Cerpen: Pencarian Kie

CNN Indonesia
Minggu, 03 Sep 2017 11:58 WIB
Bie tak mengerti perasaan apa yang membuat dia melakukan pencarian. Kie bukan siapa-siapa, tapi perasaan aneh, entah apa namanya, mendorong Bie.
Ilustrasi (Foto: REUTERS/Muyi Xiao)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bie memutuskan berangkat ke perbatasan Rusia. Namun konflik di wilayah Ukraina menjadi bahan pertimbangannya. Dia tak ingin cari masalah bilateral di tengah konflik negara Rusia-Ukraina.

Cukup kejadian di Iran saja. Ketika Den Besar, masih anggota team diplomat Lembaga Persatuan Bangsa untuk perdamaian kawasan Timur Tengah dan masalah-masalah separatisme terkait terrorisme international.

Saat itu Bie, relawan Palang Merah International. Entah mengapa, ditemukan dokumen penting dukungan negaranya kepada Amerika Serikat, rencana diplomasi perdamaian untuk negeri Irak. 

Secara matematis perhitungan, Bie tahu siapa pelaku penitipan diam-diam di tasnya. Tapi, tak mungkin dikatakan ke gadis cantik itu, yang bertugas bersamanya. Sejak perasaan, entah apa, hadir pada kelas pascasarjana, di Washington D.C., U.S.

“Akh sudahlah, sekarang ini aku tetap fokus, pencarian untuk Kie.” Selalu itu di benak Bie.

Meski tidak dijumpai di semua link negara Inggris bahkan dia sempat ke Kanada dan Perancis. Terpikir, menemui sobat kentalnya Dick Matius, keturunan Irian-Amerika, peretas jagoan, untuk memintanya, me-link keberadaan Kie ke kantor pusat di Amerika Serikat.

“No end, bilateral lagi. Muter, pasti, Libya sumber teka-teki.” Di benak Bie tak yakin Kie sirna semudah itu.

Meski Bie tak mengerti perasaan apa yang membuat dia melakukan pencarian. Kie bukan siapa-siapa, tapi perasaan aneh, entah apa namanya, mendorong Bie, mengejar, mengungkap fakta itu.

Pesawat yang ditumpangi Bie sejenak transit di Hong Kong. Para demonstran pejuang demokrasi masih bertahan di negara itu, menuntut hak mereka.

Pesawat mengisi bahan bakar, lalu menuju Singapur. Bie mendarat dengan mulus di Jakarta, tepat pukul 11.05 WIB.

Cut to the next scene: Berbagai dugaan menuju kantor pusat. Malam.

Cinta kadang membeku atau kadang mencair seperti es di kutub bumi. Pemanasan global memicu para peneliti geo-Iklim berpacu menuju kecepatan waktu tempuh dari musim ke musim.

Pertemuan Bie dengan Den Besar, di Pejaten membawanya pada konsep klausa aktif. Subjektivitas, kegiatan, gerakan di balik kabut. Den Besar menekan pada fokus, tadi, terdesak Bie. Terpaksa Den Besar menjelaskan dengan saksama.

Penelitian di poros dunia Selatan. Menyimpan misteri. Realitas global masih pada kepentingan kelompok saling silang menuding berkekuatan.

“Aku harus cermat.” Itu kata hati Bie.

Selintas Bie curiga pada Pak De Tedja. Ada semacam dugaan di dalam pikiran Bie. Klon. Untuk apa, untuk siapa? Pengembangan sel itu termasuk teknologi kuno pada analisis genetik.

“Lalu, siapa Kie?” Bie mencoba menelusuri dengan cermat.

Lempengan batu tua melayang seperti drone, temuan berusia seratus ribu tahun lalu, berada melayang di antara gravitasi. Bertempat di gua Antartika, disimpan di Lab-Israel, diduga memuat semacam tenung tentang nasib planet-planet.

“Apa iya, sejauh itu?" Bie mencoba menghitung langkah taktis pada peta kemungkinan konspirasi dari dalam biro sendiri.

Tapi Paman Bill senantiasa kembali pada soal formal prosedur. Realitas, negara, bangsa, hidup, ekonomi, perdagangan dan alat tukar. Nyaris terkuak. Kalau sudah seperti itu, Bill selalu menghindar jika Bie, mulai masuk fakta imajiner sebagai klausul jembatan ke tujuan.

Teknologi nano serat syaraf, tak lagi dugaan imajiner, telah diketahui Bie sebagai perkembangan terakhir pada dunia sains.

Lalu apa sesungguhnya tengah terjadi di Kantor Pusat Pejaten itu? Pak De Tedja dan Den Besar merasa ada semacam sinyalemen tanda-tanda hubungan arus bawah pada kode etik trans informasi antar dinas rahasia.

Bie menyusuri kota Surabaya menuju Tanjung Perak, menikmati perjalanan dengan lamunan melayang di antara metafisika logika versus akal budi, di antara sains dan hakikat hitungan matematis.

Cut to the next scene: Mencoba menebak pola konspirasi

“Beep!” Telepon genggam Bie berbunyi. ”Ya. Saya menuju teras penjemputan. Belum. Tidak mungkin. Di rumah, semua saya jelaskan. Salam.” Tampaknya telepon dari Den Besar.

Pak Sor memberi tanda dengan lampu mobil. Bie bergegas, dengan sebuah koper kecil. Duduk berdampingan dengan Pak Sor.

“Apakah Den Besar di rumah terus Pak Sor?"

“Ya. Eh. Tidak. Ke Pejaten, mengajar.” Kok, salah, bukan, kenapa bilang begitu? Bisik di hati Pak Sor.

Mobil melaju dengan kecepatan 60 kilometer perjam. “Percepat sedikit Pak Sor. Ke rumah, saya ganti baju, lalu antar ke kantor pusat ya.”

Gawat, perasaan Pak Sor. “Den Muda, apa tidak langsung saja sebaiknya. Kalau hanya sebentar.”

“What? Ada apa? Tak seperti biasanya Pak Sor melanggar peraturan Den Besar?” pikir Bie. “Oh, boleh. Apa Den Besar di sana?” Menekankan pertanyaan kepada Pak Sor.

“Aduh! Maaf, Den Muda. Maksud saya, tadi, mau bilang sebaiknya kita cepat tiba di rumah.” Gawat, kenapa aku jadi panik begini, perasaan Pak Sor.

“Kenapa Pak Sor?" Dengan nada lebih menekan ke Pak Sor.

“Oh! Ya, saya sekarang seperti... Kadang lupa, kalau harus mengingat banyak, Den Muda.” Polosnya Pak Sor pada Bie. Sejak usia Bie 8 tahun, Pak Sor mengurus Bie, kedekatan mereka sangat sehati.

Cut to the next scene: Berbagai dugaan menuju kantor pusat. Malam.

“Blink!” Telepon Bie terbuka. “Ya. Baik. Akses sudah saya terima.” Tampaknya lewat telepon Den Besar memberi informasi penting.

Markas Besar Maritim. Ya. Bie memasuki gerbang auto digit sensor. Petugas mengarahkan Bie langsung masuk menuju ruang kendali sistem Maritim.

“Luar biasa.” Itu kesan pertama Bie saat masuk ke ruangan itu. "Ini sistem Prana Cahaya berkekuatan tanpa batas. Hebatnya negeriku.” Di benak Bie.

Perbincangan dengan pimpinan Pusat Pengendalian Pertahanan Maritim. Mereka masuk di ruang tertutup. Wah! Saya juga tak bisa mendengar pembicaraan mereka. Kalau begitu fokus saya pindahkan pada situasi di sekitar perbatasan Borneo, dulu deh.

Paman Bill, memantau jalur human trafficking darat menuju laut, jalur potong ke Jawa langsung menembus laut ke Australia, itu jalur paralel dengan jalur penyelundupan narkoba.

Cut to the next scene: Mencoba menebak pola konspirasi

“Den Besar, di rumah atau di…”

“Di rumah, Den.” Pak Sor cepat memotong, meski tampak ada sesuatu membuatnya panik. “Ya. Di rumah.” Pak Sor menggaris bawahi.

“Oh, sejak jam berapa Pak beliau di rumah?" Bie santai bertanya, namun tetap menekan. Dia kenal betul kejujuran Pak Sor, satu-satunya manusia teman dekatnya. Bie tidak menganggap Pak Sor supir. Pak Sor bagi Bie seperti paman, keluarga.

“Pak Sor? Keping CD musik keroncong di mana ya. Asyik loh mendengarkan lagu keroncong sambil macet begini.” Bie mulai bermain logika dan perasaan.

“Cocok Den Muda. Monggo, di laci USB-nya.”

“Hebat Pak Sor, sudah tidak perlu keping CD lagi.” Bie memutar balik keadaan bermain dengan perasaan.

“Terlalu besar Den. Hehehe.” Khas medok Jawa nada Pak Sor.

“Waljinah. Walang kekek, inggih Pak. Hm, meniko, suaranya dinikmati Pak.” Bie seraya ngelirik sedikit pada Pak Sor.

“Pancen Oye, Den Muda. Suara Jeng Waljinah ini, madep mantep.” Girang Pak Sor.

“Den Besar, tadi makan di rumah atau di luar Pak Sor.”

Pertanyaan tak terduga itu menggencet habis Pak Sor. "Gawat!" Pikiran Pak Sor mendua, memberi tahu sebenarnya atau tidak ya? Waduh, kalau bocor aku dipecat Den Besar.

Hati Pak Sor gundah gulana. Bie seperti anaknya sendiri bagi Pak Sor, tidak pernah bohong pada Bie. “Uhuk! Uhuk!” Pak Sor pura-pura batuk, mencoba mengatur nafasnya.

Cut to the next scene: Berbagai dugaan menuju kantor pusat. Malam.

Sambil tetap terbatuk-batuk buatan Pak Sor sendiri, karena bingung, seakan-akan tampak sungguhan, meski Bie tahu itu batuk pura-pura. “Cari air mineral dulu Pak, banyak merokok?" Bie cepat menetralisir keadaan. Dia jadi merasa bersalah melempar pertanyaan yang agak menekan tadi.

“Maaf, Den Muda, saya mau mampir pom bensin sebentar. Saya sekalian mau buang air kecil.”

“Oke, Pak Sor, take your time.” Di pom bensin, Pak Sor kebelet kencing, langsung lompat ke arah wc.

Cilaka tak bisa diduga. Telepon genggam Pak Sor bunyi “Blink!” Di dashboard. Pesan singkat untuk Pak Sor di baca Bie. Di wc sambil buang air kecil, Pak Sor panik, seperti mau mati. Jantungnya seperti melompat keluar.

“Mati! Aku! Mati! Telepon genggamku! Ya Tuhan. Waduh!” Perasaan itu tak membuat Pak Sor bergegas ke mobil, justru membuat dia lemas. “Bocor! Waduh! Mati!” Pak Sor mengatur nafasnya sejenak. Berusaha keras, setenang-tenangnya.

“Code-nya. Borok, ya Pak. Artinya, konspirasi.” Jeger! Kepala Pak Sor seperti di hantam bom atom. Mulutnya terkunci seperti dilem berton-ton.

Ini tugas untukku, tidak boleh melibatkan Den Muda. “Tuhan! Kenapa tak kau hentikan saja jantungku di wc tadi. Oh!” Di benak Pak Sor.

“Pak Sor, kita langsung Pejaten kan?” Suara Bie tegas, menekan. Seperti tercekik gederuwo, leher Pak Sor tak dapat mengeluarkan suara.

Cut to the next scene: Bill di perbatasan Borneo.

Situasi rawan ombak, biasanya jarang dimanfaatkan nelayan melaut. Mereka lebih banyak sandar di pantai. Kapal-kapal asing super-tekno sering kali menggunakan kesempatan itu untuk melakukan berbagai aktivitas penyelundupan. Termasuk penyusupan mata-mata lewat laut. Paman Bill memimpin memantau perbatasan bersama Komando Elite Borneo.

“Call Delta B, ada gerakan di gugusan bukit utara anda.” Bill menerima pesan air phone dari Skuadron Morotai, Bill memberi perintah.

“Delta Elang Angkasa, block satu putaran, sebelum mereka menuju pantai.” Bill memisahkan diri, bersama satu pleton pasukan elite pendamping.

Masuk pusat sasaran. Gila, dengan sistem sangkur terhunus. Berisiko sangat tinggi, mungkin open fire atau man to man combat.

Bill memberi tanda pada pleton pasukan “Demi kemanusiaan!” Pasukannya memberi tanda sepakat. "Ini akan menjadi pertarungan hidup dan mati." Tegas Bill.

Hanya kemampuan tangguh, dapat melakukan gerakan penyerbuan sangkur terhunus. Gerakan ini paling disegani pasukan elite manapun. Pleton pendamping Paman Bill adalah pleton amfibi, berkekuatan satu banding seratus kekuatan tempur individual.
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER