Cerita Pendek: Dekolonisasi

CNN Indonesia
Sabtu, 03 Jun 2017 11:57 WIB
Alam raya terus bergerak dalam putaran teramat perlahan bagai membuat pola-pola jawaban.
Ilustrasi (Foto: Pixabay/WikiImages)
Jakarta, CNN Indonesia -- Lepaskan saja apa pun terasa kini di kisah apapun. Bisakan. Mencoba melihat semesta lebih luas. Kalau tidak bisa beli saja semesta sendiri. Biar bisa sesuka hati tebar pesona atau apapun sesuka hati. Begitu kan tujuan dari keinginan. Apapun itu. Menyoal cinta jungkir balik atau di bolak-balik tetap terbalik.

“Aku sudah bilang. Masih tanya lagi. Itu hatiku. Merah asli. Mana hatimu.” Diam kepada hening bagai merangkai rajutan kain tradisi di angkasa. Nyebelin nih, membisu. “Kalau tak sabar cuci muka dulu biar sabar.” Suara menjawab membuat kangen menjadi semacam payung fantasi berterbangan kian kemari, lagi seakan di angkasa lain.

“Hayalmu kadang seperti bola pimpong melompat kian kemari.” Suara itu, ada keren ada nyebelin ada kangen tersimpan seakan misteri api menjilat langit. “Kalau mau jawab satu-satu beli kalkulator. Matematis sebuah kepastian nilai bukan imajiner.” Entah siapa salah satu dari mereka bersuara seperti itu.

“Apa katamu?” Bertanya bertendensi seaneh imaji. “Aku tak bilang apapun.” Suara itu masih terasa ada kangen dan keren. Meski fantasi tak lagi berterbangan menjadi payung.

Gemintang seperti biasa. Tak indah seperti tulisan susastra, kerlap-kerlip seperti biasa banget karena kabut kosmik mengitarinya. Kelihatannya saja indah jika dipandang dari berbagai sisi pandangan berjarak jutaan mil. Barangkali itu disebut imaji kosmik. Kejadian akibat efek cahaya bersilangan memantul di tampak warna angkasa.

“Ibundaku ada di salah satu bintang itu. Semoga bahagia...”
“Ibundaku juga ada di antara salah satu bintang itu. Semoga bahagia...” Hening pada indah di hati pemilik cinta. “Tuh! Hatiku. Sudah aku letakkan seperti maumu. Seputih aslinya.”
“Terima kasih.” Jawaban singkat menoleh pada kangen menundukkan identitasnya, seakan tak mau di sapa langit. “Dia nyebelin. Tak pernah mau bilang apa sebenarnya ada di benak.” Dalam nurani sebening itu.

Supernova, peristiwa kosmik terjadi di setiap waktu di ketentuan, semesta ke semesta atau di antaranya, meski tak tampak di kejauhan berjarak kini. Kadang hanya tampak samar nebula dalam redup sekilas kerlip berwarna.

Garis-garis ekuator tak seperti imaji lagi, menjadi nyata di warna angkasa, dalam satu kesatuan utuh tak terbantahkan. Ingin bersama memegang garis itu. Apa mungkin.

“Segalanya bisa menjadi mungkin. Jika hati tak lagi menghujat sesama.” Suara keren dan kangen itu terasa sejuk.
“Kamu ngomong apa sih. Seperti pernah aku dengar.”
“Filosofi air berbanding satu ketika nol maka dia akan surut, menyimpan fisik lalu muncul menjadi mata air di ruang baru.”
“Indah jika benar begitu.”
“Ya.” Hening sesaat, alam seperti membuat pola di langit, nebula berwarna asing membentuk diri bagai simbol kasih di antara makhluk. Lanjutnya. “Lihat. Jika niat baik di ungkapkan alam segera memberi jawaban.”
“Oh! Belum pernah aku melihat hal indah nian itu.” Memandang takjub.

Alam raya terus bergerak dalam putaran teramat perlahan bagai membuat pola-pola jawaban. “Barangkali itu jawaban kebaikan.” Tidak ada suara jawaban “Ya atau Tidak.” Saling menoleh sejenak. Terasa ada kehidupan baru di antara kami, namun entah apa.

“Sampai kapan kita akan bertahan.”
“Entahlah. Tak ada jawaban untuk itu.”
“Barangkali kita harus memulai sekarang kebaikan itu.”
“Ya atau Tidak. Siapa pemiliknya.”

Lintang kemukus melintas cepat, menuju garis ekliptika, tak lama melintas lagi menuju garis ekliptika sama persis. “Sudah waktunya. Alam telah menjawab niat baik.” Suara keren dan kangen itu berubah menjadi tulus kepada tujuan.

“Baiklah. Ini saatnya.”
“Ya. Kau tak mau bernama.”
“Pemberi kebaikan akan memberi nama pada kita.” Mereka melesat super cepat menjadi bintang menuju garis ekliptika bersama lintang kemukus terakhir.
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER