Jakarta, CNN Indonesia -- Menjelang abad 11 ketika pemerintahan negeri itu melengkapi aturan ketatanegaraan tentang keterbukaan terhadap perkembangan wawasan kebudayaan.
Mok masih melatih diri menjelang tugas-tugas akan datang. Mok dijuluki Pendekar Pedang Lautan. Ia keturunan asli dari raja sebelumnya Ayah Mok, memerintah amat bijaksana, senantiasa memperoleh kemenangan dalam setiap pertempuran melebarkan sayap kekuasaannya.
Namun Mok memilih meninggalkan tahta putra mahkota, diserahkan pada adiknya, Maharani Persiandha Kusumah. Mok menepi kelereng pegunungan melatih kependekarannya. Mok selalu muncul jika pemerintahan negerinya memerlukan bantuan kekuatan tempur.
Ayah Mok keturunan dari Raja Asia Besar Ujung Selatan berbatasan dengan wilayah Benua Salju. Karena Itu Ayah Mok, mempertahankan gelar keturunannya menjadi nama depan, Moihan Syair Selatan. Mok pun memakai nama itu menjadi nama belakangnya Mok Moihan Syair Selatan.
Pada masa perebutan kekuasaan di Asia Besar Ujung Selatan, kerajaan kakek Mok, bernama Tangsie Gunung Laut. Kerajaan Kakek Mok dan seluruh keluarga keturunannya musnah dihabisi oleh lawannya dari negeri perbatasan perbukitan Khan di wilayah Barat Asia Besar sebuah kekaisaran terkuat dari benua itu pada masanya.
Mok dilahirkan dari Ibu Persia, kedua orang tuanya sangat patuh pada tradisi nenek moyang, karena itu dalam perkembangannya Kerajaan Kahyangan sakti nama lengkapnya Kerajaan Kahyangansakti Panah Patih Lautan Bernyanyi. Memiliki kekuatan bala tentara sakti, ahli memanah, ahli tombak, ahli pedang, senjata bom api dan memiliki armada laut amat kuat, terkenal hingga ke daratan Eropa Belakang.
“Paduka Yang Mulia Pangeran Mok…” Suara itu menghentikan Mok berlatih. “Paman Panglima. Tolong jangan sebut aku Pangeran, sebut nama kecilku saja darimu.” Paman Panglim berdiri dari sikap hormatnya. “Mok…” Tampak Paman Panglima menarik nafas perlahan seperti tengah mengendalikan kegusarannya.
Lagi suara Paman Panglima “Mok… Kekuatan pasukan Raja Tombak Lautan, berencana mengecilkan selat. Setara reklamasi pantai. Jika itu terjadi mata rantai perdagangan dan ekonomi akan terganngu. Impor maupun ekspor hasil laut, pertanian dan industri.” Blar! Mendengar kabar itu Mok seakan disambar sejuta petir. “Kerugian akan menyebabkan runtuhnya pemerintahan.” Lanjut Paman Panglima semakin gusar.
Mok menghela nafas sejenak, ia ingat pesan Ayahandanya. “…Kesabaran seluas semesta menerbitkan Akal Budi untuk mengendalikan kebijaksanaan...” Galau hati Mok teredam bagai gunung es luruh mencair ke lautan. “Apa tindakan kita Paman.” Tanya Mok singkat.
“Kami memerlukanmu mengatur strategi diplomasi.”. Paman Panglima berharap cemas. Mok bukan pendekar gegabah, mudah menghunus pedang, ia satria bijaksana, meski jika terdesak amarahnya bisa membuat gelombang tsunami. “Baik. Terima kasih atas kepercayaan Paman.”
Raja Tombak Lautan, memang suka usil, ia kini menduduki tahta Kerajaan Pesisir Bumi. Ia meneruskan tahta Ayahnya bernama Bumi Jagad Dipa. Kerajaannya berjarak dua pulau seukuran Pulau Borneo dari kerajaan Ayah Mok.
Ayah Raja Tombak Lautan adalah Raja taklukan Ayah Mok. Raja Tombak Lautan, adik ketiga seperguruan dengan Mok, adik seperguruan kedua adalah Maharani Persiandha Kusumah, adik Mok, kini memimpin Kerajaan Kahyangansakti Panah Patih Lautan Bernyanyi.
Setelah bertemu Raja Putri Maharani Persiandha Kusumah, dalam pertemuan strategis tertutup dan rahasia untuk penyelesaian kasus setara reklamasi pantai teluk tersebut. Kerajaan Mok mengirim utusan dengan ketentuan amat bijaksana. Namun Mok dan Paman Panglima bersama tim armada telah berada di laut lepas.
