Jakarta, CNN Indonesia -- Tadi, siang yang mengejutkan. Penampilan pacar saya, sungguh membuat ragu dan menduga-duga. Apakah benar dia pacar saya. Dengan penampilan baru dan terkesan sangat pop kultur, seperti musik Linkin Park atau Radio Head.
Rias wajahnya tidak seperti biasanya, terkesan tak sederhana seperti topeng jatuh lalu retak, untuk melihat paras secantik itu jadi kacau seperti gelombang tsunami meski terlihat, terkesan mode terkontemporer. Mengapa dia berubah seperti itu.
Masih kaget, bertanya-tanya dalam hati dan pikiran saya. “Apakah benar dia pacar saya, asli tapi kok seperti palsu. Mengapa mendadak dia menjadi seperti topeng retak. Perubahan kepribadian sangat kontras pada dirinya.”
Saya tetap menghadiri undangan makan siang dari pacar saya itu. Meski tetap ragu-ragu selama pertemuan tadi siang. Saya memperhatikan rias wajahnya, detail-detail penting di matanya kebiruan agak hijau kerlap-kerlip telah tak tampak lagi.
Apa benar dia tadi pacar saya. Pada detail tata riasan rambut, wajah dan desain busananya, meniru model populer di jejaring sosial modernis itu. Manik-manik di kancing bajunya hitam putih kombinasi warna kancing seronok mencolok.
Bingkai gambar pada arloji dan kalung melingkar di lehernya, ada semacam hiasan warna biru, hijau, merah, putih palsu abu-abu dan corak tipografi pada tata busana pop kultur itu. Indah tapi masih tampak kurang pas betul di penampilan terkininya itu.
Mungkin masih uji coba penampilan baru, apapun penampilannya dulu dan kini, saya tetap mencintai dengan tulus dan setia padanya. “Tapi apa pentingnya saya memikirkan hal di luar kebiasaan itu. Kan pilihannya sendiri. Bukan pilihan saya.”
“Wah! Bahaya. Dikira saya egois tak memikirkan kepentingan orang lain. Ah! Apa iya begitu. Tadi saya ngapain ya. Kenapa tak ada obrolan apapun, makan dalam bisu. Celaka! Jangan-jangan dia sudah mati, pura-pura masih hidup dan iseng mengundang saya.”
“Hih! Modus deh. Hadeuh!” Tiba-tiba telpon selulernya berdering. “Halo! Haloo!” Tak ada suara hanya seperti suara orang makan kacang di dalam mulut. “Halo? Hai! Hai!” Tak juga ada suara. Malah ada suara orang orasi mendengus-dengus bersin-bersin.
“Hei! Ini siapa ya. Kalau tak menjawab saya stop loh telponnya. Ayo! Jawab dong. Haluu! Siapakah di situ. Ups! Salah. Maksud saya di sana. Di tempat dikau berada kini.” Tak juga ada suara. Malah muncul suara gitar rusak.
Nada suara mengancam. “Hei! You! Kalau tak jawab kamu pasti serigala.” Terdengar lolongan suara serigala dari telponnya. “Hiiii. Ngeledek! Saya serius tahu. Oke, sekali lagi, tak mau jawab juga, benar-benar saya matikan loh telpon ini. Saya serius nih!”
“Oke. Oke. Saya tanya lagi ya. Apakah kamu tuyul keras kepala dan kurang waras itu, atau kamu manusia sapi bersosok kerbau. Oh! Salah. Masih terasa mirip. Maaf, maksud saya kamu manusia sapi tapi berperilaku seperti ostrich bird, atau kamu…”
Dia tak meneruskan kata-katanya. Telpon di genggamannya terasa menggeliat-geliat, seakan mau meloloskan diri dari genggamannya. Dia agak terkejut, melompat sedikit dari duduknya. Terasa telpon di genggamannya terus menggeliat seperti ulat daun.
Di genggamnya telpon itu agak kuat. Telpon itu menggeliat semakin kuat, bertenaga, di genggamnya telpon itu dengan sekuat-kuatnya, tangannya bergerak kian kemari, telpon itu melakukan perlawanan, menggeliat semakin kuat. “Kamu melawan ya.”
“Oke. Hug! Hegh! Hagh! Huahhah!” Dia menggenggam telpon itu sekuat tenaganya. Telpon itu terus melakukan perlawanan semakin menjadi. Dia terus menggengam telpon itu sehabis tenaganya. Sekuat maunya.
Keduanya saling memberi perlawanan semakin seru. Dia terus mengikuti apa maunya telpon itu. “Hach! Hayo! Kamu kan cuma hasil industri, teknologi buatan manusia. Hiyahh! Aku hancurkan kamu!” Dia terus bergulat dengan telpon itu.
Berlari, melompat-lompat, perkelahian itu terus bergerak, ke mal, ke toko-toko, ke gedung-gedung, ke lapangan bola, naik bus way, naik kereta, naik bus metromini, naik angkot, naik kereta, masuk kebon binatang, masuk ke kandang para binatang.
Keduanya terus berseteru dengan kekuatan masing-masing. Dia terus menggenggam telpon itu sejadi-jadinya. Namun tak di sangka tak di duga. Telpon itu entah mendapat kekuatan dari mana. Berhasil lolos dari genggamannya.
Telpon itu langsung melompat, menyedot dia seperti debu dari atas kepalanya, seluruh tubuhnya sirna tersedot telpon itu.
(ded/ded)