Cerpen: Senandika Panji Pilihan

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Sabtu, 28 Okt 2017 08:41 WIB
Jork tak paham menangkap makna dari kehendak itu. Sebagai murid tentu dia wajib memilih, tangan kanan atau tangan kiri.
Ilustrasi (Foto: ANTARA FOTO/Yusran Uccang)
Jakarta, CNN Indonesia -- Setelah peristiwa akhir dari babat pelatihan kanuragan dengan Paman Guru. Jork melihat tafsir di antara awan-awan. “Paman Guru. Apa makna dari warna lembayung di garis horizon.” Paman Guru tidak segera menjawab.

Sebaliknya malah memberi jawaban dengan membuka dua telapak tangannya. “Silakan pilih.” Begitu jawaban Paman Guru.

Jork tak paham menangkap makna dari kehendak itu. Sebagai murid tentu dia wajib memilih. Dengan seksama dia memperhatikan kedua telapak tangan Paman Guru. Lantas dia memegang telapak tangan Paman Guru sebelah kanan.

“Mengapa kau pilih telapak tangan Paman sebelah kanan?”

“Karena itu kehendak alam Paman,” jawab Jork tegas.

“Mengapa tidak kau pilih telapak tanganku sebelah kiri?”

“Karena alam raya menghendaki demikian Paman Guru.” Dia tetap memegang telapak tangan Paman Guru sebelah kanan.

“Kalau aku berikan telapak tangan sebelah kiri. Apakah kau juga akan menerimanya?”

“Tidak, Paman Guru. Cukup pada pilihanku ini.”

“Apa maksudmu bertanya tentang makna warna lembayung di garis horizon.”

“Karena alam memberi banyak makna dengan warna.”

“Itu jawaban dari pertanyaanmu.”

Jork terkesiap.

“Ya. Alam banyak memberi makna-makna, tanda-tanda tentang musim pada makhluk hidup. Ada siklus waktu, ada siklus akan kejadian pada musim-musim akan datang.”

“Itu sebabnya para petani peka pada alam Paman?”

“Ya.”

Hening sejenak. Desir angin di padepokan itu membawa bau tanah basah dan dedaunan. Menandakan tidak jauh waktu lagi akan turun hujan. Tak berapa lama Paman Guru seperti berbisik di telinga Jork. “Apa maksud dan tujuan sesungguhnya.” Tanpa terasa Paman Guru telah sirna dari hadapan Jork.

“Mengapa tak aku utarakan saja tujuanku sesungguhnya.” Dalam benak Jork.

“Aku mendengarmu loh.” Suara Paman Guru berbisik di telinga Jork.

Selintas tampak Paman Guru menjadi transparan seperti air. Jork segera menggunakan olah kanuragan sama persis. Belum sempat dia bersiap, serangan Paman Guru bagai angin puting beliung menyapu bumi.

“Kenapa kau tak bersikap jujur Jork.” Suara Paman Guru di telinga Jork.

“Aku mencoba menentukan pilihan Paman.” Suara Jork di telinga Paman Guru, seraya menyerang balik Paman Guru, dengan gempuran bagai air bah.

“Harus terbuka dan transparan Jork.”

“Itu sebabnya aku bertanya tentang warna lembayung di garis horizon Paman Guru.”

“Hahaha. Jika aku ijinkan. Apa tujuanmu.”

“Belajar melihat kehidupan.” Paman Guru, menghentikan serangan kanuragan. Muncul utuh di tempatnya semula, tetap dengan kedua telapak tangan terbuka.

Jork kembali pada sikap semula, tetap memegang telapak tangan sebelah kanan Paman Guru.

“Lakukan jika itu telah menjadi keyakinanmu.”

“Tidak Paman. Aku hanya tengah menguji keinginanku.”

Kini Paman Guru balik terkesiap.

“Baiklah. Aku temani kau sebagai tamu menuju gelanggang itu. Boleh?”

“Dengan senang hati Paman Guru.”

Pertarungan gelanggang tengah terjadi. Jork dan Paman Guru hadir di tempat megah itu di antara hadirin.

“Apa tujuan dari pertarungan itu Paman Guru.” Suara nurani Jork di telinga Paman Guru.

“Kita saksikan saja Jork dengan seksama.” Keduanya berdialog dengan suara batin masing-masing. Menyaksikan pertarungan di gelanggang itu.

Di tengah kami api unggun, di bawah api itu kami sedang menanak singkong dipendam dalam tanah di bungkus daun pisang. Harumnya mulai meresap ke permukaan tanah.

Aku mengangkat kayu-kayu bakar dan api uggun itu. Paman Guru menggali tanah, mengambil singkong dari dalam tanah, masih mengepulkan asap panas. Aku letakkan lagi api unggun itu di tempat semula. Kami menikmati singkong dengan seksama.

“Menurutmu apa tujuan dari pertarungan gelanggang para pendekar itu Jork.” Suara Paman Guru di sela-sela makan singkong dengan nikmat.

“Menguji kekalahan Paman Guru.”

“Setelah kemenangan maksudmu?”

“Bisa keduanya Paman Guru.”

“Tepat.”

Jork melesat terbang tanpa pamit, kepekaan nuraninya menangkap di kejauhan suara burung elang terluka di antara bebatuan di bukit-bukit tak jauh dari padepokan. Paman Guru, mengikuti di belakangnya. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER