Surabaya, CNN Indonesia -- Visi kemaritiman pemerintahan Joko Widodo rupanya membawa angin segar bagi kelautan nusantara. Jujur diakui, Indonesia memang sangat kaya dalam hal sumber daya alam. Bentangan pulau dari Sabang hingga Merauke menyimpan kekayaan dan pesona eksotisme tersendiri. Kekayaan alam negeri ini pun telah digambarkan secara lugas dalam lirik lagu “Kolam Susu” yang disenandungkan oleh grup band legendaris Koes Plus. “Bukan lautan hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu.” Dalam penggalan lagu tersebut terdengar jelas bahwa negeri ini sebenarnya menyimpan begitu besar potensi kekayaan alam lautnya.
Memang, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki wilayah laut seluas 5,9 juta km2. Terdiri dari wilayah teritorial sebesar 3,2 juta km2 dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia 2,7 juta km2. Selain itu, terdapat 17.504 pulau di Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181 km. Melihat betapa luas cakupan kelautan bumi pertiwi ini, tentu saja kemaritiman Indonesia menyimpan keanekaragaman alam yang begitu potensial bagi kesejahteraan masyarakat. Menurut direktur Indonesia Maritime Institute (IMI) Dr. Yulius Paonganan, M.Sc, potensi laut Indonesia mencapai enam kali lipat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Totalnya tak kurang dari Rp 7.200 triliun. Namun, realita mengatakan berkah melimpah ini ternyata belum bisa membawa ± 250 juta penduduk Indonesia menuju gerbang kesejahteraan. Mengapa ironi tersebut dapat terjadi di negeri ini?
Sejumlah “Pukat Penghambat”
Tentu masih segar diingatan, beberapa waktu lalu laut kita di kawasan Natuna “disatroni” kapal dari Negeri Tirai Bambu. Tujuannya apa lagi jika bukan untuk menjaring ikan-ikan di kawasan ZEE kita. Untung saja, menteri nyentrik Susi Pudjiastuti beserta para pasukannya segera bertindak. Rasanya tak heran apabila Natuna menjadi kawasan favorit bagi banyak negara tetangga. Beragam jenis ikan bernilai tinggilah yang menjadi magnet penarik kapal-kapal asing untuk mengusik kedaulatan maritim kita.
Praktik-praktik pencurian ikan itulah yang masih menjadi jeratan pukat penghambat kebangkitan maritim kita yang dahulu pernah berjaya. Belum selesai bicara soal pencurian ikan, masalah ketimpangan infrastruktur kelautan antara daerah barat dan timur pun meruak. Tak hanya itu, masalah rendahnya tingkat ekspor perikanan Indonesia juga menjadi persoalan serius. Ekspor perikanan kita dikabarkan hanya senilai 3,34 miliar dollar Amerika per tahun. Angka ini tentu saja jauh lebih kecil dibandingkan dengan Vietnam yang menyentuh angka 25 miliar dollar Amerika per tahun. Ironis memang, tingkat ekspor perikanan Indonesia, ternyata jauh lebih rendah dibanding Vietnam yang luas lautnya saja hanya seperduapuluhtiga dari lautan Indonesia.
Sementara itu, pekerjaan rumah mendesak lain berkaitan dengan sejumlah “pukat penghambat” yang harus segera diselesaikan adalah soal eksistensi nelayan-nelayan nusantara. Seperti kita ketahui, nelayan adalah “aktor” utama dalam mewujudkan kejayaan maritim nusantara. Di tangan para nelayan potensi perikanan yang besar ini dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Namun, faktanya tidak demikian. Jeratan serius “pukat penghambat” di negeri yang pernah memiliki semboyan “Jalesveva Jayamahe” (Di Laut Kita Jaya) terus menimpa nelayan-nelayan kita. Kesejahteraan bagi mereka rasanya masih sulit terwujud.
Saatnya Kita Bersinergi
Memotret carut marutnya sejumlah “pukat penghambat” kemaritiman nusantara di atas, Di sinilah peran pemerintah selaku pembuat kebijakan wajib bertindak. Perlu adanya “tembakan-tembakan” jitu dari kementerian dan dinas-dinas terkait untuk mengurai masalah ini. Mulai dari menegakkan kedaulatan maritim, peningkatan ekspor hasil produk kelautan, hingga mewujudkan eksistensi nelayan nusantara. Jangan sampai kekayaan laut kita dikeruk oleh bangsa lain. Selain menjadi tanggung jawab pemerintah, kita sebagai masyarakat Indonesia pun wajib bersinergi menjaga kekayaan laut negeri ini. Terutama untuk para generasi muda, sudah saatnya kita berkontribusi nyata untuk nusantara. Ide-ide kreatif dan inovatif harus terus dicanangkan dan direalisasikan. Kini, saatnya bersama-sama kita wujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Lucky Christian, Mahasiswa Baru Universitas Airlangga Surabaya
Jurusan Ilmu Komunikasi
(ded/ded)