Maaf dan Tragedi Hillsborough

Reza Pahlevi | CNN Indonesia
Rabu, 29 Jun 2016 19:15 WIB
Masih perlukah kata maaf diutarakan? Atau memberi maaf? Atau menuntut seseorang untuk meminta maaf?
Ilustrasi (Thinkstock/John Howard)
Jakarta, CNN Indonesia -- Masih perlukah kata “maaf” diutarakan? Atau memberi maaf? Atau menuntut seseorang untuk meminta maaf?

Goenawan Muhammad, dalam Catatan Pinggir-nya di majalah Tempo edisi 25 April 2016, sempat menuliskan perkara hal ini (https://www.tempo.co/read/caping/2016/04/25/130322/maaf). GM, sapaan akrabnya, mengutip Derrida untuk membentuk opini publik bahwa “maaf” itu selalu diikuti dengan hal-hal yang, pada akhirnya, malah mendegradasi nilai “maaf” itu sendiri.

Ketika Simposium Tragedi 1965-1966 yang diadakan hanya menjadi ajang berdalih oleh tokoh-tokoh untuk menghindar meminta maaf, GM memberikan solusi yang paling paten untuk keluarga para korban tragedi 1965. Melalui esainya yang berjudul “Maaf” itu, ia menawarkan wacana yang, menurut saya, merendahkan perjuangan keadilan hak asasi manusia (jika ada) di Indonesia. GM menuliskan, seharusnya korban yang memberi maaf, entah itu diminta atau tidak.

Tidak, saya tidak akan membahas bagaimana seharusnya “On Forgiveness”-nya Derrida diinterpretasi. Akan tetapi, yang ingin saya tanyakan adalah: Apa dengan memberi maaf, entah dengan diminta atau tidak, keadilan akan ditegakkan? Atau hanya jadi Apa dengan korban memberi maaf lantas negara bebas melenggang kangkung tanpa menegakkan keadilan yang sebenarnya sudah dituntut oleh ratus ribuan bahkan jutaan korban sekaligus keluarga korban sejak entah kapan?

Yang terpenting adalah, haruskah korban beserta keluarga korban benar-benar memberi maaf tanpa keadilan ditegakkan? ***
Di sisi lain dunia, sebuah kabar gembira diiringi lantunan paling magis You’ll Never Walk Alone terjadi. 26 April 2016, kebenaran yang dicari-cari sejak tahun 1989 pun akhirnya terkuak. Kebenaran itu adalah 96 orang yang meninggal di Hillsborough pada 15 April 27 tahun yang lalu telah terbunuh secara ilegal. Setelah ditutup-tutupi bertahun-tahun, Pengadilan Inggris pun akhirnya mendapatkan kebenarannya dalam penyelidikan yang berlangsung selama dua tahun – penyelidikan terlama dalam sejarah Pengadilan Inggris.

Lantas, bagaimana bisa orang-orang yang pergi ke lapangan sepakbola tanpa kembali ini dibuktikan terbunuh secara ilegal? Pengadilan Inggris pun mengajukan 14 pertanyaan untuk membuktikan ketidakbersalahan pendukung Liverpool pada hari itu. Bukti-bukti tersebut juga membantah tuduhan kepada pendukung Liverpool yang dilayangkan bertahun-tahun.

Beberapa bukti menyalahkan pihak-pihak lain yang sebelumnya bahkan tidak bertanggung jawab terhadap terjadinya kejadian ini. South Yorkshire Police, misalnya, dianggap lalai karena mengabaikan beberapa perintah dalam memandu masuknya penonton ke dalam stadion. Di hari kejadian itu, tidak ada instruksi khusus untuk mengatur penonton yang berada di luar pintu masuk juga tidak ada perintah untuk mengatur dan mengawasi tribun sekaligus siapa yang bertanggung jawab dalam pengawasan tribun.

Selain abainya mereka tersebut, South Yorkshire Police juga terlambat dalam penanganan besarnya angka penonton yang datang. Mereka juga tidak menyiapkan rencana khusus apabila hal ini (besarnya angka penonton) terjadi. Kepolisian juga terlambat dalam menentukan hal ini sebagai “Major Incident” sehingga bantuan beserta ambulans datang terlambat.

Kejadian juga disebabkan oleh rendahnya standar keselamatan stadium Hillsborough saat kejadian berlangsung. Saat sertifikasi keselamatan diserahkan setelah bagian Leppings Lane diadakan renovasi, terjadi miskalkulasi dalam penentuan kapasitas penonton yang dapat ditampung di Hillsborough. Hal ini menyebabkan jumlah penonton yang melebihi ambang batas keselamatan stadium.

