Jakarta, CNN Indonesia -- Malam belum terlalu larut. Desa terasa lebih senyap dari biasanya. Tak ada suara serangga malam sebagaimana lazimnya, senyap keterlaluan. Bulan sepotong di langit setengah purnama memerah di garis horizon barisan pohonan bayang pekat hutan jati. Berhadapan dengan bayang pekat hutan karet. Kedua hutan buatan itu milik pabrik investasi asing negeri jauh, konon begitu.
Bunda baru saja menutup salatnya melipat sajadah, belum lagi beranjak dari tempatnya. “Brak!” Suara pintu terdorong angin terlalu kuat. Bunda menuju pintu, menutupnya, sejenak kepalanya menjenguk keluar, belum juga pulang suaminya. Dua anak lelakinya si kembar identik masih mengaji di surau tak jauh dari pabrik itu. Bunda menuju dapur terasa desir angin mengikat dingin merembes dari lubang-lubang kecil dinding bilik bambu.
Suaminya dan si kembar anak lelakinya tak terlalu suka pemanis dari gula pabrik, menurut suaminya tidak alami, menurut si kembar lebih segar teh dengan kayu manis, demikian juga suaminya. Bunda menyiapkan minuman untuk ketiga lelaki pemilik cinta dan kasih sayangnya.
Bunda menuju meja kayu buatan suaminya, rumah itu sederhana tak terlalu banyak sekat, selazimnya rumah di desa kaki gunung, hanya dua kamar tidur, langsung berhubungan menyatu dengan ruang tamu sekaligus ruang makan, juga pasangan meja kursi kayu untuk tetamu buatan suaminya, ada balai kayu panjang di sisi meja sebelah kanan dekat jendela.
“Krek! Krek!” Suara jendela masih terbuka terdorong angin, Bunda menghapiri menutupnya, selepas dari meja makan meletakan tiga gelas teh seduhan beraroma kayu manis, hanya teh suaminya ditambahkan jahe merah sedikit, penghilang rasa lelah dan masuk angin setelah bepergian jauh ke kota.
Bunda telah memasang palang pintu, biasanya tak lama anandanya si kembar pulang dari surau, kali ini hingga agak sedikit larut tak juga muncul si kembar. Bunda menuju balai-balai panjang, di gelar sajadahnya duduk bersimpuh di atasnya, berzikir, menunggu waktu pulang ke tiga lelaki kasih cintanya.
Suara serangga malam baru terdengar samar, hati Bunda cuma bilang tak seperti biasanya suara-suara alam itu melengkapi keindahan malam desanya lebih larut dari biasanya. Bunda masih berzikir khusuknya, selintas dipendengaran nuraninya terasa ada langkah berlari cepat mendekat menuju rumah.
Suara pintu terpalang kayu di dorong “Bunda? Ini kami.” Suara dari luar serentak terdengar agak panik. “Iya. Sabar Bunda akan membukanya.” “Cepat Bunda.” Serentak suaranya, sela pintu terbuka si kembar menghambur ke dalam. “Cepat tutup Bunda! Maaf Bunda.” Suara keduanya serentak, membantu Bunda menutup pintu, si kembar memasang kayu palang pintu cepat. “Ada apa kalian. Sabarkan hati.” Bunda memperhatikan si kembar dengan seksama. “Ada apa kalian tergesa seperti itu?”
Si kembar, keduanya terengah-engah. “Ada apa, sini ke meja makan, minumlah dulu.” Keduanya mencium tangan, lalu kening Bunda, si kembar segera meneguk air bersamaan di gelas masing-masing. Bunda memandang sejuk pada kedua anandanya itu. ”Pelanlah. Tak perlu terburu begitu. Nikmati meski cuma air teh dan kayu manis. Itu karunia…” “Maafkan kami Bunda.” Suara keduanya serentak, saling pandang.
“Ada apa kalian datang dan masuk sesegera itu. Apa kabar Pak Kiai Sutan, bagus hari ini kalian mengajinya?” Si kembar saling pandang lagi. Mereka duduk berhadapan dengan Bundanya. “Makanlah dulu, masih ada ikan teri balado dan sayur terung kesukaan kalian.” Bunda sambil membuka tudung saji jalin rotan buatan Ayah.
Si kembar saling pandang lagi. “Ada apa kalian mendadak aneh.” “Iya Bunda, maafkan kami.” Serentak suara si kembar. Suara Bunda menegas pada si kembar satu “Ceritakan pelahan ada apa Kakak?” Keduanya saling pandang lagi, lalu serentak suara si kembar “Kami melihat sesuatu…” Bunda menyela tegas dan lembut “Bunda bilang satu persatu. Kakak? Ada apa?” Keduanya masih saling melihat, berserentak pula menarik nafas dalam dan panjang.
“Kakak?” Suara Bunda. Tersekat suara si kembar, mendengar nada Bunda lebih tegas. Suara Kakak. “Kami melihat sesuatu Bunda tinggi besar dan hitam pekat.” “Lantas?” Suara Bunda sabar dan tenang. “Beristigfar…Sebut nama Allah, tak ada kekuatan lain pemberi kita hidup. Ingat?” “Iya Bunda, kami…” Bunda menyela cepat dengan sabar. “Adik? Melihat seperti Kakak?” “Iya Bunda. Tak saja tinggi besar dan hitam pekat, menguarkan suara berdehem keras sekali, membuat kami lari lintang-pukang…” “Oh…Begitu” Suara Bunda menyela liris dan tenang.
“Sekarang cucilah muka kalian dengan air segayung masing-masing, lalu pergilah ke pamcuran air di belakang rumah, berwudu… Setelah bersalat hati dan pikiran kalian pasti lebih tenang, setelahnya baru makan ya, Bunda siapkan juga untuk Ayah, tak lama lagi pulang. Bawalah nyala obor untuk ke pancuran. Perlu Bunda temani?” si kembar kembali saling pandang, suara mereka serentak lagi. “Tidak Bunda.” Keduanya bergegas. Bunda hatinya senantiasa memberi kekuatan penerang.
Tak berapa lama terdengar ketukan khas di pintu rumah. “Iya Pak Cik, sebentar Bunda menuju.” Bunda membukakan pintu. “Salam baik Bunda Siti, ini ada titipan dariku.” Di depan pintu keduanya saling menyapa. Bunda mencium tangan Pak Zulham suaminya.
Keduanya menuju meja makan. “Terima kasih Pak Cik. Cantik nian jambangan kayu ini, meski tak ada bunga di dalamnya.” Cinta, suara Bunda sejuk. “Engkaulah Bunga itu Siti.” Suara Ayah bagai melantunkan pantun selembut berjuta gurindam. Malam. Desa dan kehangatan iman.
(ded/ded)