Jakarta, CNN Indonesia -- Sistem kenegaraan terpopuler, kesetaraan menuju keselarasan, ada, di isme-demokrasi, konon. Demokrasi. Apa hanya tampak pada pemilihan umum, kebebasan mengemukakan pendapat, melekat pada isme itu, dalam lingkar prinsip asas sebuah negara?
Isme anutan terbenar nyaris mendunia sekarang ini. Demokrasi, bumbu pelengkap asas sebuah negara. Tentunya, tanpa asas sebuah negara tampaknya isme-demokrasi akan jalan di tempat. Tak kenal kultur dari tradisi bangsa-bangsa, pembentuk kesatuan sebuah negara.
Isme-demokrasi dipastikan adalah wahyu buatan manusia untuk manusia atas kehendak jamak. Mencapai satu tujuan stabilitas kuasa rakyat. Dititipkan pada sistem kekuasaan tata negara, lewat pemilihan umum, bebas, terbuka, jujur dan adil.
Anehnya, pada isme-demokrasi, masih tersusupi perselingkuhan monopoli di sektor-sektor esensial. Menjadi dosis berkala dalam aklamasi kepentingan kuat.
Ada kisah sebuah viral dari negara modern-democracy di benua lain, yang melukiskan pelarangan berbusana sopan sesuai asas agama, keyakinan, santun, menutupi tubuh wanita. Ada kisah lain lagi, juga di negara itu, mengenakan burkini di sebuah pantai, dianggap mengganggu hakikat kekuasaan modern-democracy negara itu. Nah loh. Aneh tapi nyata.
Enggak juga sih, jika negara itu paham benar hak-melekat pada isme modern-democracy. Hal monopoli hak, takkan menuai kekhawatiran berlebihan, atau, bisa jadi, barangkali, negara itu super paham modern-democracy, hingga kebablasan mengemukakan pelarangan itu.
Oh! Boleh ya monopoli hak publik. Oh! Boleh ya monopoli air. Oh, boleh ya, tak perduli asas makrifat hidup bersama sedunia berpayung Hak Asasi Manusia-HAM, saling menghargai kesetaraan keselarasan kebudayaan antar bangsa-bangsa, di tengah musim global, kini.
Tampaknya, pelarangan itu tak cantik, jika disandingkan dengan deklarasi HAM-PBB 1948. Singkatnya, manusia sebagai makhluk sosial, siapa pun di mana pun di muka bumi ini, memiliki haknya, perlindungannya, untuk hidup dengan segala perilaku baiknya, di muka norma hukum, demi tercapainya cita-cita hak kesetaraan, keselarasan, keseimbangan kehidupan.
Di mana gerangan dimensi ukuran modern-democracy? Orang perorang melekat hak kulturnya, hak hidupnya, lantas memakai busana santun, ber-burkini, ditegur hingga tingkat pelarangan. Apa kata Cleisthenes, jika dia ditanya Mahatma Gandhi, Soekarno-Hatta, Bapak demokrasi Indonesia. Akan makin seru, jika, Nelson Mandela ikut mempertanyakan pelarangan itu.
Apakah kemudian Montesquieu akan kembali turun gelanggang, terkejut melihat monolog pelarangan itu? Barangkali langit akan memberi jawaban di cuaca-cuaca. Sebab, ternyata sistem jamak dapat berubah setiap saat menjadi antologi monopoli. Jika kesadaran pada ranah kemanusiaan, gotong-royong, terkikis the ego of power, barangkali.
Bersyukur. Indonesia, taat asas tunggal Pancasila-UUD’45, luhur norma, filosofis, luhur budi pekerti, luhur akal budi, esensial pengendali isme, modern-democracy. Salam Indonesia unit.
(ded/ded)