Jakarta, CNN Indonesia -- Eksistensialis. Pernyataan itu dinyatakan oleh realitas subjektif menjadi objektif atau sebaliknya. Mari melihat cinta, benarkah tulus atau sekadar melayani kosong seperti bola angin melewati lorong waktu, ketika nama cinta disalahgunakan menjadi rayuan gombal, ketika cinta menjadi tuduhan aroma jual beli, memunculkan istilah “penyakit masyarakat” pada anologi moral satu sisi.
Pernahkah bertanya. Mengapa, kenapa, siapa, apa sebabnya. Mudah sekali membuat stigma, meluncur begitu saja, lahir di antara moral satu sisi lainnya lagi. Tak perduli, sekalipun berlangsung di tengah kepura-puraan kostum karnaval di tengah badai terkuat sesaat. Seakan ‘benar’ menjadi simbol di tengah topi, banyak dijual di pasar life style, sekadar meraih, seakan, kebenaran hanya ada dari hulu kehilir.
Ke mana perginya kehidupan, seakan sirna, tak diketahui kelanjutan dari tujuan pembawa beban stigma, makan apa hidupnya, bagaimana pendidikan berkelanjutan bagi hidup keluarganya, apakah masih menjadi lukisan indah taman hati. Masih adakah keindahan ketika membenci satu sisi hitam saja, atau, warna-warni sekalipun, di antara gemerlap lampu-lampu papan reklame.
Sejauh mana benar itu menjadi bijaksana, ketika embun enggan berbagi pelembab kesuburan. Apakah modernitas moral mampu menciptakan embun bagi daun, meski tampaknya teknologi, seakan paling berguna bagi pranata hidup. Mampukah tekno membenahi perasaan-perasaan antar hubungan sosial, antar embun, makhluk hidup dan alam pemberi kebijaksanaan kehidupan.
Sekadar perdebatan adu-kusir, akan menjadi sekadar bagus, seakan panorama waktu pagi-sore atau siang, ketika edukasi pergi meninggalkan arena manfaat bersama inspirasi, aktualitas tersungkur, sekadar perayaan menyambut kemeriahan gigantik euforia memenuhi awan-awan pesta kembang api, menuju pilihan-pilihan di luar kewajaran. Tampaknya, berjalan di garis lurus, meski sesunguhnya abstraksi sulapan pesulap.
Mempertimbangkan tradisi masih terbaik menjadi pilihan, masih menjadi utama dalam tata krama menimbang pendidikan demokratisasi, menuju keselarasan edukasi, inspirasi, membangun aktualitas intelektual dalam memasuki kesetaraan kehidupan, disertai perasaan cinta dan kasih sayang, tak sekadar politisasi stigma atawa penghujatan, penghakiman, di luar batas garis merah, jauh meninggalkan garis putih.
Kembalilah pada tradisi edukasi Ki Hajar Dewantara, ‘tata laku santun’, alangkah indahnya tetap sebagai dasar menu edukasi utama, mengayomi keilmuan apapun. Salam Indonesia Unit.
(ded/ded)