Gresik, CNN Indonesia -- Sudah menjadi kewajiban bagi muslim untuk menunaikan ibadah puasa selama satu bulan penuh Ramadan. Namun selain puasa muslim di Indonesia agaknya punya beberapa ‘kewajiban’ tidak tertulis lain yang telah ada sejak turun-temurun seperti belanja baju baru, menghidangkan makanan khas yang menggairahkan, dan tentunya mudik. Jika baju baru dan makanan lezat bisa kita temui di hari-hari biasa, lain halnya dengan mudik.
Mudik yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti pulang ke kampung halaman hanya terasa gregetnya ketika jelang lebaran. Di hari biasa, kaum rantau yang pulang ke kampung akan sangat enggan menggunakan kata mudik. Hal itu membuat kata mudik begitu identik dengan lebaran. Efek dari ‘kewajiban’ ini adalah ramainya tempat-tempat penyedia jasa transportasi mulai dari terminal, stasiun, pelabuhan, hingga bandara.
Terkadang keramaian itu menyebabkan penderitaan bagi segelintir orang yang tidak beruntung dalam menunaikan ‘kewajiban’ ini, mulai dari tidak dapat tiket, mendapat tiket dengan harga tinggi, ataupun berdesak-desakan selama perjalanan.
Meskipun ada saja yang mengalami penderitaan seperti itu, mudik bagi muslim Indonesia adalah ‘kewajiban’ yang akan meninggalkan rasa resah ketika tidak dilaksanakan. Apapun keadaannya pemudik akan berusaha melaksanakannya, meskipun tak jarang ‘kewajiban’ itu menjadi alasan untuk menggugurkan kewajiban yang sesungguhnya seperti puasa dan salat.
Mudik bagi para pemudik adalah puncak dari perjuangan. Pemudik rela mengorbankan jeri payahnya berupa modal selama berbulan-bulan untuk momen setahun sekali ini.
Sebagian besar peserta mudik adalah kalangan pekerja dan pelajar. Para pekerja bisa mudik dengan modal yang didapatnya dari sistem industri dan ekonomi negeri ini. Sedangkan para pelajar biasanya menyisihkan sedikit uang jajannya atau meminta modal dari orang tuanya untuk dapat berpartisipasi dalam momen tahunan ini. Pulang adalah tujuan utama dari ‘kewajiban’ ini, bertemu dengan keluarga dan sanak saudara tentu akan menjadi ganjaran setimpal untuk modal yang telah dikeluarkan.
‘Kewajiban’ mudik ini merupakan hal penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Buktinya, media elektronik begitu gencar memberitakan situasi arus mudik. Tak mungkin media memberitakan tanpa maksud, tentu memang mudik sebagai objek pemberitaan memiliki nilai berita yang begitu berharga untuk diberitakan.
Bayangkan, mungkin saking wajibnya mudik ini, awak media juga tidak sempat melaksanakan hal wajib ini. Tak hanya awak media, banyak profesional lain yang tak bisa melaksanakan kewajiban ini sebagai puncak dari perjuangan. Segelintir orang tersebut bisa jadi adalah pahlawan kita, sebut saja polisi, masinis, pilot, nahkoda kapal, dan profesi lain yang harusnya resah karena tidak mudik. Betapa besar perjuangan mereka.
Karena mudik adalah puncak perjuangan. Banyak hal yang akan dikorbankan dan akan terkorbankan, pemudik yang sukses sampai di rumah dengan selamat sudah seyogyanya memanfaatkan waktu berharga di kampung halaman. Pulanglah, dan jangan lupa kembali untuk berjuang kembali di bulan-bulan yang akan datang. Ingat, kewajiban mudik menantimu tiap tahun.
(ded/ded)