Sheffield Wednesday, klub pemilik Hillsborough, pun tidak luput dari kesalahan. Klub tidak menyetujui rencana untuk membuka pintu masuk di setiap tribun, klub juga tidak bekerja sama dengan pihak kepolisian terkait dengan rencana darurat, dan terakhir terdapat informasi yang menyesatkan dalam penjualan tiket semifinal Piala FA yang mempertemukan Liverpool dan Nottingham Forest itu.

Bukti-bukti yang disampaikan di pengadilan juga membebaskan pendukung Liverpool dari tuduhan-tuduhan tidak adil yang telah mereka terima selama 27 tahun terakhir ini. Tuduhan-tuduhan tersebut seperti pendukung Liverpool yang masuk tanpa tiket, pendukung yang mabuk ketika masuk stadium, pendukung yang menyebabkan kejadian terjadi, dan pendukung memaksa membuka gerbang keluar – yang sebenarnya dibuka oleh South Yorkshire Police. Tuduhan dari The S*n yang mengatakan bahwa pendukung Liverpool mencuri dari orang-orang yang meninggal juga dipatahkan.

Kebenaran yang akhirnya terkuak ini adalah hasil perjuangan keluarga korban beserta segenap penduduk Liverpool yang percaya bahwa penonton yang pergi dan tak kembali pada 15 April 1989 itu tidak bersalah. Kenny Dalglish, pelatih Liverpool saat peristiwa naas itu terjadi, pun berkata, “Untuk semua orang yang berkaitan dengan Liverpool, ini adalah hasil yang fantastis. Hanya sungguh disayangkan dibutuhkan waktu 27 tahun untuk hal ini terkuak.”

Dan, tidak, sebelum kebenaran terkuak, mereka tidak pernah memberi maaf.

***

Selain menjadi ceritera tentang pencarian kebenaran, hari Selasa lalu juga menjadi cerita para ibu. Bill Kenwright, chairman dari Everton, mengatakan, “Mereka memilih kota yang salah – dan memilih para ibu yang salah.” Ya, ibu-ibu dari korban juga tidak luput dari perjuangan pencarian kebenaran ini. Seperti ibu-ibu yang menyemen kakinya di Kendeng dan Suciwati yang selalu berdiri di bawah payung hitam setiap Kamis, para ibu korban Hillsborough ini tidak pernah berhenti mencari keadilan.

Margaret Aspinall, ketua dari Hillsborough Family Support Group, selalu menghadiri pertemuan antara para keluarga korban selama 27 tahun. Walau pernah direndahkan oleh Margaret Thatcher, PM Inggris saat itu, ibu dari James Aspinall ini tetap berjuang untuk kebenaran dari meninggalnya 96 orang hari itu. Ketika penyelidikan individual terhadap anaknya yang mengatakan bahwa sebenarnya anaknya pada saat itu terlambat menerima bantuan, ia bahkan merasa ingin mati. “Aku hanya ingin menabrakkan mobilku,” ujarnya saat itu.

Ibu dari Kevin Williams (15), Anne Williams, pun juga telah mendedikasikan hidupnya untuk pencarian keadilan untuk anaknya dan 95 korban lain. Walau meninggal pada tahun 2013 tepat beberapa hari setelah peringatan Hillsborough yang ke-24, perjuangannya tidak boleh dilupakan. Saudara lelakinya, Danny Gordon, menganggap ibu yang satu ini berani dan kuat.

Selain Margaret dan Anne, juga ada Maureen Church. Ibu dari Gary Church (19) ini merupakan salah satu anggota pendiri Hillsborough Justice Campaign ketika sedang gigih mencari kebenaran tentang kematian anaknya. Satu-satunya hal yang ia ketahui tentang kematian anaknya adalah tangisan anaknya yang meminta tolong yang didengar dari salah satu penyintas tragedi tersebut.

Ibu-ibu ini adalah contoh wanita yang memperjuangkan apa yang dipercayainya tentang sebuah fakta dan, yang terpenting, mereka tidak pernah memberi maaf. Diminta atau tidak diminta.

***

Hillsborough dan tragedi 1965-1966 memang jauh berbeda. Berbeda dari sisi geografis, jumlah korban, jumlah keluarga yang ditinggalkan, dan sebagainya. Akan tetapi, ada dua kesamaan yang bisa ditarik dari kedua peristiwa naas ini. Kebenaran yang ditutup-tutupi dan absennya pemberian maaf.

Saya tidak tahu apa yang dipermasalahkan GM ketika Pram menolak permintaan maaf dari Gus Dur. Yang saya tahu adalah Pram meninggal sebelum kebenaran dan keadilan ditegakkan. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER