Mencomblangi Masyarakat dan Puisi

CNN Indonesia
Selasa, 23 Mei 2017 07:14 WIB
Puisi seringkali asing di telinga masyarakat. Tapi benarkah karya sastra jenis ini hanya cocok diperdengarkan untuk pecintanya saja?
Ilustrasi membaca puisi. (Foto: CNN Indonesia/Andry Novelino)
Bandung, CNN Indonesia -- “Ngiauuuu!!! Kucing meronta dalam darahku meraung merambah barah darahku dia lapar o alangkah lapar, ngiauuuu!! Berapa juta hari dia tak makan berapa ribu waktu dia tak kenyang..” Serentak tiap mata terbelalak. Beberapa penonton bahkan mengernyit ngeri.

Siang itu, kencang suara Syifa Silfiani mengguncang Aula Abjan Solaeman Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Syifa melanjutkan puisinya penuh ritme. Kadang naik, turun, atau justru berbisik nyaris senyap. Bersamaan dengan itu, di sebelah kanan Syifa, seorang mahasiswa bernama Riyadul Falah mengocok gitar akustiknya dengan fasih, menemani puisi agar tidak terasa sepi. Kata penonton, mereka sedang bermusikalisasi puisi.

Penampilan puisi berlatar akustik itu membuka Milangkala ke-2 Jaringan Anak Sastra (JAS) bertema Sirna Sastra. Milangkala sendiri merupakan bahasa Sunda dari ulang tahun. Pada peringatan hari jadi yang kedua ini, JAS menyelenggarakan beberapa acara dalam dua hari berturut-turut. Hari pertama, pada Rabu (5/4), terselenggara bedah buku esai Rawayan karya Pungkit Wijaya, dan novel terjemahan Sunda-Indonesia berjudul Deng karya Godi Suwarna. Kemudian, pada hari kedua, JAS melakukan launching dan bedah buku antologi Padamu Puisi.

Kata Aras Kalimusada, satu di antara dua pemateri hari kedua, puisi seringkali asing di telinga masyarakat. Seolah karya sastra jenis ini hanya cocok diperdengarkan untuk pecintanya saja. Padahal, Aras menambahkan, puisi adalah ekspresi, dia adalah ide yang berada di kepala manusia. Maka, seharusnya puisi menjadi bahasa lazim bagi semua orang. “Acara-acara seperti ini diadakan sebagai makcomblang masyarakat dengan puisi. Jangan sampai puisi terus menjadi sesuatu yang asing bagi mereka,” pungkasnya.

Setelah pembawa acara menjembatani, moderator, Syifa Silfiani, mahasiswi yang sama dengan pembaca puisi Kucing karya Sutardji Calzoum Bachri di awal acara, mulai memperkenalkan diri dan memanggil serta kedua pemateri, Myrna Nursyakinah M. Hum juga Aras Kalimusada untuk bergabung dengannya. Sesi pertama berlangsung damai. Penonton yang laun-laun memenuhi aula menyimak dengan seksama apa yang dibicarakan oleh Myrna.

Menurut Myrna, proses penciptaan karya, apapun bentuknya patut diapresiasi, juga diikuti langkahnya. Salah-satu dosen di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris itu bahkan mewajibkan anak-anak didiknya untuk mengisi kursi penonton sebagai ganti absensi mata kuliah pada hari itu. Myrna merasa sastra yang satu ini kurang populer karena dianggap bukan konsumsi semua kalangan. “Padahal sebuah studi kasus membuktikan menulis sastra dapat menyenangkan hati, berbagi pengalaman, dan memecahkan masalah.” Myrna memberi penekanan pada kalimat terakhirnya.

Baginya, berpuisi itu gampang-gampang susah. Myrna sampai mengutip kata-kata sastrawan bernama Joyo Suroto yang berkata bahwa tanda puisi sebenarnya hanya keindahan, sementara keindahan itu tidak punya ukuran mutlak, tergantung pada persepsi masing-masing pribadi. Maka, dosen berkacamata itu mengamini tentang tidak adanya puisi jelek. Menurutnya, Hanya akan ada pemaknaan yang berbeda antara satu dan lain pembaca. Pun maksud penulis yang sebenarnya adalah hal berbeda, dia sudah tak punya kuasa atas karyanya kalau sudah dibaca orang. “Jadi buat apa takut menulis puisi?” tanyanya pada penonton.

Pada sesi kedua, Myrna membacakan tiga puisi yang dipilihnya sembarang, dari buku antologi Padamu Puisi karya JAS tersebut. Puisi pertama berjudul Para Mahasiwa Gondrong oleh Alviansyah. “Para Mahasiswa Grondong di-bully, dicaci, dimaki.” Penggalan puisi itu mencerminkan metode penulisan yang bermain pada rima. Komentar Myrna tak cukup sampai di sana, tak lupa dia memuji penulis yang mampu mengaitkan hal ringan dengan pemaknaan mendalam. Baginya, menggunakan rambut gondrong untuk mengkritisi perilaku saling caci merupakan ide yang brilian.

Ada lagi satu puisi berjudul Kosan Sweet Kosan. Bunyinya “Tak ada rotan akar pun jadi, tak ada kasur tikar pun jadi, tak ada nasi mie pun jadi, tak ada handuk baju kotor pun jadi, tak ada air maka tak mandi..” Gelak tawa penonton menggema di langit-langit aula setelahnya. Apalagi, riuh tepuk tangan seolah irama yang terus bersahutan.

Buku antologi Padamu Puisi adalah wacana yang sebenarnya sudah dari satu tahun silam dirundingkan. Mengutip kata Yan Bohemian, ketua JAS, “Buku itu merupakan rekaman dari proses kreatif kami.” Satu tahun kemudian, setelah terkumpul 300 karya mahasiswa JAS, buku itu siap diluncurkan. Namun, terpaksa mengalami kurasi karena dinilai akan terlalu tebal. “Bukan soal bagus atau jeleknya, melainkan soal semangatnya. Kurasi hanya upaya agar buku menjadi lebih ringan dan proporsional.” Aras selaku penulis kata pengantar dalam buku Antologi “Padamu Puisi” ikut menimpali.

Melihat kiprah perjalanan JAS di kampus UIN membuat Myrna mengaku kagum. Pasalnya, tanpa asuhan sastrawan-sastrawan hebat, sekumpulan mahasiswa itu mampu menelurkan karya hasil tangan sendiri. Satu waktu Yan sang ketua menjelaskan dengan runtut bahwa Jaringan Anak Sastra resmi dibentuk pada tanggal 26 Febuari 2015. Kiranya masih muda berkecimpung dalam dunia kesusastraan. Keberadaan JAS tidak semata-mata murni diusung oleh mahasiswa angkatan 2014 tetapi termotivasi oleh beberapa kakak tingkat dari berbagai jurusan yang mana pada waktu itu memiliki tongkrongan yang sama, yaitu DPR UIN Bandung.

Semakin banyaknya waktu dan intensitas pertemuan, akhirnya memengaruhi proses kreatif dan diskusi. Kini, JAS makin menyebar ke penjuru kampus. Anggota yang tadinya didominasi oleh mahasiswa Sastra Inggris merambati berbagai jurusan: Jurnalistik, Tafsir Hadits, Aqidah Filsafat, Manajemen Dakwah dan jurusan lainnya. “Dengan kata lain, dibentuknya JAS berfungsi sebagai ruang bagi anak-anak yang gemar menggeluti bidang sastra,” begitulah Yan Bohemian mengakhiri kalimatnya.
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER