Parahyena: Misi Budaya di Sela Berkarya

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Rabu, 21 Des 2016 15:58 WIB
Sempat diberi nama Cucu and The Tangkal Nangka, band ini akhirnya berganti nama menjadi Parahyena karena nama lama dianggap tak laku.
Ilustrasi (Foto: gazrock/Pixabay)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kota Bandung identik dengan kota penghasil musik dengan komposisi yang unik. Tak hanya folk tradisional, kali ini muncul jenis musik baru yang memadukan folk tradisional akustik dan etnik. Memadukan instrumen “normal” seperti gitar elektrik dan guitalele, ditambah komposisi pola kotekan bali, biola dan bangsing Sunda, gamelan jawa, juga contra bass dan cajon memberikan nuansa folk akustik kental.

Kombinasi musik yang unik ini diusung oleh band Parahyena. Band beranggotakan Sendy Novian (vokal, guitalele), Radi Tajul Arifin (Lead guitar, backing vokal), Saipul Anwar (contra bass), Cep Iman (biola), Fajar Aditya (cajon), dan Hendri (bangsing) ini terbentuk pada 11 Juli 2014 lalu.

Berawal dari para personil yang semuanya berasal dari Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI), mereka yang merupakan teman bermain memutuskan untuk menyeriusi hobi mereka membuat musik dengan membentuk band.

Sempat bernama Cucu and The Tangkal Nangka, namun akhirnya berganti menjadi Parahyena karena dianggap tak laku. Parahyena sendiri dipilih karena dianggap cocok mewakili ragam musik unik yang ditawarkan. Nama tersebut diadopsi dari karakter hewan hyena yang memiliki kebiasaan memakan bangkai bekas santapan hewan lain di padang pasir. Karakteristik Parahyena yang sering kali memberdayakan hal-hal yang dianggap basi, seperti musik tradisional, dan mengemasnya ulang dalam bentuk music masa kini membuat nama Parahyena dianggap tepat.

Secara musikal, Parahyena memang memiliki warna musik yang unik. Sekilas terdengar folk akustik, namun memiliki corak etnik yang kental pula. Hal tersebut diakui oleh Sendy, vokalis Parahyena, sebagai salah satu upaya menunaikan misi budaya sambal berupaya untuk berkarya. Pemilihan genre yang seperti ini melibatkan beragam medium musik, utamanya alat musik tradisional.

“Misalnya kita memilih menggunakan gamelan Jawa dan bangsing Sunda, nantinya akan di mix and match kira-kira sesuainya dengan alat musik yang gimana. Nah dari situ akan ada transmedium alat musik untuk menularkan tradisi,” jelas Sendy. Transmedium alat musik juga berguna untuk menyederhanakan musik. Terlibatnya unsur musik tradisional seringkali menyebabkan musik terdengar ricuh. Uniknya Parahyena tetap bisa membuat musik dengan selingan warna tradisional terdengar sederhana dan murni.

Dalam setiap pekerjaan, selalu ada tantangan. Tantangan bagi Parahyena adalah kurang populernya musik tradisional di kalangan anak muda saat ini. Mengusung genre yang tak biasa seperti ini tentu saja sulit. Banyak tantangan seperti tak banyak orang yang familiar dengan genre seperti ini. Walau begitu, Parahyena berkeinginan untuk bisa tetap konsisten dengan apa yang mereka jalani.

“Percaya diri, itu kuncinya. Cara utama kita biar tetap punya ciri khas ya itu, mengemas ulang musik tradisional. Bagaimana caranya musik tradisional tetap bisa tersampaikan. Karena bagi kita mah budaya itu wajib disebarkan,” ujar Radi. Menjaga konsep harmonisasi lagu, konsisten dengan pilihan, agar musik yang dihasilkan tidak terdengan ramai atau “giung”.

Bagi mereka bermusik haruslah konsisten. “Kami banyak mendapat inspirasi dari Aulaga Folk, The Cake. Itu band luar sih. Juga Bing Slamet, R. Ami, Gamelan, dan Mr. Sonjaya. Sebagian dari musisi itu lagu-lagunya suka kami mainkan dulu awal-awal ngeband,” terang Hendri.

Kekonsistenan Parahyena dalam bermusik tak sia-sia. Dua tahun berdiri, Parahyena sudah berhasil menelurkan satu album. Album perdana Parahyena yang bertajuk Ropea, rilis pada awal 2016. Berisi 9 lagu, album Ropea sendiri memiliki arti memperbaiki atau merekontruksi beberapa idiom, latar belakang personil, untuk kemudian dibuat musik akustik sesuai ciri Parahyena sendiri. “Kata Ropea dipilih sebagai judul album, karena beberapa lagu yang berada di album ini telah dibuat sebelum Parahyena berdiri dan diperbaharui dengan ciri khas Parahyena,” ujar Sendy.

Sebagai ungkapan rasa syukur atas rilisnya album Ropea ini, Parahyena sempat mengadakan showcase yang bertajuk “Konser Album Perawan Parahyena”. Diadakan di mini amphitheatre Lawangwangi Creative Space, Dago, Bandung, pada September lalu, showcase ini bertujuan untuk teman, keluarga dan khalayak umum agar bisa ikut merasakan kebahagian atas lahirnya album perdana Parahyena.

Rilisnya album perdana ini membuat para personil Parahyena berharap bahwa album ini bisa menjadi awal batu loncatan mereka untuk menjadi band yang berpengaruh bagi masyarakat. “Kami ingin terus berkarya, bisa konsisten dengan apa yang dikerjakan. Pede dengan musik yang ditawarkan. Semoga masyarakat bisa lihat dan menerima, menghargai budaya yang kami bawa. Juga semoga kami bisa mewarnai musik Bandung, Indonesia, dan dunia,” tutup Radi. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER