Bandung, CNN Indonesia -- "Dan di antara bukti-bukti (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi perbedaan bahasa dan warna (kulit) kalian sungguh di dalamnya ada bukti (kebesaran Tuhan) bagi orang yang berpengetahuan” ( QS Ar-Rum ayat 22)
Bahasa memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Bahasa juga memiliki peran besar dalam dakwah atau seruan untuk beriman dan taat kepada Tuhan. Kegagalan dalam penyampaian pesan dakwah dapat terjadi akibat kegagalan dalam penggunaan bahasa.
Bahasa yang tidak komunikatif bisa jadi tidak dipahami oleh khalayak sehingga pesan yang ingin disampaikan pun akhirnya tidak dapat diterima dengan baik.
Jika mengikuti ceramah agama di daerah-daerah yang penggunaan bahasa daerahnya masih sangat kental, kita dapat menemukan pada pendakwah yang menggunakan bahasa daerah dalam menyampaikan ceramahnya. Bahkan jika pergi ke beberapa tempat di pedalaman di mana kebanyakan warganya hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa daerah, maka pendakwah mau tak mau harus bisa dan lancar bahasa daerah tersebut.
Sudah banyak penelitian tentang efektivitas penggunaan bahasa daerah sebagai medium komunikasi dalam berdakwah agama. Tidak hanya dalam dakwah agama Islam, tapi juga dalam agama lain seperti kotbah di gereja pun masih banyak yang menggunakan bahasa daerah. Penggunaan bahasa daerah dalam berdakwah di beberapa tempat dinilai lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan Bahasa Indonesia.
Selain itu, dakwah juga menjadi sarana pelestarian bahasa daerah yang saat ini sudah mulai luntur dan jarang digunakan. Bahasa daerah mulai tergerus oleh masyarakat dominan yang menggunakan Bahasa Indonesia yang bahkan Bahasa Indonesia yang digunakan sekarang ini pun sudah tidak sesuai lagi dengan kaidah-kaidah bahasa yang benar.
Menurut data yang disampaikan oleh Jurnal Masyarakat dan Budaya sebagaimana dikutip dari Ethnologue: Language of The World (2005), Indonesia memiliki kekayaan 742 bahasa daerah. Sebanyak 737 bahasa di antaranya merupakan amper yang masih aktif. Sementara menurut data yang dilaporkan Summer Linguistic, Indonesia memiliki 746 bahasa daerah. Dari jumlah tersebut, 25 bahasa diantaranya kita berstatus amper punah. Sementara 13 bahasa daerah di Indonesia dinyatakan telah punah. (Tirto.id, 22 Juli 2016).
Dari berbagai banyak metode komunikasi, dakwah menjadi salah satu sarana untuk menyebarkan dan melestarikan bahasa daerah. Tidak hanya membantu pendakwah menyampaikan pesan dalam dakwahnya dengan baik, dakwah menggunakan bahasa daerah juga berperan dalam mempertahankan eksistensi bahasa daerah.
Dalam beberapa kondisi, penggunaan bahasa daerah dalam dakwah bisa jadi lebih efektif ketimbang menggunakan bahasa Indonesia. Tidak hanya dari segi bahasanya, peribahasa, nasehat-nasehat sera lelucon lokal yang mungkin tidak diketahui generasi muda bisa juga tertolong dengan penyampaian dalam dakwah berbahasa daerah.
Ibarat pedang bermata dua, penggunaan bahasa daerah dalam dakwah dapat berdampak baik, tapi justru dapat juga menjadi bumerang bagi pendakwah itu sendiri dan bagi beberapa pihak. Penggunaan bahasa daerah di daerah-daerah terpencil yang notabene dan kesehariannya memang menggunakan bahasa daerah mungkin akan menjadi penyelamat bagi pendakwah karena memudahkan komunikasinya dengan warga lokal. Pesan yang disampaikan juga akan lebih efektif karena akan muncul unsur kedekatan antara pendakwah dengan jemaat.
Tapi bagaimana dengan jemaat yang tidak mengerti bahasa daerah tersebut tapi ingin mengikuti dan mendengar ceramah juga? Apakah penggunaan bahasa daerah dalam dakwah ini akan menjadi pedang bermata dua? Apakah penggunaan bahasa daerah dalam dakwah ini akan menjadi salah satu tindakan diskriminasi bagi jemaat yang tidak paham bahasa daerah tersebut?
Di sinilah diperlukan sikap positif dari berbagai pihak. Jika dilihat sisi baiknya, seharusnya jemaat yang tidak paham bahasa daerah tersebut merasa tertolong akan hadirnya dakwah berbahasa daerah tersebut. Dengan demikian, ia memiliki ‘wahana’ untuk mempelajari bahasa daerah tersebut. Tidak hanya mempelajari ilmu agama, dari dakwah berbahasa daerah tersebut jemaat juga bisa mempelajari bahasa daerah itu.
Setali tiga uang, sang pendakwah pun tidak hanya memberi pesan-pesan dan mengajarkan ajaran agama tapi juga bahasa daerah. Dakwah tidak hanya ‘mencetak’ jemaat yang berilmu agama tapi juga melahirkan dan menambah angka pengguna bahasa daerah di Indonesia. Dikutip dari Jurnal Masyarakat & Budaya, suatu bahasa dikategorikan terancam punah jika bahasa itu semakin sedikit digunakan dalam kegiatan sehari-hari sehingga kehilangan fungsi sosial atau komunikatifnya. Penggunaan bahasa daerah dalam dakwah setidaknya dapat mempertahankan penggunaan bahasa daerah tersebut dalam satu aspek kehidupan sehari-hari.
Dakwah dengan menggunakan bahasa daerah ini selain untuk menyelamatkan bahasa daerah yang hampir punah juga diperuntukan bagi masyarakat yang tidak menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari. Dengan demikian, seluruh umat islam dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan baik tanpa terkecuali. Juga, dakwah dengan bahasa daerah ini dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat di Indonesia karena dihadirkan dan disajikan dalam berbagai macam bahasa. Ilmu agamanya dapat, bahasa daerahnya pun selamat.
Aprillyani Alin
Mahasiswi Program Studi Jurnalistik
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran
(ded/ded)