Masyarakat Sosial di Era Digital

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Jumat, 06 Jan 2017 14:21 WIB
Media sosial justru dianggap dapat memberikan informasi utama yang belum diuji kebenarannya. Lalu bagaimana mengurangi hoax?
Foto: Herman Setiyadi
Jakarta, CNN Indonesia -- Dewasa ini, banyak pernyataan-pernyataan yang mengatakan bahwa penetrasi Facebook jauh lebih luas dan tajam ketimbang media berita profesional yang dimonitor Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia. Salah satu solusi yang efektif untuk mencegah berita hoax, yakni Facebook hendaknya mempekerjakan fact checker untuk menandai berita yang jelas bohong.

Pembahasan berita bohong (hoax) yang disebarkan melalui jejaring sosial Facebook ini berkaitan erat dengan pilkada serentak 2017. Pasalnya, pilkada 2017 belum memasuki tahap kampanye, tetapi banjir informasi di Facebook dan Twitter sudah terjadi jauh-jauh hari. Tak jarang, informasi itu berisi berita bohong untuk menjatuhkan salah satu kandidat calon kepala daerah atau kampanye hitam yang menguntungkan salah satu kandidat calon kepala daerah.

Di era digital seperti ini, platform media cetak dan media online sepertinya mulai tergerus atau bahkan tak lagi memonopoli dalam menyampaikan informasi kepada publik. Tak bisa dipungkiri, eksistensi media sosial seperti Facebook dan Twitter mengalahkan dua platform media massa itu (cetak dan online) dalam memberikan informasi. Media sosial justru dianggap dapat memberikan informasi utama yang belum diuji kebenarannya.

Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi berita bohong yang bertebaran di media sosial? Usulan kepada Facebook untuk membuat tim fact checker, tentu merupakan solusi yang sangat bagus untuk media sosial masa kini. Namun, untuk melakukan komunikasi dengan perusahaan media sosial raksasa itu membutuhkan prosedur yang panjang dan memakan waktu.

Meskipun hal tersebut sangat mungkin untuk dilakukan oleh pemerintah Indonesia, tetapi dalam lingkup yang lebih kecil, kita berbicara tentang apa yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat yang paham persoalan media sosial dan berita bohong yang tersebar di dalamnya.

Lantas, bagaimana dengan peran wartawan yang notabene bekerja mencari beragam informasi serta menyampaikan informasi tersebut melalui lembaga media sesuai dengan kaidah Kode Etik Jurnalistik (KEJ)? Dapatkah para wartawan itu menjadi kurator untuk memulihkan informasi soal pilkada yang benar bagi masyarakat? Peran lembaga pers dan wartawan sejatinya sangat dibutuhkan untuk bertanggung jawab sebagai penjaga pintu di era digital ini.

Penggagas 9 Elemen Jurnalisme, Bill Kovach dalam bukunya yang berjudul “BLUR; How To Know What’s True In The Era of Information Overload” mengatakan, wartawan tetap harus memelihara prinsip-prinsip dasar jurnalistik, dan menjadi “gatekeeper” bagi serbuan informasi di era digital. Artinya, wartawan sebagai pemegang informasi yang terverifikasi berperan penting untuk menjaga kesahihan informasi yang diterima masyarakat, bahkan di media sosial.

Inilah dampak dari pergerakan zaman yang dapat kita rasakan. Di mana masyarakat memang menginginkan sesuatu yang serba cepat tanpa memikirkan akurasi informasi yang diterima melalui media sosial. Pilihan kita hanya dua, berdamai dengan era digital dengan cedas bermedia sosial atau menjadi masyarakat yang tak acuh dan mengabaikan prinsip kebenaran informasi yang diterima melalui media sosial.

Media sosial memang menjadi pesaing yang paling berpengaruh bagi media massa cetak maupun online. Menyikapi berita bohong yang tersebar di media sosial, salah satu cara yang paling efektif dan mudah dieksekusi adalah dengan menyampaikan berita yang benar dan sudah terverifikasi kepada masyarakat. Lalu, bagaimana menarik perhatian masyarakat dari berita bohong yang beredar untuk mengakses berita yang lebih akurat di media massa online?

Kita bisa menyatakan berita bohong itu memiliki pengaruh bagi pemilih, entah bagi sedikit atau banyak pemilih, dalam derajat yang beragam. Apalagi jika kabar itu dibagikan oleh seorang tokoh (opinion leader), orang yang sangat berpotensi memengaruhi pilihan politik warga.

Artinya, masyarakat bukan hanya menanggapi ‘apa’ informasi yang disampaikan, tetapi ‘siapa’ yang menyebarkan informasi tersebut rupanya membawa pengaruh besar bagi masyarakat era digital. Literasi media sosial menjadi penting di saat-saat genting seperti ini. Di mana seluruh informasi, baik yang akurat maupun tidak, melebur dalam platform media sosial.

Para tokoh (opinion leader) yang ditengarai memiliki tingkat intlektual yang tinggi dibanding masyarakat biasa, hendaknya bisa cerdas menggunakan media sosial. Selain untuk menyebarkan informasi yang akurat, juga untuk memberikan edukasi kepada masyarakat untuk tidak sembarangan menerima informasi yang disebar melalui media sosial.

Jangan sampai para tokoh yang berpengaruh itu malah melakukan sesuatu yang mengundang polemik di masyarakat. Seperti melemparkan isu buruk kepada masyarakat terkait lawan jagoannya di pilkada 2017 mendatang. Segenap elemen bangsa ini hendaknya menjaga stabilitas negara dari beredarnya informasi atau berita bohong yang beredar di media sosial yang bisa menimbulkan masalah sosial di masyarakat.

Melalui edukasi dan literasi yang diberikan, masyarakat Indonesia diharapkan mampu cerdas memfilter informasi dari media sosial. Dengan begitu, informasi dari berbagai peristiwa dengan dinamika sedemikian rupa tidak lagi ditelan mentah-mentah oleh masyarakat Indonesia. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER