungsi utama membentuk lulusan yang siap “dilempar” ke dunia kerja. Dengan batasan studi empat hingga lima tahun, mahasiswa akan dituntut untuk menyelesaikan studi dengan cepat, padahal kemampuan menyerap materi pada setiap individu berbeda-beda. Akankan lulusan sepenuhnya siap kerja?
Ketika masa studi dibatasi, mahasiswa akan menjadi pragmatis. Lebih mementingkan hal praktis di samping manfaatnya. Tak terhindarkan kenyataan bahwa saat ini mahasiswa lebih mencari nilai yang tinggi dibanding kemampuan yang mumpuni. Akhirnya lahir sikap academic dishonesty atau kecurangan akademik (Lambert, Hogan, dan Barton; 2003). Menghalalkan segala cara, dari penyajian data palsu, plagiarisme hingga membeli skripsi, demi segera merasakan wisuda.
Batasan waktu memang perlu, tapi itu hanya sebagai patokan, tidak menjadi suatu kewajiban. Lagipula banyak keuntungan yang bisa diraih oleh mereka yang lulus tak tepat waktu daripada lulusan lain. Dilansir dari idntimes.com, benefit yang didapat ketika tidak lulus kuliah tepat waktu adalah pengalaman yang lebih banyak dan berharga untuk masa depan, kemampuan yang lebih matang, lebih banyak mendapatkan relasi, dan perencanaan masa depan yang lebih terarah.
Memang bangga rasanya apabila bisa lulus tepat waktu atau bahkan lulus lebih cepat. Tapi apakah sama bangganya ketika di dunia kerja, kemampuan yang kita asah selama masa perkuliahan yang lebih lama itu lebih baik dan lebih siap? Saya tidak mengajak mahasiswa untuk mengambil studi lebih lama, tapi sesuaikanlah dengan kemampuan dan jangan memaksakan untuk segera keluar dari kampus.
(ded/ded)