Jika Kerajaan Pesisir Bumi tak mematuhi ajakan damai dengan syarat membatalkan niat mereka, untuk tak meneruskan rencana setara reklamasi pantai itu. Apa boleh buat Mok akan menyerbu kerajaan tersebut. “Ayahanda maafkan jika terpaksa aku akan tetap mengibarkan bendera negeri tercinta setinggi-tingginya ke angkasa. Semoga pertempuran dapat dielakkan. Tuhan beri aku kesabaran dalam cinta kasih.” Suara hati Mok.
Setelah menunggu beberapa waktu. Tim pengintai dari pihak Mok di kejauhan memberi isyarat. “Mok mereka datang dengan kekuatan bala tentara.” Suara Paman Panglima. “Pecah seribu angin. Siapkan ribuan panah api.” Suara Mok agak kecewa, ia sungguh tak ingin pertempuran ini terjadi.
Armada Mok segera memecah diri. Membentuk tapal kuda. Kapal Mok dan Paman Panglima tepat di tengahnya. Lagi doa Mok. “Tuhan Maha Terkasih aku mohon, semoga tak terjadi pertempuran ini.” Doa Mok dalam hati. Kabut semakin tebal. Gelombang laut semakin meninggi.
Mok memperhatikan dengan seksama tanda-tanda alam itu. Ia teringat ketika di anjungan kapal bersama Ayahandanya dulu, pada cuaca seperti itu mendadak muncul burung raksasa putih gemerlap menggagalkan peperangan. “Tuhan munculkan malaikatmu. Aku tak ingin perang ini terjadi.” Lagi doa Mok, khusuk.
Gelombang semakin meninggi, kabut semakin menebal. Amat samar Mok melihat tanda dari tim pengintai untuk bersiap melakukan serangan. Mok memberi tanda pada Paman Panglima, untuk tak melakukan perintah apapun dulu. Tunggu sampai tim pengintai mendekat.
Gawat! Tampak dalam samar kabut tebal tim pengintai dari kerajaan Mok mendekat, di belakang mereka tampak sejumlah armada dengan berbagai atribut mendekat seperti raksasa elmaut.
Mok tetap memberi tanda pada Paman Panglima untuk tenang dan menunggu mereka masuk perangkap tapal kuda, mereka semakin mendekat. Terlihat samar iring-iringan kapal musuh memasuki perangkap. Kapal terdepan sepertinya kapal Raja Tombak Lautan memimpin langsung tim armadanya.
Paman Panglima memberi tanda pada seluruh armadanya seperti perintah Mok. Suasana mencekam dan tegang. Meski belum terjadi pertempuran. Justru amat menakutkan semua pihak.
Mok melentingkan tubuhnya meninggi ke angkasa menuju armada musuh. Tampak Raja Tombak Lautan, juga melentingkan tubuh meninggi ke angkasa. Keduanya tampak bertemu, saling bersilat, saling menyerang dengan keilmuan persilatan super tinggi, super cepat.
“Ha ha ha... Orang ganteng turun gunung. Mari sobat sudah lama tak uji nyali.” Suara Raja Tombak Lautan lantang menantang. Mok hanya senyum, menunggu serangan. Keduanya melakukan olah keahlian pedang, membentuk pusaran warna-warni bagai pelangi.
Pertempuran indah itu sungguh menkjubkan. Semua mata belum pernah melihat keahlian bersilat seindah itu. Dua kesatria membuka serangan membangun keindahan. Gerakan mereka semakin indah semakin menakjubkan cahaya-cahaya keluar dari gerakan mereka seperti kilatan lukisan cahaya.
Gemerlapan mencipta imaji-imaji keelokan. Di antara gema ilmu beradu suara pedang berkilatan berpedar membias ke langit menjadi nuansa-nuansa. Di angkasa itu muncullah Maha Guru Langit Puisi Genta Gurindam. “Ahoi! Ahoi!” Suara Guru langit.
“Guru?” Kedua murid itu bersimpuh. “Bangun! Bangun! Aku tak perlu kehormatan. Beri kebijaksanaanmu untuk sesama itulah guna ilmu untuk selalu saling belajar.” Kedua murid tetap memberi salam hormat persilatan.
“Yang satu suka usil karena kangen Kakak seperguruannya. Yang satu berilmu tinggi suka menyepi melatih diri xixixi. Dua kebijaksanaan berbeda asuhan saling kangen. Cocok!” Suara guru langit senantiasa gembira.
(ded/ded)